Refleksi Hati Tahun 2015

Kamis, Desember 31, 2015

Ada banyak hal yang sudah saya rasakan di tahun 2015 ini, manis, pahit, asam, asin, semua menjadi satu. Tawa dan air mata menjadi bagian yang tak terpisahkan di tahun 2015 yang akan segera berakhir ini. 

Saya membuat ini sebagai tanda terima kasih pada tahun yang telah memberikan saya banyak pelajaran hidup hingga saya tahu bagaimana menjadi manusia. Ada banyak harapan, tantangan, kegelisahan, yang harus saya hadapi di Tahun 2015.

Banyak yang mengatakan pada saya jika hidup saya begitu bahagia, seolah tak punya masalah, santai, woles, tanpa beban pikiran. Ketika ada yang berkata seperti itu, saya hanya bisa tersenyum dan mengamini, saya anggap itu sebagai doa bahwa saya akan selalu bahagia. Aamiin.

Tapi benarkah hidup saya tanpa masalah? Saya ini manusia biasa yang pastinya punya masalah, hanya saja saya tak ingin mengumbar masalah dan membagi masalah saya. Begitu juga di postingan ini, saya tak akan bercerita tentang apa masalah saya, saya hanya akan bercerita apa yang saya rasakan ketika masalah-masalah itu datang dan bagaimana saya berhasil menghadapinya hingga akhirnya saya bisa tersenyum karena telah mampu melewatinya dengan baik.

Tahun 2015 bisa jadi salah satu tahun terberat yang harus saya hadapi, di tengah saya menikmati hidup tiba-tiba sebuah masalah datang, pepatah ‘seperti tersambar petir di siang bolong’ memang benar adanya.

Masalah ini membuat saya jengkel, kesal, marah, dan rasanya ingin mengumpat. Ketika masalah ini tiba-tiba datang, apa saya menangis? Tidak! Bukan karena saya tangguh, tapi bisa jadi karena masalah ini terlalu menyentak dan tiba-tiba datangnya hingga saya lupa caranya menangis.

Ketika masalah ini datang, ibaratnya seperti ketika kita baru saja selesai membangun rumah, tapi kemudian ada gempa lokal yang menghancurkan rumah itu seketika, atau seperti ketika kita baru saja selesai menyusun ratusan puzzle, tapi kemudian ada kucing yang berlari dan menghancurkan susunan puzzle-puzzle itu. Bagaimana rasanya? Tentunya kita bingung, kita harus menyalahkan siapa dan kita pun bingung harus marah pada siapa?

Masalah ini benar-benar menempatkan saya pada titik nadir hidup, saya bingung harus bercerita pada siapa? Hingga akhirnya saya pun hanya diam. Saya bukan tipe orang yang mudah membagi masalah dan rasa sakit, saya tidak suka mengumbar masalah di media sosial, saya juga tidak mudah berbagi cerita dengan manusia. Media sosial bukan buku diary, dan masalah saya bukan konsumsi publik. Saya tipe orang yang hanya ingin membagi kebagiaan, bukan kesedihan, itu adalah prinsip hidup saya.

Masalah ini terpendam dengan baik, saya tak membaginya dengan pacar, sahabat, keluarga, juga buku diary. Meskipun berat, saya lewati masalah ini seorang diri, saya benar-benar merasakan kesendirian ketika harus mencari jalan yang tepat untuk menyelesaikannya. 

Saat itu, saya selalu mencoba untuk hidup seperti biasa, selalu tersenyum dan tertawa, ternyata pura-pura bahagia itu memang sulit dan sakit. Tapi saya lebih suka pura-pura bahagia daripada menyeret orang lain dalam kesedihan saya. 

