MENJEMPUT PURNAMA

Rabu, Juni 09, 2010

Oleh : Richa Miskiyya

Kepalaku terantuk jendela bus untuk kesekian kalinya. Sakit sekali dan membuatku enggan melanjutkan tidurku, mataku mengerjap, mulai mengumpulkan kesadaranku; kesadaran bahwa aku kini tengah berada dalam babak baru hidupku, babak yang aku sebut sebagai “Menjemput Mimpi”.
Jalan yang aku lalui bersama bus tua dengan sesak penumpang membuatku serasa terpanggang di tengah udara panas yang kurang bersahabat ini. Tangisan bayi yang digendong ibunya di deretan sebelahku menambah rasa berbeda di dalam bus yang aku tumpangi. Rasa keprihatinan juga rasa kemiskinan.
Aku melihat ke jendela di sampingku, terlihat papan bertuliskan “Selamat Datang di Dusun Arjosari”. Dusun miskin di selatan Jawa Tengah inilah yang akan menjadi saksi mimpi-mimpiku yang akan segera terwujud.
Mimpiku sebagai guru agama, bukan sebagai teknisi mesin seperti yang diharapkan Bapak padaku. Aku memang anak Bapak tapi aku bukan anak dari pikiran Bapak, begitulah protesku kala itu. Sebenarnya aku tak ingin menjadi anak durhaka, aku hanya ingin mengejar mimpiku.
Dulu aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang guru agama. Di masa-masa SMA aku bercita-cita menjadi pembalap racing di sirkuit. Tapi semenjak kejadian itu aku semakin sadar bahwa hidupku selama ini belum ada apa-apanya, nihil dan tak berarti. Masih terlihat jelas sekali bayang-bayang kejadian malam itu.
***
Hujan menerpa tubuhku, motor kupacu dalam kecepatan tinggi menembus angin disertai petir. Tapi akhirnya aku menunda perjalananku yang tinggal dua km lagi menuju rumahku di Semarang Barat. Aku memilih membelokkan motorku ke kiri jalan dan memasuki area masjid.
Aku hanya ingin berteduh, tak ada keinginan berwudhu, tak ada juga keinginan untuk shalat karena aku memang tak bisa dan tak pernah diajari untuk itu. Sejak kecil aku hanya diajari untuk belajar dan belajar di dalam kamar dan tak boleh keluar sebelum pukul sembilan malam.
Aku sebenarnya jenuh, di dalam kamar aku hanya membuka buku pelajaranku sekilas, dan selanjutnya hanya ada komik di tanganku. Badung memang, tapi biarlah, yang penting aku tak pernah mendapatkan nilai merah dan selalu masuk tiga besar di kelas, karena hanya itulah yang diinginkan Bapak. Tak mau tahu bagaimana caranya aku mendapatkannya.
Aku menyandarkan punggungku di tiang masjid sambil menunggu hujan reda. Aku menengok jam dinding di atas mihrab, masih setengah delapan.
Lamat-lamat aku mendengar suara anak kecil sedang berdoa, lumayan keras, sudah tak ada siapa-siapa di sekitar gadis kecil itu. Tak berapa lama gadis kecil itu menghampiriku, mungkin ia sadar sedari tadi aku memperhatikannya.
“Kakak sudah sholat?” tanya gadis itu tiba-tiba. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Kenapa Kakak belum sholat? Sudah hampir habis lho waktunya,” katanya lagi.
“Capek,” jawabku singkat.
“O…” ujar gadis kecil itu, tak ada protes lagi kenapa aku tak shalat.
“Bapakku juga sering tidak sholat, katanya beliau capek, tapi aku tetap rajin sholat meskipun aku capek setiap hari harus keliling menjual kue buatan Ibu,” kata si gadis kecil , begitu lugas dan sedikit cadas.
Aku melihatnya dari ujung kaki sampai kepala. Gadis kecil berumur sekitar delapan tahunan dengan kerudung mungil menutupi kepalanya.
“Namamu siapa?” tanyaku.
“Ais, Aisyah, Kak,” jawabnya.
“Kamu sendirian?”
“Iya, Kak, tadi bersama Ibu, tapi Ibu sudah pulang duluan, mau buat kue untuk dijual besok.”
“Kamu sekolah?”
“Sekolah, Kak, kelas tiga.”
“Kalau besar mau jadi apa? Dokter apa Menteri?” tanyaku. Ais hanya menggeleng.
“Ais ingin jadi guru agama, Kak.”
Aku tersentak mendengar jawaban Ais.
“Kenapa ingin jadi guru agama?”
“Biar bisa ngajarin anak-anak yang nggak mampu kayak Ais buat belajar baca Quran dan sholat, Kak. Kasihan mereka kalau tidak kenal agama.”
Cerdas sekali anak ini, aku saja tak pernah punya pikiran seperti itu, batinku.
“Doa yang tadi kamu baca doa apa?” tanyaku.
“Kakak tidak tahu? Hahahahaha...!” tawanya berderai seolah-olah melecehkanku, tapi aku sama sekali tak merasa tersinggung.
