Cine Us : Menonton Film Lewat Novel

Selasa, Desember 31, 2013




Judul Buku                              : Cine Us
Penulis                                     : Evi Sri Rezeki
Penerbit                                   : Nourabooks
Penyunting                              : Dellafirayama
Penyelaras Aksara                  : Novia Fajriani, @kaguralian
Penata Aksara                         : Nurul M Janna
Perancang Sampul                   : Fahmi Ilmansyah
Ilustrasi Isi                              : Anisa Meylasari
Tahun Terbit                           : Cetakan I, Agustus 2013
Tebal                                       : 304 halaman
ISBN                                       : 978-602-7816-56-5
Harga                                      : Rp 48.500,-

Blurb :
Demi menang di Festival Film Remaja, Lena rela melakukan apa saja. Bukan hanya demi misi mengalahkan mantan pacarnya yang juga ikut berkompetisi, tetapi karena dia pun harus mempertahankan Klub Film sekolahnya. Soalnya klub kecilnya itu kurang didukung oleh pihak sekolah. Padahal salah satu kreativitas siswa bikin film, kan!
Untung ada satu orang yang bikin hari-hari Lena jadi seru. Si cowok misterius yang kadang muncul dari balik semak-semak. Apaaa? Eh, dia bukan hantu, lho ... tapi dia memang punya tempat persembunyian ajaib, mungkin di sanalah tempat dia membuat web series terkenal favorit Lena. Nah, siapa tahu cowok itu bisa membantu Lena biar menang festival.
Kisah Lena ini seperti film komedi-romantis yang seru. Jadi, selamat nonton, eh, baca! 

***

            Novel berjudul ‘Cine Us’ ini merupakan karya dari Evi Sri Rezeki yang menjadi seri pertama S-Club terbitan Nourabooks. Novel ini menceritakan tentang kisah Lena, Dania, dan Dion untuk membentuk Klub Film di sekolahnya.
            Bermacam rintangan harus dihadapi Lena dan kawan-kawannya, dari anggota klub film yang menjadi musuh dalam selimut, bullying dari kakak kelas, hingga ultimatum dari Wakepsek Kesiswaan jika Klub Film mereka tak memiliki prestasi, maka tak akan ada pendampingan Klub Film mereka yang berujung tak adanya dana untuk Klub. Satu-satunya jalan untuk mempertahankan Klub Film adalah dengan memenangkan Festival Film Pendek Remaja.
            Lena, Dania, dan Dion harus jatuh bangun mempertahankan keberadaan Klub Film mereka, apalagi setelah salah seorang anggota klubnya, Romi, anak kelas X menyabotase basecamp mereka karena ada backing an dari anak-anak kelas XII.
            Hingga akhirnya Lena, Dania, dan Dion pun bertemu dengan Rizki yang jago bikin animasi dan selalu menyebut dirinya superhero, dan Ryan cowok yang jago musik. Ryan dan Rizki pun membawa Lena and the gank ke tempat persembunyian mereka.
            Namun, hal itu juga tak berlangsung lama, karena Romi kembali mengobrak-abrik tempat persembunyian mereka. Bahkan Romi pun memanfaatkan Dion, yang menderita penyakit ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) untuk mencuri ide film Lena dan kawan-kawannya.
            Apa ide Rizky dan Ryan untuk menyelamatkan Klub Film dan menyelamatkan Lena dari taruhan dengan mantan pacarnya? Lalu, apa yang harus dilakukan Lena dan kawan-kawannya ketika ide mereka dicuri sementara hari terakhir pengiriman lomba hanya tinggal menghitung hari.

***
            Filosofi Cover
            Pertama kali melihat judul novel ini saya langsung jatuh cinta, judulnya ringkas, padat dan mengandung makna yang dalam. Cine Us (baca : sineas), secara harfiah, bisa diartikan Cine Us adalah pembuat film. Namun, di sampulnya terdapat pemenggalan kata, Cine dan Us, berasal dari kata Cine yang berarti pembuatan film dan Us yang berarti kita. Sehingga apabila dilihat dari sisi filosofinya, Cine Us adalah pembuatan film yang dilakukan bersama (oleh kita). Oleh karena itu, tak salah bila unsur persahabatan sangat kental dalam novel ini.
            Covernya pun menunjukkan filosofi tersendiri, dengan adanya warna biru sebagai latar yang menunjukkan harapan yang membentang seperti langit. Adanya sampul ganda pun menjadi keunikan dalam sampul ini, sayangnya gambar cewek animasi di sampul bagian dalam lebih mengarah ke Dania, bukan ke Lena, karena animasi ceweknya berambut lurus, tidak bergelombang, padahal cowok gembul di sebelahnya merujuk ke Rizki, meskipun begitu tidak mengurangi keunikan double cover ini.
Selain itu, adanya penambahan Clapper Board di bagian bawah cover menjadi sentuhan yang eye catchy, semakin menegaskan jika ini adalah novel tentang film. Namun, saya agak kecewa dengan bookmarknya, karena gambar di bookmark tidak bolak-balik, dan di bagian belakang hanya ada dua warna garis polos, padahal untuk lebih keren di bagian belakang bookmark bisa ditambahi gambar Clapper Board atau quote-quote yang ada dalam novel.