Apa saya pernah merasa putus asa ketika menghadapi masalah ini? Pernah, tapi bukan putus asa, melainkan hampir putus asa. Ketika itu saya sudah pasrah seandainya Tuhan mencabut nyawa saya hari itu juga. Bahkan, ketika mengendarai motor, saya berharap ada mobil atau truk yang menabrak saya hingga tewas agar saya tak perlu menghadapi masalah ini lagi. Seberat itukah masalah yang saya hadapi? Saya akan jawab, YA.

Alhamdulillah, Allah begitu baik pada saya, masih memberikan akal sehat untuk menghadapi semuanya. Ketika sedang berada di jalan raya, Allah tidak membiarkan saya lepas kontrol untuk menabrakkan diri pada truk atau mobil yang melaju. Allah selalu menuntun saya untuk berbelok ke masjid, untuk berpasrah, untuk berserah. 

Saya pun berpikir bahwa masalah saya memang besar, tapi saya punya Allah Yang Maha Besar. Akhirnya saya pun lebih memilih curhat pada Allah, awalnya saya tak menangis, tapi ketika curhat pada Allah, tiba-tiba saya bisa menangis sejadi-jadinya. Perlahan tapi pasti, saya mulai menemukan ketenangan saya ketika mengadu pada Allah, saya bercerita, saya menangis, saya bersujud, hanya itu yang bisa saya lakukan.

Saya ceritakan semuanya pada Allah, tentang rasa lelah, sakit, kecewa, marah, dan semuanya. Sejak itu pun saya sadar bahwa selama ini saya kurang berdialog dengan Allah. Salah satu kesalahan saya selama ini adalah terlalu menggantungkan harapan pada manusia, padahal satu-satunya tempat bergantung hanyalah pada Allah SWT.

Saya pun lebih sering berdialog dengan Allah, mencoba menggali banyak hikmah dari masalah yang saya hadapi, saya merasakan kenikmatan ketika berdoa dan berserah diri pada Allah. Perlahan, masalah yang saya hadapi mulai terurai hingga akhirnya selesai. 

Masalah memang akan selalu datang silih berganti, namun tergantung bagaimana kita menghadapinya. Apakah kita akan menyerah, atau menghadapinya dengan tabah. 

Saya belajar banyak dari masalah-masalah di tahun 2015, karena masalah ini membuat saya memiliki perjalanan batin yang luar biasa hebatnya, saya bisa lebih dekat dengan Allah. Masalah juga mengajarkan saya arti pentingnya untuk bersyukur, dan bertawakkal pada Allah. Memangnya selama ini saya tak dekat dengan Allah? Selama ini saya memang selalu sholat, puasa, zakat, berdoa, namun rasanya masih seperti ritual harian dan tahunan belaka, barulah belakangan saya menemukan kenikmatan pada setiap sholat dan doa yang saya lakukan. 

Kesedihan dan perjuangan yang berat memang melingkupi saya di tahun 2015 ini, namun Allah pun memberikan kebahagiaan pada saya. Setelah badai masalah itu berlalu, sebagai obat kesedihan, Allah memberikan banyak hadiah pada saya dengan Jalan-jalan gratis ke Bali dan Yogya, serta hadiah berupa kemenangan di lebih dari 5 lomba yang saya ikuti. 

Allah Maha Tahu yang terbaik untuk hambaNya, dan Allah selalu tahu cara membahagiakan hamba-hambaNya. Nikmat mana lagi yang harus saya dustakan?

Thank you so much, 2015, and welcome to 2016. Semoga di tahun 2016 saya dijauhkan dari segala kesedihan lahir dan batin, serta semoga di tahun 2016 saya bisa mendapatkan beragam kebahagiaan lahir maupun batin. Saya pun berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik, yang selalu bisa menjalin hubungan baik dengan Allah Yang Maha Esa serta dengan para mahkluk ciptaanNya. Aamiin. (*)

Read More

Selaksa Kebahagiaan dari Tanah Banua untuk Indonesia

Minggu, Desember 27, 2015


My Passport To Happiness


Setiap perjalanan selalu memiliki kisahnya sendiri, serupa sebuah kain yang memiliki corak dan keunikannya masing-masing. 