“Itu doa untuk kedua orang tua, Kak. Robbighfirlii Waliwalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaani Soghiiroo, artinya, Ya Allah Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka seperti mereka menyayangiku waktu kecil.”
“O….”
“Ais selalu mendoakan Bapak Ibu setelah sholat, biar Bapak yang tak pernah sholat dan sering memukul Ibu diampuni dosa-dosanya oleh Allah.”
Tiba-tiba air mata Ais meleleh, namun ia segera memalingkan wajahnya, menutupi sinar matanya yang sebenarnya penuh duka.
Beberapa saat diam menghinggapi kami, aku tak ingin bertanya lebih jauh tentangnya, karena mungkin saja itu bisa menambah besar luka di hatinya yang masih lugu.
“Hujannya sudah reda. Ais pamit dulu, Kak, pasti Ibu sudah menunggu. Kakak harus rajin sholat ya dan harus selalu berdoa untuk Bapak dan Ibu.” ucap Ais.
Bayang-bayang Ais pun hilang ditelan gelap malam.
Malam itu adalah pertama kali dan juga terakhir kali aku bertemu dengannya. Hari-hari berikutnya aku sempatkan untuk berbelok ke masjid tempat aku bertemu Ais, tapi aku tak pernah melihatnya lagi.
Aku bertanya kepada ustadz yang mengajar mengaji selepas maghrib tentang keberadaan Aisya. Aku mendapatkan kenyataan mencengangkan, sehari setelah aku bertemu dengannya, ia tewas karena ditendang Bapaknya. Kepala Aish terbentur ke dinding dan mengalami perdarahan hebat.
Hatiku gemetar mendengar itu. Bapaknya tak pernah tahu betapa shalehahnya seorang Aisya yang selalu mendoakannya setiap hari. Aku pun tersadar; apa yang dikatakan Ais adalah amanah yang dititipkan kepadaku, amanah untuk mengajarkan agama dan menjadikan cita-citanya sebagai cita-citaku kini.
***
Akhirnya, di sinilah kakiku berpijak kini, membawa cita-cita Aisya dan senyumnya di hatiku untuk menghadapi hidup di depanku.
Dusun Arjosari, dusun penuh bukit hijau, terisolasi, di sinilah aku akan menghadapi hari-hariku ke depan, ditugaskan sebagai guru agama oleh instansi yang menaungi pekerjaanku sebagai guru agama honorer.
Aku segera menuju ke rumah Pak Sarjono, atau yang lebih akrab dipanggil Pak Jono, kepala sekolah tempat aku akan bertugas. Tak sulit menemukan rumahnya, setelah bertanya kanan kiri, akhirnya aku sampai juga ke rumah Pak Jono, sebuah rumah kecil yang dinaungi pohon mangga di halaman depannya.
Seorang wanita paruh baya menyambutku.
“Tunggu sebentar, Nak, Ibu panggilkan Pak Jono dulu, silakan duduk,” kata Bu Jono ramah.
“Iya, Bu, terima kasih.”
Aku melihat dinding ruang tamu, banyak kaligrafi Arab terpasang.
Sepertinya Pak Jono termasuk orang yang religius, batinku.
Tak berapa lama muncul seorang lelaki seumuran bapakku sambil membetulkan letak kancing baju koko yang dipakainya. Ada dua tanda hitam di dahinya yang semakin meyakinkanku akan kekhusyuan ibadahnya. Tapi aku tak mau menerka, takwa seseorang biarlah menjadi urusan Tuhan.
“Anda Pak Aryo….?” tanyanya ramah sambil mengulurkan tangan.
“Benar, Pak, saya Aryo.”
Beberapa saat kami bercakap dan berbasa-basi tentang kehidupan pribadi kami, akhirnya kami pun pergi ke luar mengitari desa kecil itu. Melewati jalan setapak yang berliku dan sedikit licin diterpa hujan semalam.
Kami sampai di sebuah rumah kecil berdinding kayu, namun lantainya sudah dilapisi dengan semen. Inilah rumah yang nantinya akan menjadi tempat tinggalku. Tak ada yang istimewa, hanya ada sebuah kasur usang, meja kecil, dan lemari kecil untuk tempat pakaian. Syukur listrik sudah masuk desa ini, jadi aku tak perlu bergelut dengan pompa petromax jika ingin mendapatkan penerangan kala malam.
Bisa dibilang rumah baruku ini berada di atas bukit, seluruh bagian desa bisa aku lihat dengan jelas, rumah Pak Jono di ujung timur desa, sungai yag mengalir dengan riak-riak kecil di sisi barat, Sekolah Dasar menempati bagian selatan, juga kubah kecil mushala di sisi bawah dari bukit yang aku diami.
***
Sudah pukul enam sore, aku menunggu getar-getar azan maghrib dari arah mushala, namun tak jua bergema. Tak berapa lama akhirnya terdengar juga suara panggilan itu.
Allahu Akbar Allaahu Akbar…!