Bookmark Cine Us - Koleksi Pribadi
Penokohan Unik
Kenapa saya bilang penokohan di novel ini unik? Karena penulis tidak menampilkan sosok perfect sebagai tokoh utama. Seringkali ketika membaca novel kita dijejali tokoh-tokoh utama yang sempurna dan tidak memiliki kekurangan, namun dari sosok Lena yang bukan sosok pintar, dan Rizki yang bertubuh gempal, justru menjadi keunikan tersendiri untuk novel ini. Selain itu tokoh Rizki yang suka membuat web series animasi menjadi nilai plus tersendiri, karena itu memberikan wawasan baru bagi pembaca tentang perkembangan dunia web dan animasi.
Ditambah lagi dengan keberanian penulis menyuguhkan sosok Dion yang mengidap ADHD, ini memberikan apresiasi tersendiri bagi para penderita ADHD untuk bisa lebih berprestasi.
Apalagi dalam novel ini juga ada tokoh Evi dan Eva yang diambil dari nama penulisnya Evi Sri Rezeki dan saudara kembarnya Eva Sri Rahayu. Meskipun terkesan narsis, tapi saya bisa memakluminya, apalagi jika saya boleh menduga, cerita tentang tukar peran antara tokoh Eva dan Evi di novel pernah dilakukan penulisnya dan saudara kembarnya di dunia nyata.

Kebocoran Logika
Ada beberapa kesalahan logika dalam novel ini, meskipun jika dipaksakan bisa saja hal tersebut terjadi di dunia nyata, namun, alangkah baiknya jika hal yang kurang logis ini diminimalisir di novel-novel selanjutnya. Beberapa cerita yang kurang logis dalam novel ini adalah sebagai berikut :
Saingan? Kata itu menyentak ingatanku pada satu tim yang sudah tiga tahun ke belakang selalu menang kompetisi film pendek. Tim itu dimotori oleh seorang cowok bernama Adit. Damn! Akhirnya aku menyebutkan nama-yang-tidak-boleh-diucapkan-selama-lamanya itu!
Ya, adit bersama timnya selalu membuat pemegang juara bertahan kompetisi film pendek, Adit juga selalu keluar sebagai pemenang lomba penulisan skenario. Selalu, kecuali tahun lalu (halaman 24-25)   

Kenapa saya mengatakan ada yang tidak logis di pemaparan paragraf tersebut? Apabila sekarang Lena duduk di kelas XI, begitu juga Adit, berarti Adit sudah menjadi pemenang skenario dan film pendek sejak kelas VIII (2 SMP). Kalau dipaksakan Adit adalah orang yang jenius, bisa jadi Adit sudah bergelut dengan film sejak SD (bisa jadi), tapi kalau secara logika, anak kelas 2 SMP masihlah meraba-raba untuk belajar skenario dan film. Hal ini bukan soal umur, bisa jadi anak 2 SMP memang lebih pintar dari yang umur 17 tahun, namun apabila dipikirkan ulang, rasanya kurang logis juga.

Ketidaklogisan selanjutnya ada dalam paragraf berikut ini :
Kami bergerak menuju cabang kiri, sekitar beberapa ratus meter. Rizki melepaskan pegangan tangannya lalu mendekati dinding, memencet semacam sakelar. Kemudian, kami diliputi cahaya (halaman 88)

Diceritakan Rizki dan Lena menyusuri sebuah bunker yang tersembunyi di dalam sekolahnya. Ada yang janggal dalam paragraf ini, logisnya sebuah bunker, seluas apapun itu panjangnya tidak sampai ratusan meter. Beberapa puluh meter saja sudah termasuk panjang untuk ukuran bunker.