Ketika kita melakukan sebuah perjalanan, kita tak pernah tahu apa yang akan kita alami nantinya, kita hanya bisa meraba dan menerka tanpa tahu kisah pasti yang akan terjadi dalam jejak langkah selanjutnya. Sebuah perjalanan bisa menjadi sebuah titik balik kehidupan, membuat kita mengubah sudut pandang, bahkan sebuah perjalanan juga bisa memberikan kita harta kekayaan bernama persaudaraan. 

Awalnya, saya adalah tipe orang yang tak acuh, menganggap biasa arti sebuah hasil budaya dan hal-hal yang berbau tradisional. Dulu, bagi saya hal-hal tradisional adalah kuno dan hanya cocok untuk orang-orang tua saja. Saat itu pun saya menganggap jika kain tradisional tak ubahnya kain biasa, sama dengan kain buatan pabrik yang banyak dijual di pasaran. Namun, sebuah perjalanan di tahun 2014 telah membuka mata saya dan menyadarkan saya akan pentingnya sebuah rasa bahagia dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

April 2014, saya memenangkan sebuah lomba menulis dengan hadiah jalan-jalan ke Pulau Borneo, tepatnya di Kota Banjarbaru-Kalimantan Selatan. Ini adalah perjalanan pertama saya keluar dari Pulau Jawa, dan bagi saya, perjalanan ini merupakan sebuah impian yang menjadi kenyataan.

Ya, saya adalah seorang gadis desa yang memiliki impian menjelajah Indonesia dan dunia dengan menulis. Saya adalah tipe orang yang percaya ketika kita memiliki impian baik dan meyakini impian itu kelak akan menjadi kenyataan, maka alam semesta akan mengamini hingga kemudian dikabulkan oleh Tuhan. 

Selama bertahun-tahun saya genggam impian itu, dan di tahun 2014 itulah Tuhan mulai menunjukkan jika impian saya untuk menjelajah Indonesia dengan tulisan dikabulkan.

Saya berada di Banjarbaru selama 3 hari 2 malam, dan selama di sana, saya merasa beruntung karena selalu didampingi oleh Nanang dan Galuh (Sebutan untuk Duta Wisata Kota Banjarbaru). Acara jalan-jalan mengelilingi kota Banjarbaru pun menjadi istimewa, karena saya mendapat banyak pengetahuan tentang kebudayaan Kalimantan Selatan langsung dari para ahlinya. 

Hari pertama, saya diajak keliling Kota Banjarbaru oleh Nanang dan Galuh, selain mendapatkan pengetahuan tentang hasil tambang intan, saya juga mendapatkan pengetahuan tentang kebudayaan. Setiap Nanang dan Galuh ini bercerita tentang budaya yang mereka miliki, saya selalu melihat ada binar kebanggaan dan kebahagiaan di mata mereka, sebuah binar yang perlahan membuat saya kagum sekaligus malu karena selama ini saya tak terlalu mengenal, bahkan tak tahu tentang kebudayaan di daerah saya sendiri, Grobogan.
Bersama Nanang & Galuh
(Duta Pariwisata Kota Banjarbaru)

Salah satu kekayaan tradisi yang Nanang dan Galuh ceritakan adalah tentang Kain Sasirangan, sebuah kain yang menjadi identitas sekaligus kebanggaan warga Kalimantan Selatan. 

Sasirangan sendiri memiliki corak yang berbeda di setiap kainnya, meskipun ada yang hampir serupa, namun tidak ada yang sama persis, dikarenakan pembuatannya dan pewarnaannya dikerjakan satu per satu dengan tangan, dengan cara sirang atau diikat jelujur, oleh karena itu kain ini dinamakan Kain Sasirangan.     