Aku pun segera bergegas mengambil wudhu dari pancuran gentong di samping rumahku, dan menuju suara panggilan yang mengajakku untuk menghadap-Nya.
Sesampainya di mushalla, ternyata sang muazin adalah Pak Jono. Hanya ada sepasang sandal di teras mushalla. Aku pun masuk dan menambah jumlah sandal menjadi dua pasang.
Selesai iqamat, Pak Jono mengajakku ke depan, menjadi makmum di belakangnya. Begitulah, Pak Jono menjadi muazin sekaligus imam. Jika tak ada aku pastilah ia akan shalat sendirian. Tak berapa lama terdengar langkah kaki menyusul ke dalam mushalla dan mengikuti gerakan kami.
Salam kami tunaikan, ternyata makmum terakhir adalah Bu Jono, hanya ada kami bertiga, padahal menurut data yang aku miliki dusun ini terdiri dari tiga puluh keluarga, jumlah yang cukup besar untuk sebah dusun kecil di balik bukit terpencil seperti ini.
***
Aku menatap hamparan dusun dari atas bukit tempatku tinggal. Sejuk, tenang, tapi sayang agama tak lagi bermakna di sini, mungkin inilah sebabnya Tuhan mengirimku ke sini. Meninggalkan segala kesenangan di rumahku, kasur empuk, motor kinclong, makanan lezat, juga meninggalkan orang tuaku. Tersiksa sebenarnya melihat ibuku melepasku dengan tangisan air mata.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Tunaikan tugasmu dengan sempurna jika ini memang pilihanmu,” begitulah pesan Ibu.
Aku tak ingin menjadi seperti Mbak Desi yang salah langkah, ia menuruti keinginan Bapak untuk menjadi dokter dan akhirnya dikirim ke Jakarta dengan bekal uang yang cukup, bahkan lebih, tapi sama sekali tak dibekali iman.
Tanpa disadari orang tuaku, ternyata uang yang selama ini dikirim digunakan untuk nyimeng alias ngedrugs, setelah empat tahun bukannya menjadi sarjana melainkan harus terkurung di keranda, tewas karena overdosis.
Itulah sebabnya aku ingin membekali anak-anakku juga anak-anak didikku dengan ilmu Al-Quran, tak hanya ilmu Aljabar, belajar hidup dengan iman tak hanya dengan keahlian,
“Assalamualaikum, Mas Aryo….”
Tiba-tiba ada yang memanggilku. Badanku merinding, sudah setengah sembilan, tapi kenapa masih ada seorang wanita berjilbab berparas cantik datang. Tapi pikiran buruk dan takut segera aku tepis.
“Waalaikumsalam….”
“Kok melamun, Mas?" tanyanya tersenyum.
“Ah, tidak, saya sedang menikmati keindahan dusun ini,” jawabku.Ia menghampiriku dan duduk satu meter di sampingku.
“Keindahan atau kehampaan, Mas?” tanyanya seakan tahu apa yang aku pikirkan.
“Dulu desa ini terkenal sebagai dusun yang agamis, tapi semenjak banyak pemuda yang merantau ke kota, mereka pun menjadi lupa akan agama, ketika kembali ke kampung, mereka menjadi sombong dan menganggap tanpa agama pun mereka bisa kaya. Tapi, mereka tak pernah tahu bahwa hatinya miskin.”
Aku mengangguk-angguk mendengar penuturannya.
“Ngomong-ngomong Mbak tinggal di mana? Kenapa malam-malam lewat sini, apa tidak takut?” tanyaku.
“Nama saya Mala. Saya tinggal di balik bukit ini, tadi habis menengok saudara di kampung bawah. Saya tahu dari Pak Jono kalau ada guru agama baru yang akan mengajar di sekolah kampung kami.”
“Kasihan anak-anak di sini.”
“Mmm…kenapa kasihan?"
“Anak-anak disini tak lagi kenal agama.”
“Pasti Mas Aryo tahu, mushola desa ini selalu sepi, tak pernah ada yang beribadah, kecuali Pak Jono dan istrinya,” tambahnya.
Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan kata-katanya.
“Tolonglah dusun ini, Mas….”
“Menolong bagaimana? Aku hanya seorang guru agama, bahkan aku baru dua hari berada di Dusun ini.”
“Tolong bimbing anak-anak itu untuk mengenal Tuhannya, saya yakin Mas Aryo bisa.”
Begitu mantap kata-katanya mengatakan hal itu padaku, sebuah dukungan, keyakinan, atau pujian, entahlah.
“Kenapa Mbak begitu yakin sama saya? Kita kan baru kenal?” tanyaku.
“Mas Aryo sendiri yang mengatakannya,” jawabannya membuat keningku berlipat-lipat.
“Sikap Mas Aryo yang mengatakannya. Mas Aryo adalah orang mapan dan berpendidikan tapi mau menjadi guru agama di tempat yang terpencil seperti ini, itu sesuatu yang istimewa bukan?”
“Jangan kaget, saya mendapat cerita ini dari Pak Jono” tambahnya.