Selain itu, adapula suatu ketidaklogisan yang menurut saya cukup fatal.
“Lena, sekarang aku ingat! Kayaknya aku yang salah memasukkan skenario kalian di amplop co ... kelat ...," ucapan Dania terhenti ketika melihat tanganku yang menggenggam potret Dion (Halaman 259)

Dalam novel ini diceritakan jika Rizki salah paham pada Lena bisa memenangkan lomba skenario karena Lena menukar skenario miliknya dengan milik Rizki. Namun beberapa hari kemudian, akhirnya, Dania dengan tenangnya mengatakan jika ia yang salah memasukkan skenario ke dalam amplop. Apabila dipikirkan tidak logis apabila mengirimkan sebuah karya ke sebuah lomba (baik itu skenario, cerpen, novel, dan karya tulis lain) tidak ada identitas penulis dalam karya tersebut, apalagi ini lomba tingkat nasional. Paling tidak harusnya ada formulir atau minimal nama penulis dalam cover skenario atau karya tersebut.  

Sinetronisasi Novel atau Novelisasi Sinetron
Saya cukup menikmati ketika membaca novel Cine Us ini, namun saya merasa terganggu ketika memasuki cerita-cerita yang terkesan berlebihan atau lebay seperti adegan di sinetron. Seperti ketika Romi cs menyabotase basecamp Klub Film, atau bullying terhadap Tian oleh para anak kelas XII hingga disumpal mulut dan diikat di gudang. Apalagi ada sosok Renata yang penokohannya sebagai cewek centil terlalu berlebihan. Bisa jadi penulisnya memang terinspirasi dari sinetron-sinetron remaja, dan itu bukan hal yang salah asalkan tidak berlebihan.
Ketika membaca Chapter 9 saat Rizki menyatukan potongan-potongan rekaman yang diambil Dion menjadi sebuah film juga mengingatkan saya dengan novel berjudul Montase karya Windry Ramadhina yang juga ada adegan menyatukan penggalan film-film dokumenter. Apabila penulis terinspirasi pun, ia sudah menjadikan inspirasi dari novel yang saya sebutkan tadi menjadi suatu ide yang brilian dalam novel Cine Us ini.
           
            Typo atau Salah Makna?
            Saya menemukan beberapa typo dalam novel ini, dan ada pula kata yang entah salah ketik atau mungkin memang salah memaknai suatu kata.
            Seperti kata ‘merongoh’ yang terdapat di halaman 38 dan 46 :
            Aku merongoh tas dengan panik (halaman 38).
            Aku merongoh-rongoh paving block dengan panik (halaman 46).

            Bisa jadi yang dimaksudkan penulis ini adalah merogoh, yang berarti meraba atau mencari sesuatu dalam lubang. Namun di kalimat kedua lebih baiknya diganti dengan kata meraba-raba sehingga menjadi ‘Aku meraba-raba paving block dengan panik’. Karena untuk kata ‘merogoh’ biasanya untuk mencari atau mengambil benda yang ada dalam suatu tempat (kotak, lubang, kaleng, dan semacamnya)

            Ada juga penyingkatan kalimat yang rasanya kurang tepat seperti kalimat ini,
Sekolah Cerdas Pintar Mengadakan Pekan Olahraga (Porak) (halaman 242). Penyingkatan Pekan Olahraga menjadi ‘Porak’ rasanya kurang tepat, lebih baik apabila Porak adalah singkatan dari Pekan Olahraga Sekolah, bukan Pekan Olahraga saja.
            Selain itu saya juga menemukan beberapa salah ketik dalam novel ini, seperti :
1.      Semringah : sumringah (halaman 15).
2.      Suasan : Suasana (halaman 69).
3.      Final Fintasy : Final Fantasy (halaman 79).
4.      Mempimpin : Memimpin (halaman 95)
5.      Lopada : Lo pada (halaman 96)
6.      Jangtungku : Jantungku (halaman 125)
7.      Mengahadapi : Menghadapi (halaman 207)

Meskipun ada beberapa kata salah ketik seperti di atas yang tidak terlalu mengganggu cerita dalam novel ini. Akan tetapi ada yang harus diperhatikan ketika memilih nama tempat, seperti pemilihan nama sekolah ‘Cerdas Pintar’ yang kurang enak didengar / dibaca. Saya seolah-olah sedang membaca nama sekolah PAUD untuk anak-anak atau sedang membaca nama kelompok dalam lomba cerdas cermat. Apalagi ini kan novel remaja, lebih bagus apabila dipilih nama sekolah yang meremaja, rasanya terlalu njomplang jika nama sekolah ‘Cerdas Pintar’ dibandingkan dengan nama klub sekolah ‘Cine Us’.