Kain Sasirangan Khas Banjarbaru


Hari pertama ini, saya tak hanya diajak untuk berkenalan dengan budaya Kalimantan Selatan lewat Kain Sasirangan, akan tetapi saya juga diajak untuk mengetahui lebih dalam tentang kekayaan alam Indonesia, yaitu tempat pendulangan intan tradisional yang terdapat di Desa Pumpung Kecamatan Cempaka, satu-satunya tempat pendulangan intan tradisional di dunia.


Saat saya masuk kawasan pendulangan berupa tanah lapang yang sangat luas dengan banyak cerukan lebar bekas pendulangan di berbagai tempat. Tanah berwarna coklat kekuningan dengan tanaman ilalang di sekitarnya itu terasa tandus meskipun langit sedang mendung. Kami pun menemui beberapa pendulang intan yang sedang beristirahat di gubug sekitar tempat mendulang.

Salah satu pendulang tersebut pun mengajak kami ke sebuah cerukan yang di dalamnya sedang di lakukan pendulangan. Sebelum sampai ke cerukan tersebut, kami harus melewati beberapa cerukan yang sudah tak lagi digunakan. Di bagian lain terdapat bambu-bambu melintang bernama Kasbuk serta mesin genset yang menyedot air untuk membuat lubang baru.

Tak berapa lama, kami pun sampai di sebuah cerukan dimana seorang pendulang sedang melinggang. Melinggang adalah aktivitas mencari intan menggunakan linggangan, sebuah alat berbentuk caping terbalik yang terbuat dari kayu ulin atau kayu jingga.

Pelinggang tersebut menenggelamkan tubuhnya hingga sebatas leher, mengambil pasir dan lumpur yang berada di dasar cerukan kemudian ia menggoyangkan linggangan untuk menemukan butiran-butiran intan.

Penasaran, saya pun mencoba untuk melinggang dari tepian cerukan, dan ternyata linggangan yang bentuknya begitu halus dan rapi karena memang dibuat khusus untuk melinggang itu lumayan berat. Karena melinggang ternyata tak semudah yang kami bayangkan, akhirnya kami lebih memilih untuk menunggu di tepian cerukan. 

Melinggang Intan
Menunggu sebuah intan ditemukan tidaklah sebentar, menurut pendulang yang mengantar kami, mendulang intan saat ini tak lagi seperti dulu. Jika dulu setiap hari bisa ditemukan intan 10 gram, akan tetapi saat ini harus sabar melinggang berminggu atau berbulan-bulan lebih dulu untuk mendapatkannya.

Dari pendulangan intan itu saya pun belajar, menemukan kebahagiaan itu butuh waktu yang tidaklah sebentar, segalanya butuh proses, ada perjuangan yang harus kita lakukan, hingga nantinya kita benar-benar menemukan yang kita cari.

Malam harinya, saya bertemu dengan Randu Alamsyah, seorang penulis novel yang menggagas sebuah kompetisi menulis yang kemudian saya menangkan hingga akhirnya saya bisa datang ke Kota Banjarbaru ini.

Meski baru pertama kali bertemu, namun saya dan Mas Randu Alamsyah sudah seperti kawan lama yang telah bertahun-tahun tak berjumpa, di tengah percakapan kami selalu tercipta tawa dan canda yang membuat kami layaknya saudara.

Mas Randu kemudian mengajak saya untuk datang ke Perpusatakaan Daerah dan Minggu Raya, tempat dimana para penulis dan seniman berkumpul. Saya dikenalkan dengan banyak penulis dan seniman Kota Banjarbaru yang menyambut saya dengan senyuman dan tatapan penuh keakraban, membuat saya seperti berada di kampung halaman.

Kisah saya di Tanah Banua ini pun berlanjut ketika di hari kedua saya diundang oleh Dinas Pariwisata Banjarbaru untuk hadir ke malam puncak HUT Kota Banjarbaru Ke-15. Bahkan saya tak hanya hadir, namun saya pun didapuk untuk menjadi salah satu pengisi acaranya, saya diminta untuk membacakan hasil karya lomba yang saya menangkan hingga membuat saya bisa datang ke Kota Banjarbaru. 

