Simfoni Perjuangan dan Semangat untuk Menang

Jumat, Agustus 30, 2013


Simfoni Perjuangan dan Semangat untuk Menang
Oleh : Richa Miskiyya



Judul Buku      : 12 Menit
Penulis             : Oka Aurora
Penerbit           : Noura Books
Halaman          : xiv + 348 halaman
Tahun              : Cetakan I, Mei 2013
ISBN               : 978-602-7816-33-6
 
‘Perjuangan terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri’.

Hidup memang butuh perjuangan untuk meraih impian dan cita-cita. Dalam perjalanan meraih cita-cita, rintangan yang harus dihadapi tak hanya musuh dari luar, tetapi juga musuh dari dalam diri sendiri yang seringkali tak disadari. Dan apabila musuh dalam diri tak bisa dikalahkan, ia justru akan menikam diam-diam dan menghentikan langkah demi langkah yang telah direncanakan dengan rapi. 
Perjuangan inilah yang dihadapi oleh para tokoh dalam novel berjudul ‘12 Menit’ karya Oka Aurora, sebuah novel yang diadaptasi dari skenario film dengan judul yang sama. Kekhasan sebuah novel yang diadaptasi dari skenario film ini bisa dilihat dari adanya penggunaan sudut pandang ketiga serta pembagian sebanyak 50 bab dengan lompatan penceritaan dari satu tokoh ke tokoh lain, menunjukkan adaptasi scene-scene seperti dalam film. 
Pada bab-bab awal novel ini menjadi bagian pengenalan para tokohnya masing-masing, alur yang lambat menjadikan pembaca memiliki waktu untuk mengenali watak para tokoh serta memahami istilah-istilah asing dalam marching band yang disusun dalam glosarium.

Novel berlatar dunia marching band ini memaparkan bagaimana para tokoh; Rene, Tara, Lahang, dan Elaine harus berjuang menakhlukkan musuh dalam diri mereka masing-masing.

Rene, seorang pelatih marching band profesional yang sudah berpengalaman di luar negeri bersedia melatih marching band di Bontang, sebuah kota kecil di Kalimantan Timur. Rene harus berhadapan dengan kenyataan bahwa anggota marching band yang ia latih sangat minim motivasi. Rene tak hanya harus menghadapi permasalahan harmoni lagu di lapangan ketika melatih, tetapi juga menghadapi permasalahan pribadi para anggotanya.

Tara, seorang gadis berjilbab yang memiliki pendengaran minim akibat sebuah kecelakaan yang juga merenggut nyawa ayahnya. Di tengah rasa traumanya itu, Tara yang berbakat dalam musik pindah mengikuti Opa dan Omanya ke Bontang setelah Mamanya memutuskan untuk melanjutkan beasiswa pendidikan S2 nya ke Inggris. Ia harus melawan dirinya sendiri, melawan ketakutannya akan masa lalu yang membuatnya sempat mundur dari anggota marching band yang lama diidamkannya.

Elaine, gadis belia yang berbakat dalam memainkan biola serta pernah menjadi field  commander harus rela mengikuti orang tuanya, Josuke Higoshi yang pindah bekerja ke Bontang. Elaine yang mencintai musik harus berhadapan langsung dengan ayahnya Josuke Higoshi yang tidak setuju jika Elaine bergabung dalam marching band, karena bagi Josuke yang berdarah Jepang, sekolah adalah yang utama, sedangkan musik adalah sia-sia.  

Lahang, lelaki muda dari suku dayak yang memiliki ayah seorang kepala suku yang menderita kanker otak. Lahang bimbang harus melanjutkan langkahnya untuk pergi ke Jakarta mengikuti Grand Prix Marching Band ataukah harus menjaga ayahnya yang sedang berada di ujung maut. Meskipun ayahnya adalah seorang kepala suku yang dekat dengan aturan adat, namun ia selalu memberikan nasihat bijak padaa Lahang agar tak boleh berhenti mengejar mimpinya; ‘Berapa pun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan, karena ketakutan, anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian.’ (halaman 104).