Aku baru ingat, ketika pertama kali datang kemari aku sempat bertukar cerita tentag hidupku kepada Pak Jono kenapa aku bisa sampai disini. Pantas saja Mala bisa tahu, mungkin ia memang dekat dengan Pak Jono sehingga banyak tahu tentangku.
“Jemput purnama itu, Mas,” kata Mala sambil menunjuk rembulan di atas kami yang memang sedang purnama.
“Maksudnya?”
“Purnama itu ibarat agama dan keyakinan Mas untuk membantu dusun ini. Jemputlah agama itu dan berikanlah pada dusun ini agar kehidupan gelap dusun ini menjadi terang,” katanya berfilosofi.
“Tapi purnama hanya datang sekali dalam sebulan bukan?” tanyaku padanya.
“Maka dari itu, jemputlah ia, dan letakkan keyakinan itu di hati Mas, maka purnama itu tak akan pergi dan akan selalu terang di hati, setelah itu bagilah sinarnya pada anak-anak dan penduduk di dusun ini dengan pendidikan agama tanpa bersikap menggurui dan memaksa.”
“Maaf, Mas, sudah malam, saya harus segera pulang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Tenang, Mala…aku akan laksanakan itu dan menjemput purnama, batinku sambil mengikuti langkahnya hingga hilang ditelan malam.
***
Seminggu setelah pertemuanku dengan Mala, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Di mushalla, sungai, ataupun di jalan depan rumahku. Padahal aku ingin berdiskusi dengannya, aku ingin mengatakan bahwa aku sudah mulai mendidik anak-anak di dusun ini dengan sikap purnama yang lembut tapi terang seperti yang pernah dikatakannya.
Aku juga ingin mengatakan bahwa kini aku mulai mengajari anak-anak itu belajar hijaiyah dan tata cara berwudhu. Tentang Islam, Iman, juga Ihsan. Bahwa hidup harus dengan ilmu juga amal agar menjadi berkah.
Sore ini aku melangkahkan kakiku memasuki pekarangan rumah Pak Jono untuk melaporkan kegiatanku dalam seminggu ini. Sambil menunggu Pak Jono dari belakang, seperti biasanya aku dipersilakan masuk oleh istrinya dan duduk di sofa kayu yang sudah lapuk dimakan usia.
Aku pun iseng mengambil album foto yang tergeletak di kolong meja ruang tamu, lembar demi lembar aku buka. Betapa kagetnya aku ada sebuah foto hitam putih, di dalamnya masih tercetak jelas seorang wanita cantik berjilbab di tengah deretan anak-anak usia SD, seperti foto akhir tahun. Dan aku kenal wanita di dalam foto itu, ya, tak salah lagi, ia adalah Mala.
“Sudah lama, Pak Aryo?” Pak Jono sudah duduk di kursi yang berhadapan denganku.
“Ah, tidak Pak, baru saja. Oh ya, Pak, kalau boleh saya tahu ini foto siapa ya?” Aku menunjukkan foto yang sedari tadi aku pandangi.
“O…ini foto saya ketika perpisahan akhir tahun, kira-kira empat puluh tahun yang lalu, ini saya yang paling pojok bawah sendiri,” katanya sambil menunjuk seorang anak kecil berkepala botak dengan senyum meringis.
Foto SD? Ah mana mungkin? Jelas-jelas ini Mala, batinku.
“Lalu ini siapa, Pak?” tanyaku sambil menunjuk gambar wanita yang mirip dengan Mala.
“O, itu foto Bu Kum, guru favorit Bapak ketika SD. Dia seperti Pak Aryo, kalau pagi mengajar di sekolah, kalau malam mengajar anak-anak belajar mengaji di mushalla.”
“Bu Kum?” tanyaku.
“Iya, Bu Kum, Bu Kumala tepatnya, tapi sayang dia meninggal muda. Malam itu, malam bulan purnama, Bu Kum pulang sendirian selepas mengajar mengaji dan sholat isya di mushalla. Di tengah perjalanan ia dikejar oleh pemuda nakal kampung sebelah. Mereka ingin memperkosa Bu Kum, akhirnya dia lari dan terperosok di tebing licin dekat rumah Pak Aryo. Kami sangat kehilangan Bu Kum.Kami memakamkannya di balik bukit sana keesokan harinya.”
“Semenjak itu tak ada lagi guru seperti Bu Kum di kampung ini, hingga akhirnya Pak Aryo datang kemari, membawa ajaran seperti yang pernah diajarkan Bu Kum.”
Mendengar penuturan Pak Jono tentang Mala, bukan, tepatnya tentang Bu Kumala, hatiku menjadi pias dan mataku berkunang-kunang. Aku tak menyangka Bu Kum memilihku dan telah mengajariku bagaimana menjemput Purnama.
Tubuhku menggigil dan lemas, terdengar suara Pak Jono memanggil-manggil namaku, tapi aku tak dapat membuka mataku, tubuhku seperti tertimpa purnama, entahlah.