Sore sebelum acara, asisten Kepala Dinas Pariwisata datang ke hotel tempat saya menginap untuk mengantarkan baju yang akan saya kenakan di malam puncak acara. Saya terkejut sekaligus bahagia ketika melihat baju yang akan saya kenakan, sebuah kebaya putih dan kain sasirangan berwarna kuning. Ada sebuah keharuan yang meledak di dada saya, betapa saya merasa sangat tersanjung, dengan mengenakan kain Sasirangan, saya yang notabene-nya adalah seseorang dari pulau seberang, merasa dirangkul dan merasa menjadi bagian dalam keluarga besar masyarakat Banjarbaru.

Malam puncak HUT Kota Banjarbaru Ke-15, saya berdiri di panggung utama bersama dengan Mas Randu untuk membacakan sebuah naskah pendek yang saya tulis untuk Kota Banjarbaru. Saya berdiri berhadapan dengan para petinggi Kota Banjarbaru dan puluhan ribu warga Kota Banjarbaru yang turut menyaksikan gelaran pesta rakyat tersebut. 

Bersama Randu Alamsyah Di Panggung Utama HUT Kota Banjarbaru Ke-15

Malam itu, ketika saya berdiri di hadapan puluhan ribu warga Kota Banjarbaru dengan mengenakan kain Sasirangan, menjadi salah satu malam yang tak akan saya lupakan, malam dimana pertama kalinya saya merasa begitu bangga dengan kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia.  

Ada satu hal yang saya sadari ketika kain Sasirangan itu saya kenakan bahwa tak hanya warga Banjarbaru saja yang wajib melestarikan Sasirangan, namun juga seluruh rakyat Indonesia termasuk saya. 

Rasa debar kebanggaan di hati saya semakin berdetak kencang ketika keesokan harinya saya melihat pawai Kain Sasirangan di depan Balaikota Banjarbaru. Laki-laki, perempuan, tua, muda dengan senyum penuh kebanggaan berjalan melenggang dengan mengenakan aneka rupa modifikasi kain Sasirangan. Mereka sudah berbuat sesuatu untuk menjaga tradisi Indonesia, lalu apa yang sudah saya lakukan untuk menjaga tradisi Indonesia? Saya merasa tertampar dengan pertanyaan yang berulang kali dibisikkan hati saya itu.  

Peserta Festival Sasirangan

Di Tanah Banua ini, Tuhan tak hanya mengabulkan impian saya untuk menjelajah Indonesia, namun juga mempertemukan saya dengan keluarga-keluarga baru, para penulis, seniman, duta pariwisata, dan masyarakat Kota Banjarbaru yang telah menunjukkan pada saya arti sebuah kebahagiaan dan kebanggaan pada negeri tercinta. 

Bersama Kak Hari dan Gendis (Keluarga Seniman Kota Banjarbaru)

Bersama seniman Kota Banjarbaru


Bersama Wakil Walikota dan Kepala Dinas Pariwisata
Kota Banjarbaru

Perjalanan ke Banjarbaru tahun lalu benar-benar menjadi titik balik cara pandang saya pada budaya bangsa Indonesia, budaya yang awalnya saya pandang sebelah mata justru telah berhasil membuat saya jatuh cinta. Saya pun tersadar jika kita seharusnya berbangga dengan segala tradisi milik bangsa Indonesia, karena jika bukan kita, lalu siapa lagi yang akan melestarikannya?
Sepulangnya dari Banjarbaru, tak hanya pengalaman yang saya bawa pulang, namun saya juga membawa pulang harta karun yang saya temukan di sana, yaitu selaksa kebahagiaan dan kebanggaan karena telah lahir di bumi Indonesia. (Richa Miskiyya)
Read More

SUCA 2015 : Menebar Tawa ke Seluruh Indonesia

Minggu, Desember 13, 2015



Tak terasa SUCA 2015 telah selesai, namun atmosfer tawa Stand Up Comedy Academy 2015 terbukti tak berhenti begitu saja. Stand Up Comedy Academy 2015 Indosiar telah berhasil menyihir para penonton seluruh Indonesia, penonton yang awalnya terpaku pada sinetron, telah beralih menjadi penonton setia Stand Up Comedy Academy 2015 Indosiar.