Rene, Tara, Elaine, dan Lahang yang memiliki latar belakang serta permasalahan hidup masing-masing, dipertemukan dalam sebuah grup marching band, dan berlatih bersama hingga ribuan jam untuk tampil dalam GPMB (Grand Prix Marching Band) di Jakarta.

Marching Band; Simbol Semangat, Keberagaman, dan Harmoni
Marching band, dalam novel ini tak hanya ditempatkan sebagai wadah, melainkan juga simbol semangat, keberagaman, dan harmoni. Marching band, ditilik dari sejarahnya bermula dari musik militer yang menjadi musik penyemangat para prajurit yang akan berlaga di medan perang. Semangat ini pulalah yang menjadi dasar kekuatan pada gerak dan musik marching band. Dalam novel ini, Rene menjadi tokoh sentral yang terus berusaha membangkitkan jiwa semangat anak didiknya yang minim motivasi. Tokoh Rene dalam novel ini menjadi cerminan seorang pendidik yang gigih memberikan motivasi bagi anak didiknya, dengan terus mendengungkan kata “VINCERO”, sebuah kata dari lagu Nessun Dorma yang memiliki arti ‘Saya akan menang!’. Rene menjadi pendidik yang menempatkan anak didiknya sebagai sahabat, sehingga Rene tak malu untuk meminta maaf pada Tara ketika ia merasa apa yang dilakukannya salah (halaman 158).

Marching band juga merupakan simbol keberagaman. Instrumen dalam marching band yang beragam serta harmoni musik yang tertata apik dari aneka macam alat musik menjadikan marching band menjadi pertunjukan musik yang berbeda dari pertunjukan musik yang lain. Marching band adalah pertunjukan kelompok, bukan perseorangan, jadi harmoni dan keselarasan nada dari masing-masing department (kelompok pemain musik) menentukan keberhasilan. Keberagaman dalam musik marching band ini, juga menjadi dasar Oka Aurora dalam menulis novel dengan tebal 348 halaman ini. Keberagaman sifat serta latar belakang para tokohnya membuat novel ini semakin menarik. Rene yang berlatar pendidikan luar negeri, Tara dengan keanggunan jilbabnya, Elaine sebagai anak orang kaya keturunan Jepang, dan Lahang mewakili masyarakat adat Kalimantan, yang kemudian disatukan dalam sebuah wadah bernama marching band.

Novel ini hendak memberi pelajaran bahwa harmoni hanya akan terwujud jika setiap individu mampu menaklukkan egonya masing-masing. Keberagaman sifat dan latar belakang para anggota marching band dalam novel ini menjadi simbol betapa untuk mewujudkan sebuah harmoni (baik harmoni nada maupun harmoni kehidupan), mereka harus saling bekerja sama, bahu membahu untuk menciptakan keselarasan, walau seringkali mereka harus bergelut dengan diri mereka sendiri.

Melawan diri sendiri memanglah tidak mudah, namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan, hal ini bisa dilihat dari tokoh Rene yang berhasil melawan egonya sebagai pendidik yang keras, Tara yang harus melawan traumanya, Elaine yang melawan kebimbangannya, serta Lahang yang harus melawan ketakutannya untuk terus terbang tinggi menggapai mimpinya.

Tak hanya sarat akan pesan dan inspirasi, gegap gempita sebuah pertunjukan marching band berhasil dinarasikan dan dituliskan Oka Aurora dengan apik, membuat pembacanya seperti berada dalam gedung pertunjukkan bersama ratusan orang anggota marching band dengan segala perlengkapan dan kemeriahan kostumnya—dengan segala perbedaan dan latar belakang masing-masing anggotanya—membuat pembaca enggan menutup buku hingga halaman terakhir dan menjadikan pembaca semakin tak sabar melihat visualisasi simfoni perjuangan dan semangat mereka di layar lebar.

Tak hanya pesan untuk berani bermimpi, tapi dalam novel ini juga sarat akan pesan keberagaman sebagai wujud adanya simfoni perjuangan dan semangat yang mengalun untuk mencapai sebuah kemenangan, sebuah keberagaman yang indah, karena musik yang indah tercipta dari beragam nada. (*)  
Read More