10 Cara Memutus Mata Rantai Inner Child Negatif dalam Pola Pengasuhan Anak

Kamis, Desember 31, 2020

Sebagai orang tua, saya pernah ada dalam satu situasi dimana kemarahan pada anak meledak begitu saja. Namun, di saat yang sama ada rasa takut yang juga tiba-tiba  saya rasakan. 

Pada dua tahun pertama menjadi seorang ibu, saya kerap mengalaminya. Ketika anak melakukan sedikit kesalahan saja, saya bisa marah dan berteriak dengan nada tinggi. Meskipun kemudian saya memeluk anak sambil menangis, lalu meminta maaf padanya karena sudah memarahinya. 

Bagi orang lain, mungkin kemarahan saya terlihat karena ketidakmampuan mengendalikan emosi diri. Awalnya saya pun berpikir seperti itu, hingga kemudian saya menyadari bahwa ketika saya marah, perasaan dan pikiran saya juga merasakan ketakutan, sebuah ketakutan yang sama yang pernah saya rasakan puluhan tahun silam.

Ya, saya ternyata memiliki inner child negatif dari masa lalu yang masih belum selesai. Inner child adalah sekumpulan pengalaman masa kecil yang tidak terselesaikan dengan baik, efek inner child ini sendiri akan terlihat ketika kita merespon sesuatu saat dewasa, contohnya respon kemarahan saya ketika anak melakukan kesalahan.

Mengenal Inner Child 

Inner child ada yang positif, namun pada umumnya inner child kerap berhubungan dengan luka batin yang menyakitkan, dan saya baru menyadari ini saat dewasa, ternyata apa yang saya alami di masa kecil membekas dan menjadi luka yang belum sembuh.    

Saya memang dibesarkan dalam pola asuh yang disiplin dan cenderung keras. Hal ini di kemudian hari baru saya sadari, ternyata menciptakan luka di hati.

Namun, kini saya sadar, saya tak boleh berkubang pada luka masa lalu. Meskipun belum sepenuhnya sembuh, saya tak boleh mewariskan inner child negatif pada anak, saya harus memutus mata rantai inner child negatif itu agar anak saya nantinya bisa tumbuh tanpa trauma. 

Dan berikut ini adalah 10 cara yang saya lakukan untuk memutus mata rantai inner child negatif pada pola pengasuhan anak:

1. Berdamai dengan Masa Lalu dan Diri Sendiri

Hal pertama yang harus dilakukan oleh pemilik inner child negatif seperti saya adalah berdamai dengan masa lalu dan diri sendiri. 

Saya akui, hal ini memang tidak mudah, apalagi jika semua memori menyakitkan di masa lalu muncul kembali, dada saya rasanya tiba-tiba sesak dan air mata saya akan mengalir begitu saja.  

Meski begitu, kita harus menerimanya, biarkan rasa itu muncul dan pergi. Namun, selanjutnya kita harus bisa berdamai dengannya, sehingga kita bisa mengendalikannya. 

Mulai maafkan lingkungan di sekitar kita yang memberikan kenangan buruk di masa kanak-kanak. Memaafkan bisa menjadi salah satu jalan agar kita bisa menjadi lebih tenang dan bahagia. 

Selanjutnya cari media agar kita bisa meluapkan emosi pada hal-hal yang lebih positif, kalau saya sendiri biasanya memilih untuk menulis, sehingga emosi saya bisa tersalurkan dengan baik, dan tidak meluapkannya ke anak. Lambat laun, sayapun mulai bisa mengendalikan emosi dalam diri saya. 

2. Memilih Diam Saat Marah

Kemarahan bisa muncul tiba-tiba,  namun, sekarang saya memiliki cara yang lebih baik sehingga tidak melampiaskannya pada anak. 

Saat kondisi saya tidak stabil dan  emosi di diri mulai menghentak, sekarang saya lebih memilih diam kemudian bersembunyi di balik selimut. Ini sebagai benteng pertahanan yang saya bentuk agar amarah tidak saya lampiaskan ke anak. 

3. Biasakan Berpelukan dengan Anak

Saya pernah membaca jika pelukan memiliki dampak yang baik bagi hubungan anak dan orang tua. Saat berpelukan, tubuh akan mengeluarkan hormon oksitosin yang bermanfaat untuk mengurangi stress. 

Anak yang sering mendapatkan pelukan juga akan membuat kondisi mental anak lebih seimbang karena sentuhan antar kulit dapat menghantarkan kelembaban serta reaksi listrik pada kulit. 

Saya ingin memberitahu anak bahwa ia adalah anak yang dicintai sepenuh hati lewat pelukan yang saya berikan. Dengan pelukan, saya juga bisa merasakan apa yang tidak pernah saya rasakan ketika kecil.

4. Ungkapkan Cinta Sesering Mungkin 

Tidak bisa dipungkiri, ketika dewasa, saya lebih banyak mengingat kenangan negatif yang pernah saya dapatkan ketika kecil. Hal ini terjadi karena sampai usia anak 6 tahun,  otak anak berfungsi dengan kecepatan yang terbilang lambat dengan frekuensi 4-7 siklus theta per detik. Kondisi inilah yang menjadikan gelombang otak mudah dipengaruhi oleh pengalaman yang sangat membekas di masa lalu. 

Oleh sebab itu, sekarang ini sebisa mungkin saya ungkapkan cinta pada anak sesering mungkin. Kalimat ‘I love you’, ‘Aku sayang kamu’, hingga ‘Saranghae’ bisa saya lontarkan puluhan kali dalam sehari, dan menjadi kebahagiaan ketika anak membalas kalimat-kalimat cinta tersebut, ‘I love you too.’ 