Sejak awal 2000-an, Indosiar memang selalu berhasil menawarkan suguhan acara menarik lewat ajang pencarian bakat yang menjadi booming dan disukai pemirsanya. Sejak AFI, Mamamia, Dangdut Academy Indosiar, dan yang teranyar adalah Stand Up Comedy Academy 2015. 

Ada beberapa hal menarik yang perlu dicatat tentang acara Stand Up Comedy Academy Indosiar 2015 yang mulai ditayangkan perdana pada 5 Oktober 2015. Berikut ini adalah catatan menarik seputar gelaran SUCA Indosiar 2015 tersebut :

1. Acara Stand Up Comedy Stripping Pertama

Stand Up Comedy Academy Indosiar adalah acara stand up comedy pertama yang berani tayang stripping, setiap hari senin hingga hari kamis pukul 20:00 WIB. 

Ini adalah keberanian acara yang memiliki tagline ‘Lucunya Tuh Di sini’ ini, kepercayaan diri untuk menyuguhkan acara yang berbeda bagi masyarakat Indonesia ternyata berbuah manis dengan semakin dikenalnya Stand Up Comedy oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Siaran Indosiar yang memiliki jangkauan luas dan bisa ditangkap hingga ke pelosok Indonesia, memungkinkan banyak orang bisa menikmati acara SUCA Indosiar 2015. Ini menjadikan masyarakat pun mempunyai pilihan tontonan yang menarik serta menghibur.

Tayang stripping mengharuskan SUCA 2015 harus menyuguhkan comic yang berbeda setiap harinya, dengan membagi peserta menjadi 4 (empat) grup (yang 1 comic dieliminasi setiap harinya) adalah pilihan terbaik karena penonton tidak akan bosan karena mereka dapat menonton berbagai macam comic dengan materi serta persona yang berbeda setiap harinya.    

Pilihan untuk tayang stripping ini memang sebuah pilihan yang cerdas, dengan jadwal tayang yang singkat, sejak 05 Oktober 2015 hingga grand final pada 13 November 2015, menjadikan masyarakat pun menjadi semakin penasaran dengan kelanjutan SUCA Indosiar season 2.

2. Acara Stand Up Comedy Pertama di Jam Prime Time

Selain tayang stripping, SUCA 2015 adalah acara stand up comedy pertama yang berani tayang di jam prime time. Di tengah kepungan acara sinetron, Indosiar menjadi pioneer acara stand up yang tayang di jam prime time. Sebenarnya ini menjadi pertaruhan bagi Indosiar, bukan hanya karena penonton Indonesia masih menjadikan sinetron sebagai tontonan primadona, tapi juga karena stand up comedy belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Jika dilihat dari komentar yang ada di media sosial, khususnya twitter, awalnya banyak yang memberikan komentar miring bahwa SUCA 2015 tidak akan sukses. Namun, semua komentar miring itu akhirnya terbantahkan, sejak episode perdana, SUCA 2015 telah berhasil menyita perhatian masyarakat. Ini terbukti dari rating/share SUCA 2015 yang selalu tinggi dan selalu menjadi trending topic di twitter. 

3. SUCA Tak Membedakan Peserta

Memang benar apa kata Pandji dalam blognya bahwa stand up comedy itu bukanlah milik satu stasiun televisi saja. Tidak ada comic TV A, comic TV B, atau comic TV C. Comic adalah comic, mereka menebarkan tawa untuk semua orang, bukan untuk golongan tertentu saja. 

