Bidadari di Wajah Ibu

Selasa, Juni 24, 2014

Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia
Sayup-sayup kudengar lagu itu dari kejauhan, dari balik tembok tetangga yang sedang menyalakan televisi. Pikiranku melayang ke masa dua puluh tahun lalu, ketika engkau mengajarkanku lagu ini, bu. Sebuah lagu yang akan kunyanyikan di depan kelas taman kanak-kanak.
Dengan kesabaran penuh setiap kata dan nada kau ajarkan, demi melihat aku menyanyikannya di depan teman-teman dan guruku. Dan kuingat jelas, kau tersenyum dan bertepuk tangan paling keras dari balik jendela kelas.
Ibu, kulihat ada bidadari di wajahmu ....

Me and My Mom



Betapa banyak tersimpan air mata dalam setiap langkahmu membesarkanku dan mendidikku, Bu. Engkau membantu ayah membanting tulang, demi menegakkan perekonomian keluarga kecil kita.
Subuh baru saja usai, akan tetapi peluh sudah membasahi keningmu, Bu. Engkau mengupas puluhan butir kelapa menggunakan besi tegak berujung lancip. Memasukkan butiran kelapa itu kedalam karung besar dan mengangkutnya ke atas becak menuju pasar kecil di bawah tanggul desa.
Aku yang kala itu masih kecil, kau dudukkan di atas pangkuanmu, membuatku senyaman mungkin di antara himpitan karung-karung kelapa yang sudah tersusun rapi di atas becak. Perlahan tapi pasti, tukang becak mengayuh becaknya untuk mengantarkan kita menjual kelapa-kepala ini demi mendapatkan tambahan uang untuk makan keluarga kita.
        Kau gendong satu persatu karung di belakang punggungmu dan kau tempatkan di antara puluhan pedagang yang lain. Kita duduk bersisian, dan kau mulai berteriak menawarkan kelapa yang kita bawa. Pasar yang terbuka membuat sinar matahari yang mulai terik membuatku kepanasan, dengan sigap kau mendekap tubuhku di sampingmu dan menyelimuti kepalaku menggunakan selendang yang tadi kau gunakan untuk menggendong karung berisi kelapa.
     Kita menunggu pembeli berjam-jam, hingga kemudian kau membangunkanku yang tertidur di pangkuanmu, dan kulihat masih ada sisa kelapa yang belum juga terjual meski hari telah siang. Ketika kembali ke rumah, kita tak lagi naik becak, kau akan menggendong sisa kelapa di punggungmu dan kita pun berjalan bersisian. Kau menggandengku dengan erat agar aku tak terjerembab di antara lubang-lubang yang menganga di jalanan.
         Jujur, Bu. Hingga kini pun aku tak tahu berapa berat kelapa-kelapa yang seringkali kau ikat di belakang punggungmu. Aku tak tahu bagaimana rasa sakitnya tanganmu ketika menguliti buah kelapa, yang bisa kurasakan adalah rasa kasar di telapak tanganmu sebagai tanda perjuanganmu yang tak pernah ada kata pamrih.
         Kau begitu menyayangiku, Bu, meskipun kau bukan tipe ibu yang suka memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang mewah. Apakah engkau masih ingat boneka berambut pirang dengan mata biru cantiknya yang bisa berkedip itu, Bu? Aku merengek dan menangis meminta boneka itu. Tapi engkau menggeleng, dan justru menawarkan padaku boneka tanpa rambut yang matanya tak bisa berkedip.
Aku pun menerima boneka yang kau tawarkan itu, paling tidak aku punya boneka baru, meskipun dari sudut mataku masih ada harapan untuk memiliki boneka cantik bermata biru yang masih terpajang di etalase toko. Hingga bertahun-tahun kemudian, barulah kutahu ketika itu uangmu tak cukup untuk membeli boneka berambut pirang itu.
Ibu, kulihat ada bidadari di wajahmu ....


Malam itu langit menyambut langkahmu dengan gerimis, kau dekap tubuh kecilku yang panas tinggi dan mengalami kejang, dan malam itu kau putuskan membawaku ke puskesmas desa.
Dokter mendiagnosa tubuh rapuhku terserang tifus dan harus menginap beberapa hari di puskesmas. Kulihat kecemasan di wajahmu, ketika melihat selang infus tertancap di pergelangan tangan kiriku. Dengan setia kau membujukku meminum obat-obatan pahit itu, dan dengan sabar pula kau bersihkan cairan yang kumuntahkan karena perutku tak kuat menerima makanan dan minuman. Tiga hari kau biarkan dirimu tertidur di tepian ranjang puskesmas tempatku dirawat, demi melihatku tidur dengan nyenyak dan tenang.
Ibu, masihkah kau ingat ketika aku pulang sekolah dengan mata sembab. Kau bingung karena takut ada anak nakal yang telah menyakitiku. Hingga aku pun bercerita jika mata kananku ternyata tak bisa melihat dengan sempurna.
Tes kesehatan mata ketika pelajaran olahraga menjadi seperti sebuah tamparan keras bagiku, ketika mata kananku ditutup, aku bisa melihat dengan sempurna menggunakan mata kiriku. Namun, hal berbeda terjadi ketika mata kiriku ditutup, ada kabut yang menyelimuti pandangan mata kananku.
Esok harinya, ayah membawaku ke dokter mata, dan ternyata mata kananku minus tiga, padahal kala itu usiaku masih 9 tahun. Ketika ayah pergi ke optik, ternyata harga kacamata di sana begitu mahal, hingga engkau pun memutuskan untuk membeli kacamata di pasar dengan harga yang jauh lebih murah.
Aku yang kala itu masih duduk di bangku SD, tak mau menggunakan kacamata yang dibeli di pasar itu karena memang ukuran dan bentuknya tak sebagus yang ada di optik mahal, kawan-kawan mengejekku, mengatakan jika kacamataku seperti nenek-nenek dan ukurannya terlalu besar seperti mata capung. Aku menangis, dan tak mau lagi memakai kacamata itu.
Engkau pun kebingungan menghadapiku, Bu. Kau semakin cemas dan takut jika kesehatan mata kananku semakin menurun, dan ketakutanmu pun terbukti, hingga minus mataku semakin meninggi hingga mencapai minus 10.
Ibu, kulihat ada bidadari di wajahmu ....