5. Mengasuh Bersama Suami 

Suami tahu bahwa saya memiliki inner child negatif, oleh sebab itu, ketika saya mulai emosi, suami tahu apa yang harus dia lakukan. Biasanya, ketika saya memilih untuk diam dan bersembunyi, suami akan mengambil alih anak.

Mengasuh anak memang tugas berdua, ayah dan ibu, oleh sebab itu pengasuhan ayah dan ibu harus dapat dimaksimalkan agar anak tidak kekurangan cinta dalam hidupnya. 

6. Menjelaskan Kesalahan, Bukan Melampiaskan Kemarahan

Jika beberapa tahun lalu, saya mudah sekali meluapkan emosi pada anak. Kini, setelah saya mulai menerima bahwa saya memiliki inner child negatif. Saya mulai bisa mengendalikan emosi. 

Saya mulai memahami bagaimana harus bersikap pada anak saat melakukan kesalahan. Kini, saat anak melakukan kesalahan, alih-alih melampiaskan kemarahan, saya lebih memilih untuk menatap matanya dan menjelaskan perlahan apa kesalahannya dan kenapa itu salah. 

Anak-anak akan merasa tidak terima jika ia dipersalahkan begitu saja, maka dari itu, kita sebagai orang tua perlu memberikan pemahaman, mana yang baik, mana yang tidak baik, berikut alasannya. 

Sikap saya ini ternyata memiliki dampak baik, sekarang si kecil langsung meminta maaf ketika berbuat salah, dan saat saya bertanya apa kesalahannya, dia bisa menjelaskan dengan baik dan selanjutnya tidak mengulanginya. 

7. Dengarkan Semua Cerita Si Kecil 

Tidak hanya orang dewasa yang butuh didengar, anak kecil pun butuh untuk didengarkan. Oleh sebab itu, sebagai orang tua, kita harus mendengarkan semua ceritanya dengan antusias. 

Apabila orang tua bisa mendengar dan menanggapi cerita si kecil dengan antusias, maka anak akan terbiasa untuk bercerita pada orang tua. Kebiasaan ini akan terus tertanam hingga anak dewasa, sehingga anak juga akan terbiasa untuk curhat dengan orang tua, dan orang tua pun bisa tahu, situasi dan kondisi seperti apa yang sedang dihadapi oleh anak. 

8. Apresiasi dan Ungkapkan Terima Kasih pada Anak

Hidup sebagai orang tua dengan inner child negatif, saya pernah ada dalam satu titik merasa kebingungan karena tidak adanya apresiasi. Oleh sebab itu sekarang saya ingin memberikan apresiasi sesering mungkin pada anak. 

Ketika si kecil bisa menggambar bunga, saya apresiasi dengan bahagia, dan kebahagiaan itupun diserap anak saya dengan baik. Dia semakin bahagia ketika menggambar, dia mulai menggambar banyak hal, bus, kereta, rumah, robot, hingga monster, dengan coretan yang jauh lebih baik dari gambar pertamanya. 

Tidak hanya apresiasi, sebisa mungkin saya ucapkan terima kasih sekecil apapun bantuan yang dia berikan. Misalnya, ketika ia berhasil membuang sampah botol ke tempat sampah khusus daur ulang, saya ucapkan terima kasih. Setelah itu, tanpa diminta, dia kini paham dimana harus membuang sampah-sampah botol dan kertas agar bisa didaur ulang. 

9. Ikut Bermain Bersama dengan Sepenuh Hati

Saat anak mengajak bermain, sebisa mungkin orang tua harus ikut bermain dengan sepenuh hati. Dengan begitu, anak tidak akan merasa diabaikan. 

Selain itu, kegiatan bermain bersama anak, seperti main rumah-rumahan atau masak-masakan bisa membangkitkan inner child positif dalam diri kita, sehingga kebutuhan inner child kita pun bisa terpenuhi.  

10. Tetapkan Aturan dan Jadilah Suri Tauladan 

Aturan tetap perlu diterapkan pada anak agar ia paham bagaimana menjadi manusia  yang bertanggung jawab ke depannya. Misalnya, salah satu aturan yang saya terapkan pada anak, adalah membereskan mainannya setelah bermain. 

Misal, dia baru saja bermain lego dan ingin bermain magic sand, maka saya memberi aturan bahwa dia harus membereskan mainan legonya terlebih dahulu sebelum bermain magic sand. 

Awalnya tentu anak merasa bingung bagaimana harus membereskan mainan yang berserakan, maka dari itu saya pun memberi contoh bagaimana membereskan mainan dengan baik.  

Saya juga memberi alasan kenapa mainan harus dibereskan, saya katakan padanya, “Kalau tidak dibereskan maka banyak mainan yang akan hilang, dan nanti adek sedih nggak kalau mainannya hilang?” Biasanya ia akan mengangguk, dan sejak itu ia terbiasa membereskan mainannya. 

Nah, itulah 10 cara memutus mata rantai inner child negatif dalam pola pengasuhan anak. Ingat, inner child yang kita miliki tidak boleh kita teruskan, karena akan memberi dampak yang tidak baik bagi kelangsungan hidup anak cucu kita nantinya. 

Jangan lupa juga untuk selalu mencintai diri dan menghargai diri sendiri, agar dampak inner child tidak menjadi bom waktu yang meluluhlantakkan kebahagiaan kita. (*)


2 komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. terima kasih tipsnya, mbak richa. Dulu kita pernah terluka karena orang tua tapi luka itu cukup berhenti di kita. Anak-anak berhak bahagia

    BalasHapus