***

Menonton Film Lewat Novel
Terlepas dari beberapa kekurangan dalam novel ini. Penulis telah berhasil menyampaikan pesan lewat novel ini dengan baik, seperti pesan persahabatan, semangat, pantang menyerah dan kejujuran lewat Lena, Dania, Dion, Rizki, dan Ryan. Selain itu, penulis juga sukses menyampaikan pesan bahwa setiap orang berhak sukses dan bahagia lewat tokoh Dion yang menderita ADHD.
Ketika membaca novel ini, hati saya ikut bergetar ketika Dion membanting handycam nya dan pergi. Selain itu, saya juga ikut geram ketika Romi dan kawan-kawannya memperalat Dion dan menyabotase Eva dan Evi menjadi bintang dalam ‘film curiannya’. Kemudian, saya juga tersenyum kecil dan tertawa membaca percakapan Rizki dan Lena tentang ultraman. Penulis berhasil mengaduk emosi pembacanya, tak terkesan cengeng, namun pas dan mengena di hati.
Saya seperti menonton scene-scene film dalam novel ini, karena penulis bisa menjabarkan dan menuliskan alurnya dengan apik. Sehingga tak salah jika di cover belakang tertulis jika kisah Lena dalam novel ini seperti film komedi-romantis yang seru. (Richa Miskiyya)


http://www.smartfren.com/ina/home/



Read More

Kebanggaan (bukan) Hanya Tentang Kemenangan

Kamis, Oktober 17, 2013



Bangga, adalah satu kata yang sering banget kita dengar. Tapi, masing-masing orang pasti punya persepsi masing-masing ketika ditanya apa sih arti bangga buat kamu?

Setiap orang punya perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, oleh karena itu, setiap orang punya pengalaman, pengetahuan, serta perasaan yang berbeda-beda, termasuk juga untuk menjabarkan arti sebuah kebanggaan.
 
Seorang ibu, murid SD, hingga tukang becak pastilah punya pandangan yang berbeda, dan kapankah mereka merasakan sebuah kebanggaan pun juga berbeda. Seorang ibu, melihat anaknya yang masih balita melangkah untuk pertama kalinya dan mengucapkan kata ‘Mama’, itu bisa jadi sebuah kebanggaan yang nggak terhingga buat seorang ibu. Begitu juga dengan seorang murid SD, setelah belajar tekun, ia berhasil meraih nilai sempurna di pelajaran Matematika. Sedangkan untuk seorang tukang becak, ketika ia berhasil membelikan anaknya seragam sekolah dari hasil keringatnya mengayuh becak, itu pun bisa jadi sebuah nilai kebanggaan baginya. 

Bangga Berproses    
Lalu sebenarnya apa sih bangga itu? Jika dilihat dari tiga cerita di atas, dari kebanggaan seorang ibu, seorang murid SD, dan seorang tukang becak. Bangga bisa diartikan ketika kita berhasil meraih sesuatu melalui sebuah proses.

Seorang ibu melihat proses jatuh bangunnya anaknya ketika belajar berjalan, murid SD dengan prosesnya belajar tekun, juga seorang tukang becak dengan prosesnya bekerja keras demi membelikan seragam sekolah untuk anaknya. 
 
Setiap orang di dunia ini pasti pengen banget bikin orang-orang disekitarnya bangga, rasanya nggak ada seorang pun di dunia ini yang nggak pengen berbuat sesuatu hal yang membanggakan, meskipun cuma sekali seumur hidupnya. Coba deh, misal kita tanya ke orang-orang di sekitar kita, “Kamu mau nggak melakukan hal yang membanggakan?” pastinya nggak akan ada yang jawab “Nggak ah, aku nggak mau.”

Nah, sebenarnya melakukan hal yang membanggakan itu bisa kita lakukan, hanya saja nggak semua orang tahu caranya. Dan, satu lagi yang harus diingat, bangga itu adalah hasil sebuah proses, bukan sesuatu yang dihasilkan secara instan.