Hal ini pun bisa dilihat bahwa SUCA 2015 yang tidak membedakan peserta, baik itu yang sudah sering tampil di televisi seperti Yudha Keling, Beni, Lolox, dan Heri Hore ataupun comic yang belum pernah seperti Musdalifah yang justru berhasil menyabet juara 3. 

Ini menunjukkan jika SUCA 2015 memang memandang kualitas, bukan memandang frekuensi seringnya tampil di televisi.  

4. Juri yang Mumpuni

Selain Eko Patrio, Abdel, dan Shoimah, kehadiran Raditya Dika, Pandji, dan Ernest Prakasa sebagai juri memang menjadi magnet tersendiri bagi. Selain karena mereka adalah comic yang sudah tidak diragukan lagi kiprahnya di dunia stand up comedy, kehadiran Radit, Pandji, dan Ernest juga menjadi tanda bahwa Indosiar benar-benar serius ingin melahirkan comic-comic yang berkualitas lewat acara Stand Up Comedy Academy Indosiar 2015 ini. 

Kenapa juri SUCA begitu banyak? Bukankah hanya Radit, Pandji, dan Ernest saja sudah cukup? Lalu kenapa harus ada Eko Patrio, Abdel, dan Shoimah? 

Kehadiran juri yang notabene dari dua generasi yang ‘berbeda’ ini menurut saya adalah cara yang jitu untuk menarik penonton. Radit, Pandji, dan Ernest untuk menarik penonton generasi muda yang sudah kenal dekat dengan sosok mereka. Sedangkan Eko Patrio, Abdel, dan Shoimah untuk menarik penonton dari generasi tua yang memang lebih mengenal mereka. Meskipun Abdel juga seorang comic, tapi masyarakat lebih mengenalnya sebagai pemain sinetron dan sebagai host pendamping Mamah Dedeh.   

Ketika salah satu dari Raditya Dika, Pandji, dan Ernest, SUCA Indosiar 2015 juga seringkali mendatangkan juri tamu dari kalangan comic, sebut saja di antaranya Babe Cabita, Ge Pamungkas, dan Kemal Pahlevi. Ini menunjukkan jika SUCA Indosiar 2015 memang ingin terus menjaga pakem standarisasi kualitas penilaian para finalis yang tampil.  

5. Host SUCA dan Mata Pelajaran Stand Up Comedy

Awalnya saya sempat bingung kenapa Host acara SUCA Indosiar 2015 adalah Gading Marteen, Gilang DIrga, dan Andhika Pratama yang notebene-nya masih awam dengan dunia stand up comedy. 

Akan tetapi semakin ke sini, saya semakin paham kenapa host yang dipilih adalah Gading, Gilang, dan Andhika, yaitu dikarenakan trio host ini secara tidak langsung mewakili para penonton yang juga masih banyak tidak paham dengan istilah-istilah asing di dunia stand up comedy. 

Pertanyaan-pertanyaan Gading, Gilang, serta Dhika kepada peserta, juri, maupun mentor menjadi pengetahuan baru bagi penonton. SUCA 2015 seperti sebuah sekolah, dimana penonton sedang belajar mata pelajaran stand up comedy dengan segala teori, tekhnik, serta istilah asing seperti act-out, punch line, persona, beat, dan masih banyak lagi. Saya yakin banyak ilmu tentang stand up comedy ini yang terserap oleh para host dan penonton, hal ini memang terbukti dengan tampilnya para host untuk stand up comedy yang ternyata menghasilkan ledakan tawa penonton karena materinya ‘Grrrrrrrrr nya berantakan’.    