(Dimuat di Annida-Online, 08 Juni 2010)
Read More

TITIP RINDU BUAT GUS DUR

Oleh : Richa Miskiyya

Tuhan....
Aku hanya rakyat biasa
Yang tak dikenal pejabat berdasi
Apalagi presiden dan menteri-menteri
Maka dengarlah ceritaku....

Tuhan....
Kemarin aku mendengar kisah
Dari Abah di rumah
Tentang seorang yang ramah di kampung sebelah
Kisah serupa ku dengar dari orang-orang di pasar
Tentang seorang yang sabar meski di cecar
Rupanya kini aku melihatnya
Terbujur dalam keranda dan dijunjung ribuan tangan manusia
Penuh takbir, penyuh tahmid, dan penuh do'a

Tuhan....
Kemarin pula aku mendengar mereka bertengkar
Tentang gelar yang ditawar
Untuk Bapak bangsa, ulama besar, atau ulama nasional
Sungguh malu aku.....
Dia saja tak pernah memasang gelar meski berkelana di puluhan kampus besar

Tuhan....
Hari ini aku dengar
Namanya disebut di Masjid, Pura, Gereja, Kelenteng
Namanya di ucap di kantor. bus, penjara, juga pasar
Meski aku tak pernah bicara dengannya
Aku rindu padanya

Tuhan....
Untuk jiwa-jiwa besar yang ia tata dari dasar
Sampaikanlah rinduku untuknya......

(Puisi ini tergabung dalam Antologi Puisi Mengenang 100 Hari Gus Dur, Gus Dur Ku, Gus Dur Mu, Gus Dur Kita, 2010)
Read More