Bangga itu datangnya dari hati, nggak bisa direkayasa. Dari banyaknya peluh ketika berproses itulah yang akan menciptakan kristal-kristal kebanggaan. Misal, kita ingin membanggakan orang tua dengan memenangkan sebuah lomba menulis puisi, kita pun melakukan segala macam cara untuk memenangkan lomba tersebut, bahkan nggak segan untuk berbuat curang dengan memplagiat puisi karya orang lain. Meskipun jika puisi itu menang, kemudian kita tunjukkan sebuah piala kemenangan pada orang tua, apa hati kita akan bahagia dan bangga? Kalau menjawab ‘bangga’, pasti itu bohong banget.

Proses yang nggak baik dalam meraih suatu hasil, meskipun di bibir bilang jika kita bangga, tapi di dalam hati kecil kita pasti akan berontak, jika sebenarnya kita tak pantas mendapatkan pujian dan ucapan selamat.

Jika orang tua kita tahu kecurangan kita? Apakah mereka akan bangga? Justru mereka akan kecewa, dan akan berkata, “Ayah dan Ibu lebih bangga jika kamu lakukan semuanya dengan kejujuran.”

Nah, kan? Bangga itu bukan ketika dapat kemenangan, tapi ketika kita melihat dan merasakan sebuah proses panjang dalam meraih kemenangan itu, kalau pun tidak meraih kemenangan, kita masih pantas berbangga, karena kita sudah bisa melewati proses panjang itu dengan sebuah kejujuran.

Kebanggaan, ada yang sifatnya individual, tapi ada juga yang sifatnya kolektif. Kebanggaan individual adalah kebanggaan yang dirasakan oleh diri sendiri karena sebuah proses yang juga dilaksanakan diri sendiri.

Lalu, kebanggaan kolektif yang seperti apa? Kebanggaan kolektif adalah ketika kita juga merasakan menjadi bagian dalam suatu proses keberhasilan. Misalnya ketika Tim Sepakbola Nasional Garuda Muda beberapa waktu lalu memenangkan Piala AFF 2013. Apakah kita bangga ketika melihat Garuda Muda meraih kemenangan itu? Tentu saja, Ya. Kenapa? Karena kita merasa menjadi bagian dari perjuangan mereka, kita bersorak di depan televisi, dan kita semua berdoa untuk kemenangan Indonesia meskipun bukan kita sendiri yang bertanding di lapangan. 
  
Sebagai bangsa Indonesia tentunya ada rasa haru dan bangga yang datang tiba-tiba dari dalam hati, ini yang dinamakan kebanggaan koletif atau kebanggaan bersama.
 
On The Track
Bangga adalah hasil gabungan antara kejujuran, kerja keras, dan doa. Tiga hal tersebut (kejujuran, kerja keras, dan doa) ada dalam satu kata yaitu ‘proses’. Kenapa kejujuran harus masuk dalam proses itu? Karena proses tanpa kejujuran sama dengan mobil mewah tanpa mesin, jika dilihat orang, mobil itu dari luar adalah mobil mewah, tapi kita sendiri tak dapat merasakan kebahagiaan karena mewah itu hanya tampilan luarnya saja, nggak ada mesin di dalamnya yang membuat kita nggak bahagia karena nggak bisa mengendarainya.

Hal itu juga sama ketika kita meraih sesuatu tanpa kejujuran di dalamnya, seriuh apapun pujian dan tepuk tangan yang kita dapat, tetap saja ada bagian yang kosong dalam hati kita.
 
Dalam meraih sesuatu, seseorang itu haruslah ada di jalurnya, On The Track, seperti para pembalap Moto GP yang meraih podium dengan hasil usaha dan berada di jalur yang benar. Apa jadinya jika mereka keluar jalur? Tentunya mereka tak akan bisa naik ke podium dengan kebanggaan hati yang membuncah.

Sekarang ini bisa dilihat juga, pejabat-pejabat yang korupsi dan tertangkap KPK, mereka sebelumnya bisa membanggakan diri dengan harta yang melimpah, serta jabatan tinggi. Tapi karena dalam prosesnya ada ketidakjujuran di dalamnya, itu adalah kebanggaan yang semu. Kebanggaan yang hanya bisa dilihat orang lain, tapi tak dirasakan oleh dirinya sendiri. 

Seperti yang dikatakan oleh salah satu pemeran di book trailer Cine Us. “Melelahkan sekali kalau kita terus mengejar pengakuan dari orang, punya kepuasan itu dari sini ( menunjuk hati), bukan dari sana (menunjuk gedung festival). Apa sih arti kebanggaan buat lo?”