6. Benang Merah Tawa

SUCA 2015 berhasil menghadirkan konsep stand up comedy yang berbeda, selain karena adanya pembagian finalis per grup, juga ada mentor untuk para peserta. Untuk mentor para finalis, adalah para comic yang sudah banyak malang melintang di dunia stand up comedy, yaitu Isman HS, Daned Gustama, Gilang Bhaskara, Mosidik, Arief Didu.

Keberadaan mentor yang juga hadir di panggung ini menjadikan benang merah tawa terasa semakin panjang. Jadi, bukan hanya para finalissaja yang berhasil menghasilkan tawa penonton, akan tetapi juga para juri, host, dan mentor berhasil mengulurkan benang merah tawa yang membuat para penonton tak berhenti tertawa. 

7. Bintang Tamu Istimewa

Setiap episode, SUCA Indosiar 2015 kerap menampilkan bintang tamu, tak hanya dari para comic, tapi juga dari kalangan selebritis. Sebut saja Saipul Jamil dan Zaskia Gotik. 

Kehadiran Saipul Jamil yang menjadi bahan Roasting (Rangkaian joke yang dilontarkan comic untuk meledek seseorang yang dijadikan sasaran) pada penampilan 4 (empat) besar.

Selain Saipul Jamil, ada pula bintang tamu yang menurut saya kahadirannya paling epic diantara bintang tamu lainnya, yaitu Zaskia Gotic yang datang khusus untuk memberi kejutan pada Cemen di malam Grand Final SUCA 2015. 

Kenapa saya bilang paling Epic? Karena Cemen seringkali menggunakan Zaskia Gotic sebagai bahan materi dalam stand up nya atas dasar rasa suka fans kepada artis juga atas dasar kedekatan sebagai warga Cikarang. 

8. Grand Final yang Selalu Terkenang

Bagi saya, malam Grand Final SUCA 2015 adalah salah satu episode terbaik dari SUCA 2015. Selain karena Cemen, Ephy, dan Musdalifah sebagai tiga besar berhasil membangun tawa maksimal penonton. Malam Grand Final juga menjadi sejarah acara stand comedy yang mendapat rating share tertinggi yaitu 6,6/34%, serta menempati Tranding Topic Indonesia di posisi pertama. 

Pada malam Grand Final juga menjadi malam yang penuh tawa, tak hanya karena penampilan para finalis, tapi juga karena kehadiran Zaskia Gotic yang khusus datang untuk menemui Cemen.

Cemen tentunya sangat terkejut ketika Zaskia Gotic datang, dan menghadiahinya kecupan serta ‘folback’ di instagram Cemen. Malam Grand Final SUCA 2015 akhirnya menghasilkan Cemen sebagai juara 1, Ephy sebagai juara 2, serta Musdalifah sebagai juara 3. 

Acara Stand Up Comedy Academy 2015 memang banyak memberikan konsep yang berbeda serta menjadi suguhan yang menarik bagi penonton. Ada banyak kelebihan dalam acara Stand Up Comedy Academy 2015, meski begitu bukan berarti tidak ada kekurangan. Salah satu kekurangan yang menurut saya cukup mencolok adalah tampilan panggung SUCA 2015 pada saat Grand Final yang terasa biasa saja.

Seharusnya panggung Grand Final harus berbeda dan lebih megah, tampilan panggung Grand Final yang tak berubah membuatnya menjadi panggung Grand Final rasa Audisi. Kenapa tata panggung penting? Selain karena menjadi tontonan yang istimewa untuk penonton, juga sebagai penghargaan bagi para finalis 3 besar yang sudah berhasil melaju ke Grand Final.

Demikian hasil review saya untuk acara Stand Up Comedy Academy Indosiar 2015. Selamat untuk Cemen, Ephy, dan Musdalifah sebagai juara SUCA 2015, serta tak lupa saya ucapkan terima kasih untuk Indosiar dan Stand Up Comedy Academy 2015 yang telah berhasil menebarkan tawa ke seluruh Indonesia.(*)
Read More