MATA PURNAMA


-->
Oleh : Richa Miskiyya

Kisah Angin (1)
Malam ini ritual itu akan aku mulai lagi, entah sudah berapa lama aku memulai ritual ini, dan sudah berapa angin aku sapa, berapa bintang yang aku lukis di memori otakku, aku lupa. Yang aku tahu dan aku ingat, hanya ada satu yang selalu tetap dan tak berubah, Purnama.
Bagiku, ini lebih dari sekedar ritual, kewajiban, bukan lagi sunnah, apalagi makruh. Aku sangat membutuhkannya. Biar saja orang menganggapku gila, sinting, gendheng, kesurupan, atau semacamnya. Terserah, yang penting aku bahagia dan menikmatinya.
Aku melewati tangga lingkar menuju lantai dua dan melangkah menuju genting sebelah tangga. “Hap!,” aku pun duduk memeluk lututku, meski dingin tak begitu rupa, tapi aku bagai memeluk purnama. Begitu hangat sinarnya.
Setiap tengah bulan aku selalu di sini. Jika ada yang mencari aku, pastilah mereka tahu di mana. Selepas ngaji bandongan Ushfuriyah tiap tanggal lima belas, aku pun akan bergegas ke tempat peraduanku, tanpa banyak kata melangkah menemui kekasihku, purnama. Hingga teman-teman di pesantren memanggilku anak angin.
Dalam sinarnya aku merasakan kehangatan, meski sang pawana menimangku dalam gigil, tapi aku tetap dalam pendirianku. Aku ingin menemani kekasihku hingga pagi.
Entah kenapa aku begitu tergila-gila dengannya, purnama. Apakah benar karena ia yang kunanti selama ini tak kunjung kembali. Mata itu…!! Mata yang selalu kusambut dengan senyum tiap pagi di gerbang sekolahku. Masih terlalu kecil mungkin, ketika biru putih masih mendekap tubuh mungilku. Lucu memang, tapi itulah adanya.
Mata itu bersinar, teduh layaknya rembulan, aku tak pernah tahu namanya, yang aku tahu mata itu adalah purnama yang muncul di siang hari. Begitu tenang, teduh bagiku, entah bagi orang lain. Hingga di suatu pagi aku tak pernah melihatnya lagi lewat gerbang hijau sekolahku, sehari, dua hari, hingga seminggu barulah aku tahu ia meninggalkanku. Bersama orang tuanya ke tanah selatan Jawa, Yogyakarta.
Aku tak pernah bertanya siapa namanya, atau lebih tepatnya aku tak pernah ingin tahu siapa namanya, karena yang kuingin hanyalah memanggilnya PURNAMA. Aku memenggal empat huruf terakhir menjadi “NAMA” untuk sebuah nama kecil yang begitu indah.
* * * * *
Kisah Purnama (1)
Kumulai langkah baruku, bersama sepenggal kisah yang akan aku rangkai kembali bersama sepenggal kisah lain. Di dalam gerbang di hadapanku ini ada jawabannya, begitulah kata hatiku. “Pondok Pesantren Putra Putri Asyariyah, kau akan menjadi saksi”
Semoga ini bukan ambang batas yang akan menghancurkan semestaku. Aku hanya ingin menjadi saksi juga aktor bagi bertautnya cinta yang terekam mata dalam memori waktu. Dan aku akan menemukanmu. Putri Angin…tunggulah aku.
* * * * *
Kisah Angin (2)
Karena Purnama juga lah, setelah SMA aku bentrok dengan Abahku. Keinginanku meneruskan kuliah ke Yogya tak direstui. Apalah daya, otoritas Abahku sebagai seorang ayah bagiku tak bisa aku tandingi.
“Abahmu ini Kyai nduk…apa kata orang kalau tahu anaknya tak mau masuk pesantren?!” begitulah kata-kata Abahku yang aku benci.
Aku jengah dengan sebutan Kyai untuk Abah, aku tak pernah ingin menganggap Abah sebagai Kyai, bagiku Abah adalah Abah, bukan Kyai. Karena Abahku pula sekarang aku terdampar disini, sebuah pesantren di kota kretek, yang mana akan tercium wangi tembakau dari pabrik kala hujan turun. Nikmat memang, tapi dari sini pula aku harus memendam kisahku tentang Nama dengan peraduanku kala malam.
Aku tak pernah minta banyak pada purnama, aku hanya memintanya menemaniku satu malam saja tiap bulan, tidak lebih. Dan itulah yang sudah ia lakukan, dengan senyumnya merangkulku.
Suara teman-temanku di gotakan lamat-lamat mulai menghilang, mungkin mereka sudah tertidur. Kupandang jam tangan warna silver di pergelangan kiriku, pukul 00.05 WIB. Sudah lewat tengah malam, pantas sudah tak ada suara, tapi dengarlah kegaduhan akan kembali muncul tiga jam lagi. Saat Mbak Aini sang lurah pondok melantunkan sholawat dan berbekal sajadah memukul kaki para santri. Tak sakit memang, tapi cukuplah untuk mengembalikan nyawa mereka yang sudah berkelana hingga ke negeri Obama untuk menghadap Ilahi bersama hajat dan tahajud.
Tapi pukulan sajadah itu tak cukup manjur untuk beberapa santri, jika Mbak Aini sudah berpindah ke gotakan lain, tak ayal santri mbeling itu akan kembali memeluk bantal atau transmigrasi ke lemari besar tempat baju-baju seragam sekolah digantungkan.
Jika beruntung, tak akan tertangkap pengurus, tapi jika tertangkap, siap-siap menghadap Bu Nyai dan membaca Asma’ul Husna dua puluh kali di hadapan beliau. Sebuah hukuman yang mendidik tanpa harus dengan kekerasan.
Selama aku hampir tiga tahun disini, aku belum pernah sekalipun tertangkap pengurus, padahal aku jarang ikut jama’ah, lucu memang, tapi itulah kenyataannya.
“Ia belum datang juga….” Dengusku agak kesal.
“Kenapa awan-awan itu menggangguku? Ayolah sayangku….cepat datang, aku tak mau embun-embun itu membasahi mataku hingga aku tak dapat melihat jelas rupamu” ucapku pada langit.
Tak berapa lama senyumku terkembang, akhirnya engkau datang juga….memang benar parasmu serupa dengan mata itu, mata yang selalu menghiasi mimpiku, mata purnamaku, yang sampai sekarang aku tak tahu ia dimana. Yang pasti, ia selalu ada disampingku.
“Zul…bangun!! Zulaicha…bangun, tahajud!!” mataku mulai meraba dunia,
“Hhhhh….” Aku mengerjapkan mataku beberapa kali.