Ya, kebanggaan (bukan) hanya tentang kemenangan, bukan ketika mendapat tepukan dari ribuan orang, tapi ketika ada rasa kepuasan di hati yang tercipta dari proses kerja keras dengan semangat kejujuran.(*)

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba artikel Cine Us karya Evi Sri Rezeki - Nourabooks - Smartfren








 
Read More

SAPEN : Dulu dan Kini

Selasa, Oktober 08, 2013

Surat-surat dari Sahabat Pena
Ini bukanlah catatan serius, hanya sekadar menggali kembali kenangan yang lama tersimpan di dalam almari, jadi tak perlu melipat kening saat membacanya, tapi boleh kalau mau senyum-senyum baca catatan ini.

Di dalam kamarku, ada sebuah almari kecil, tempatku menyimpan benda-benda kenangan dari orang-orang yang pernah jadi bagian dalam hidupku (sahabat, saudara, dan 'penggemar cinta monyet'), hehe. Di almari itu juga tersimpan sebuah kaleng biskuit bekas, tempatku menyimpan puluhan surat dari sahabat pena.

Ya, sapen, sahabat pena. Istilah ini pasti tak asing lagi, dulu. Tapi kini, entahlah. Mungkin 'sahabat pena' sekarang ini hanya ada di pertanyaan UTS Bahasa Indonesia anak SD.

Aku mulai tertarik dengan kegiatan bersapen ria ini sejak SD, setiap membuka rubrik surat pembaca di majalah BOBO, pastilah ada anak yang meminta dicarikan sahabat pena sama BOBO. Dari awalnya tertarik, aku mulai  suka ikut kuis-kuis, kirim surat pembaca, dan puisi singkat di majalah anak. Sejak itulah foto-foto cantikku mulai menghiasi koran dan majalah, hehe, dan mulai banyak yang mengirim surat padaku karena di koran & majalah itu ada alamat lengkap rumahku juga.

Surat-surat yang datang biasanya mengajak berkenalan, terkadang ada juga yang mengirim foto dan meminta aku juga mengiriminya foto kembali (yang ini biasanya sapen cowok). Di surat-surat itulah aku dan sahabat-sahabatku dari luar kota dan luar pulau bertukar cerita, kabar gembira, juga keluh kesah tentang sekolah.
Terkadang aku harus bersusah payah membaca surat yang dikirim untukku karena tulisannya seperti cacing breakdance, tapi itulah keseruannya. Menerima surat, membacanya, dan membalasnya adalah suatu keasyikan tersendiri. Bisa dikatakan, surat- surat ini jugalah yang menjadi 'guru' pertamaku menulis, belajar mengeluarkan gagasan dan ide-ide yang ada dalam pikiran.

Ketika di sekolah, salah satu hal yang kunantikan adalah melihat amplop surat bertuliskan namaku dipajang di jendela kantor Tata Usaha, bahagianya bukan main. Dalam satu minggu biasanya ada satu atau dua surat untukku. Tapi tak hanya surat, ada juga foto-foto artis yang datang, kalau ini memang karena aku sering kirim surat penggemar ke artis dan ketika dibalas dapat foto dan tanda tangan, kebahagiaan remaja. ^_^V

Aku bisa bolak-balik ke kantor pos dua sampai tiga kali dalam seminggu, menyisihkan uang jajan, untuk beli perangko, amplop, dan kertas surat. Aku pun sampai punya koleksi kertas surat, bahkan saat SD dan awal SMP pernah jualan kertas surat juga (otak bisnis dari kecil).

Hingga duduk di bangku Madrasah Aliyah dan tinggal di pesantren, aku masih hobi bersahabat pena. Tapi, kisah-kisah sahabat pena itu sudah berlalu, seiring dengan perkembangan tekhnologi, datangnya MIRC, Friendster, Facebook, Twitter, Path, dan lain sebagainya.

Untuk tahu kabar, cari teman, tinggal 'klik', mau menyapa artis juga tinggal mention di twitter. Kini, rindu itu datang, rindu dengan suara robekan ujung amplop ketika membukanya, rindu membaca kalimat 'Hai, boleh kenalan' di kertas yang wangi, juga rindu melepas perangko bekas dan memasukkannya ke buku filateli.

Semua hal memang ada masanya dan berganti, jika dulu aku mengenal SAPEN sebagai sahabat pena tempat berbagi kisah, kini justru aku menguntai kisah dengan lelaki yang tinggal di SAPEN*. Sebuah kebetulan yang membahagiakan. (*)

*SAPEN : nama daerah di Yogyakarta
Koleksi kertas surat yang masih tersisa


Read More