Tak ada kata putus asa dalam hidupmu demi kebahagiaan anak-anakmu. Menghadapi keenggananku untuk menggunakan kacamata, kau putuskan untuk membawaku ke pengobatan alternatif. Dengan setia kau membujukku dan menemaniku pergi ke pengobatan-pengobatan alternatif yang dipercaya banyak orang bisa menyembuhkan minus mataku, dan pastinya tak hanya materi yang terkuras, namun juga kau rasakan capek yang teramat sangat, namun tak pernah kau tunjukkan itu.
Suatu hari aku bilang capek dan lelah mendatangi pengobatan-pengobatan alternatif namun tak ada hasilnya itu. Namun, kau terus membesarkan hatiku, segala sesuatu itu harus ikhtiar, harus berusaha, begitu yang kau katakan.
Dengan semangat kau terus mencari informasi tentang pengobatan-pengobatan alternatif itu, banyak kota yang telah kita datangi bersama, Solo, Demak, Jepara, Kudus, Semarang, dan kota-kota kecil lainnya Dan jika dihitung ada belasan pengobatan alternatif yang telah kita datangi, kita naik turun bus, dan berjalan berkilo-kilo untuk mencapai tempat pengobatan alternatif itu. Dari yang berupa pijat syaraf, pengobatan dengan salep yang didatangkan dari Papua dan Arab, hingga pengobatan-pengobatan alternatif dengan perantara batu bertuah. Namun, hasilnya tetap nihil. Tapi, kau tak pernah menyerah demi kesembuhanku.
Hingga, di usiaku yang ke-23, mata kananku sudah mencapai minus 14. Aku hanya dapat pasrah dengan kesehatan mataku. Suatu hari aku pun menemukan informasi adanya operasi mata yang bisa menyembuhkan mataku. Dengan ragu aku mengutarakannya padamu, meski tak terlalu berharap engkau akan setuju karena biayanya yang mahal.
Namun, dugaanku keliru, dengan semangat kau menyetujui keinginanku untuk melakukan operasi. “Tak apa, bukankah ini yang kita cari selama ini? Pengobatan yang dapat menyembuhkan matamu. Ibu ada tabungan 3 juta, untuk sisanya tak perlu kau pikirkan, yang penting matamu sembuh,” ucapmu ketika itu, bu. Mata kananku pun bisa kembali melihat dengan normal, bu, setelah 14 tahun akhirnya aku tahu bagaimana rasanya menangkap cahaya dari mata kananku, dan lagi-lagi kulihat bidadari ada di wajahmu, Bu.
Ibu, aku sadar hingga usiaku 24 tahun ini, aku belum bisa jauh darimu, aku masih membutuhkanmu segala nasihat-nasihatmu. Engkau memang tak pernah mengucap kata ‘cinta’ padaku dan adik-adikku, tapi aku tahu, bu, cintamu serupa bulan purnama, begitu penuh, utuh, dan sempurna. Bagaimana cintamu telah tercipta dan terbukti dari belaianmu ketika subuh, pesanmu untuk selalu hati-hati dan tak lupa untuk sholat dimanapun berada. Meski pendidikanmu tak lebih dari sekolah dasar, bu, tapi engkau telah buktikan dengan segala kerja keras dan doa, kau berhasil mengantarkan anak-anakmu untuk kuliah, bahkan kini aku berhasil mendapatkan beasiswa S2 berkat doa-doamu, bu.
Ibu, aku ingin menjadi sepertimu. Wanita teristimewa yang duduk di singgasana cinta kasih, berjubah keikhlasan, dan bermahkotakan kesabaran. Setiap langkahmu, senyummu, dan hembusan nafasmu adalah doa untuk anak-anakmu.
Biarkan aku menjadi kebanggaan untukmu bu, dan ijinkan aku belajar menjadi wanita sepertimu, serupa bidadari yang selalu kulihat dalam wajahmu, Ibu.(*)
PS : I Love Mom - Bukune, 2015

1 komentar