“Bangun, tahajud!!!” ternyata Mbak Aini yang membangunkanku, tak terasa aku tertidur di atas atap, ku pandang lagi ia, ternyata masih ada di langit, meski sudah pindah beberapa derajat dari tempat semula, tapi cukuplah untuk menyapaku sebelum embun merayuku.
* * * * *
Kisah Purnama (2)
Aku kedinginan karena sapaan angin semalam, aku melihatnya di gelap malam, senyumnya merekah kala ia datang menyapa, sapaan purnama itu ia terima dengan do’a. Semoga ia tak melihatku sedang mengawasinya. Ternyata benar, ia begitu cantik dalam pantulan cahaya purnama, apalagi ketika ia pulas berselimut angin di atas sana, ternyata Purnama memang tak bohong dalam kisahnya.
* * * * *
Kisah Angin (3)
Sholawat fajar memaksaku untuk meninggalkan purnama, kewajiban para santri saat jum’at fajar dimulai dan sebelum subuh berkumandang. Aku melihat kantuk masih menyergap mata kawan seperjuanganku, tapi begitulah, perjuangan yang sama dalam meraih cita, tapi tak sama dalam cinta, itu menurutku, tapi entah menurut mereka.
Kewajiban yang sama pun kembali hadir, ketika hari libur bagi santri yang sekolah, tapi tak libur untuk ro’an di pondok. Santri yang kemungkinan besar di rumah hanya bersantai, jangan harap bisa terlaksana pula di pondok.
Mata pengurus setajam elang, menyisir setiap sudut pondok, selain acara ro’an, acara yang juga ditunggu oleh pengurus adalah melaksanakan takziran bagi santri yang menjadi terdakwa kasus berat, menguras got.
Aku tak berminat melihat teman-temanku yang menjadi terdakwa kasus, bisa kualat, istilahnya bergembira dan tertawa di atas penderitaan orang lain. Aku tak mau seperti pejabat yang duduk di kursi empuk, dapatkan keinginan, tapi kemudian tertawa di atas penderitaan rakyatnya. Aku akhirnya memilih bergabung di belakang pondok, mencuci bajuku yang sudah menumpuk bak tumpukan hamburger yang siap disantap.
“Tahu tidak, ada santri putra baru lho, ganteng, Gus Yusuf namanya, putra kyai dari Yogyakarta” kata Mbak Ratih yang mencuci menggunakan kran air di sampingku. Gosip dari Mbak Ratih pun menjadi bahan obrolan hangat di tempat cuci pagi itu
Cerita tentang sang pangeran bergulir bak bola salju, ada bumbu-bumbu disana-sini, entah dia anak kyai lah, pintar baca kitab lah, tapi bagiku itu hanya uap dari santri baru. Dua atau tiga bulan lagi juga surut episode tentangnya.
* * * * *
Kisah Purnama (3)
Hijabmu putih bersih bercorak mawar, sesekali kamu mengibaskan tanganmu menghalau debu dan asap centil yang mengganggu hidung dan mata cantikmu, langkahmu seanggun angin pantai sayang. Engkau melangkah bersama beberapa buku diktat kuliah di tangan melewati gerbang dan berjalan di samping ndalem. Aku pun beranjak dari persembunyianku dan melewati jalan di samping kamarmu, berharap akan melihatmu dari balik satir. Namun, yang kutemukan justru suara kawan-kawanmu yang membuatku malu dan berlalu.
* * * * *
Kisah Angin (4)
“Itu dia orangnya,” tunjuk seorang santri putri dari balik jendela gotakan. Santri sekamarku pun bergegas ingin melihat santri baru yang jadi buah bibir itu.
Aku baru masuk gotakan melihat kegaduhan yang terjadi, tapi sumpah, aku hanya ingin melihat dan ikut meramaikan saja. Perawakannya gagah, meskipun tak begitu tinggi, tapi sayang aku hanya melihat punggungnya sekilas. Tapi rasanya aku pernah melihat punggung itu, tapi dimana
Terserahlah, aku tak ingin larut dengan euphoria kaum hawa yang sedang pubertas, aku hanya ingin purnama, tak mau tahu soal lelaki lain, yang wajahnya saja aku tak tahu. Meskipun terkesan sok, entahlah, hanya ia yang ada dalam alam pikirku.
* * * * *
Kisah Purnama (4)
Akhirnya aku temukan dia, setelah sekian waktu petualanganku mencari jejaknya kembali, demi mengurai kisah klasik yang pernah tercipta, dari serakan-serakan puisi usang dan bersimbah noktah merah darah.
Meskipun hanya sekilas mata aku melihatnya, tapi aku tahu itu dia, sang angin….Tak tahu ia melihatku ataukah tak hiraukan keberadaanku, atau bahkan ia lupa segala kisah lalu. Rasanya mungkin memang indah jika jalannya tak seperti ini. Tapi entahlah, siapa yang akan tahu jalan di depan, lurus, bergelombang, atau berkelok, sedangkan aku belum pernah melewatinya.
“Semoga semua akan baik-baik saja” pintaku dalam hati penuh harap.
* * * * *
Kisah Angin (5)
Ini sudah kesekian kali aku menemukan kertas berukir sepenggal puisi yang dilempar lewat jendela kamarku, ketika aku tengok keluar ternyata yang aku temukan punggung yang sama dengan lelaki gagah idaman santri putri itu.
Entah ditujukan pada siapa puisi ini.
Sang Angin telah kembali….
Bersama ketenangan yang meredam cekam
Akankah kau tahu purnama kedua menanti
Hanya sebait puisi, singkat, padat, tapi sarat pesan. Akhirnya aku beranikan menulis rangkaian aksara. Tiba-tiba terdengar suara bisikan yang memanggil dari bawah jendela kamarku yang memang merupakan jalan pemisah antara pondok putra dan putri.
“Masya Allah….mata itu…mata purnama, tapi mungkinkah” batinku berkecamuk hebat.
“Si…siapa kamu?” suaraku bergetar.
“Aku purnama, balas ya puisiku” katanya penuh senyum.
Aku pun segera melemparkan kertas yang tadi sempat aku corat-coret, tanpa basa-basi, tanpa senyum aku pun kemudian berlalu dari jendela. Karena aku tak mau ia melihat wajahku yang berubah merah.
* * * * *
Kisah Purnama (5)
Pertama kali aku berbicara dengannya, memang begitu sejuk suaranya, laksana angin, kadang ia lembut, tapi kadang juga bisa setegas topan.
Aku tangkap kertas pemberiannya, tapi kenapa ia begitu cepat berlalu, apa mungkin caraku salah. Aku melangkahkan kakiku kembali ke kamar. Kubuka kertas pemberiannya.
Siapa dalam malam
Apakah hanya angin?
Kuharap tiada awan yang begitu angkuh
Hingga aku tak tahu siapa dalam pandang
Yang begitu ramah menyapa
Senyumku tiba-tiba merekah, aku tak tahu ternyata ia bisa merangkai kata. “Purnama, ini semua untukmu, bukan untukku” bisikku seraya melipat kertas yang baru saja aku baca.
Aku kembali membuka rangkaian puisi yang aku susun rapi tiga tahun lalu, penuh warna merah di beberapa tempat. Aku belajar puisi darinya, dari orang yang begitu penuh cinta hingga rela melakukan semua demi cinta.
Di lembar pertama aku membaca sepenggal puisi tertanggal 26 November lima tahun lalu.
Begitu angkuhkah dirimu
Hingga tak pernah menyapa dalam suara
Hanya mata yang berbicara
Dari sekelebat pandang dari sudut jendela
Lembar berikutnya kubuka, ada kesaksian tentang pemilik puisi ini, juga tentang cintanya.
Aku adalah purnama
Kala malam sekuning mentari
Kala siang seputih salju
Aku adalah purnama
Menanti angin yang begitu jauh
Namun cintanya begitu tenang mengalir
Melewati nadiku yang sejenak terdiam
Karena sentuhanmu yang tak kunjung hilang
Tak terasa air mata ku menetes, aku tak pernah bosan membaca lembar demi lembar tumpukan kertas yang sudah mulai berwarna kecoklatan dan kumal. Mungkin karena terlalu sering aku baca.
Begitu dingin tulisannya tapi juga begitu hangat cintanya. Aku mendenguskan nafasku untuk kesekian kalinya. Semoga aku bisa mewujudkan keinginan terakhirmu, wahai purnama pecinta angin.
* * * * *
Kisah Angin (6)
Kutemukan lagi ceriaku, kutemukan lagi nafasku. Akhirnya kutemukan purnamaku, cinta memang tak terduga kapan kan kembali. Ternyata sang pelempar kertas itu adalah purnama, dan ternyata selama ini ia juga mencariku.
Kumulai lagi kisahku dari awal, merangkai cintaku yang sempat berserakan tak tentu arah. Kupunguti satu per satu kenanganku dan merangakainya menjadi mozaik merah jambu dalam hidupku.
Kini dalam sujudku tiada lagi keluh kesah pada Sang Pemilik Cinta, karena Ia telah membagi sedikit padaku, tapi cukuplah bagiku. Tuhan telah melakukan semua dengan caraNya, dengan segala bentuk yang tak terduga.
Meski kasihku masih terhalang tembok salafi, tapi cukuplah hanya berbalas sapa lewat kertas dan jendela. Meski kadang harus berhimpitan dengan keamanan jeruji salafi yang kadang tak kenal hati.Tapi bagiku semua terasa indah.
* * * * *
Kisah Purnama (6)
"Ya Allah...maafkan hamba, ini semua hamba lakukan karena tak ingin semua cinta yang ada berakhir sia-sia Ya Allah...." rintihku malam ini dalam sujudku.
"Ketika semua diamanahkan padaku, hamba tak kuasa menolak di detik terakhir mata sang purnama tertutup, apa yang harus hamba lakukan Ya Rabb....haruskah hamba melanjutkan ini semua.....," desahku.
Entahlah, dia terlalu indah hingga aku tak kuasa jika harus berdusta, tapi bagaimana aku harus berkata, sedangkan mulutku telah digembok tanggung jawab tentang penghormatan cinta yang tak sempat diungkap dengan kata.
* * * * *
Kisah Angin (7)
Ini pertama kali aku duduk disampingnya, setelah mengendap lewat pintu belakang samping kamar mandi pondok. Berjanji bertemu di bawah pohon mahoni samping makam, mataku melirik kanan kiri takut akan ada santri lain yang melihat.
Aku tak berani memandangnya, mataku hanya tertunduk memandangi kakiku dan sandal jepitku. Hingga kalimat itu terucap, kalimat yang membuat langit seakan runtuh dan hanya ada surga di atas kepalaku.
“Bolehkah aku menjadi suamimu?” tanyanya singkat.
* * * * *
Kisah Purnama (7)
Dadaku menjadi bergemuruh, ternyata kalimat itu terlontar juga dari mulutku. Aku hanya bisa bermain ombak di hatiku sendiri. Angin maafkan aku, seharusnya kalimat ini tak terucap dari mulutku. Aku bukanlah purnama itu, aku hanya bagian dari matanya saja, tak seharusnya tragedi itu terjadi, ketika ia harus melawan penyakit ginjalnya yang sudah akut. Aku hanya bisa mendengar ceritanya tentangmu, aku tak pernah melihat wajahmu juga wajah purnama karena duniaku gelap sejak aku keluar dari rahim Ibunda.
Hingga akhirnya ia memberikan mata purnamanya padaku ketika matanya telah tertutup tiga tahun lalu, aku melihat banyak namamu di kertas yang ia tinggalkan dengan percikan darah dari mulutnya.
Dan ketika aku berjanji sebelum ia ke surga agar aku menjagamu tanpa mengatakan aku bukan purnama, aku hanya saudara kembarnya. Kuharap engkau tak akan pernah tahu, Maafkan aku angin. Biarkan Tuhan bekerja dengan caraNya.
Yang aku inginkan kini mencintaimu
setulus angin menjadi nafasku,
juga sepenuh purnama menyinariku,
aku ingin mencintaimu sesederhana itu.
Tanpa rupa sang raja,
tanpa kuda sang kesatria,
tanpa jiwa yang penuh luka,
aku ingin mencintaimu sesederhana itu.
“Bolehkah aku menjadi suamimu?”
Kalimat itu terlontar juga, dan kini aku menanti ia menjawabnya.
* * * * *
Kisah Purnama dan Angin (8)
Aku terdiam menanti waktu, juga berfikir tentang kata yang tak pernah terungkap. Jika ini adalah akhir, semoga ini menjadi akhir yang sempurna. Untuk detik yang tak terulang, dan untuk air mata yang jatuh diam-diam. Serupa daun-daun mahoni yang menjadi saksi kebisuanku kini, menanti prosa dan cerita baru yang akan terukir dalam bentang zaman
Cerpen ini adalah runner up dalam lomba cipta cerpen Mahasiswa Se-Indonesia di STAIN Purwokerto, tergabung dalam Kumpulan Cerpen Bukan Perempuan (Grafindo, 2010)
Read More