Kebanggaan (bukan) Hanya Tentang Kemenangan

Kamis, Oktober 17, 2013



Bangga, adalah satu kata yang sering banget kita dengar. Tapi, masing-masing orang pasti punya persepsi masing-masing ketika ditanya apa sih arti bangga buat kamu?

Setiap orang punya perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, oleh karena itu, setiap orang punya pengalaman, pengetahuan, serta perasaan yang berbeda-beda, termasuk juga untuk menjabarkan arti sebuah kebanggaan.
 
Seorang ibu, murid SD, hingga tukang becak pastilah punya pandangan yang berbeda, dan kapankah mereka merasakan sebuah kebanggaan pun juga berbeda. Seorang ibu, melihat anaknya yang masih balita melangkah untuk pertama kalinya dan mengucapkan kata ‘Mama’, itu bisa jadi sebuah kebanggaan yang nggak terhingga buat seorang ibu. Begitu juga dengan seorang murid SD, setelah belajar tekun, ia berhasil meraih nilai sempurna di pelajaran Matematika. Sedangkan untuk seorang tukang becak, ketika ia berhasil membelikan anaknya seragam sekolah dari hasil keringatnya mengayuh becak, itu pun bisa jadi sebuah nilai kebanggaan baginya. 

Bangga Berproses    
Lalu sebenarnya apa sih bangga itu? Jika dilihat dari tiga cerita di atas, dari kebanggaan seorang ibu, seorang murid SD, dan seorang tukang becak. Bangga bisa diartikan ketika kita berhasil meraih sesuatu melalui sebuah proses.

Seorang ibu melihat proses jatuh bangunnya anaknya ketika belajar berjalan, murid SD dengan prosesnya belajar tekun, juga seorang tukang becak dengan prosesnya bekerja keras demi membelikan seragam sekolah untuk anaknya. 
 
Setiap orang di dunia ini pasti pengen banget bikin orang-orang disekitarnya bangga, rasanya nggak ada seorang pun di dunia ini yang nggak pengen berbuat sesuatu hal yang membanggakan, meskipun cuma sekali seumur hidupnya. Coba deh, misal kita tanya ke orang-orang di sekitar kita, “Kamu mau nggak melakukan hal yang membanggakan?” pastinya nggak akan ada yang jawab “Nggak ah, aku nggak mau.”

Nah, sebenarnya melakukan hal yang membanggakan itu bisa kita lakukan, hanya saja nggak semua orang tahu caranya. Dan, satu lagi yang harus diingat, bangga itu adalah hasil sebuah proses, bukan sesuatu yang dihasilkan secara instan.

Bangga itu datangnya dari hati, nggak bisa direkayasa. Dari banyaknya peluh ketika berproses itulah yang akan menciptakan kristal-kristal kebanggaan. Misal, kita ingin membanggakan orang tua dengan memenangkan sebuah lomba menulis puisi, kita pun melakukan segala macam cara untuk memenangkan lomba tersebut, bahkan nggak segan untuk berbuat curang dengan memplagiat puisi karya orang lain. Meskipun jika puisi itu menang, kemudian kita tunjukkan sebuah piala kemenangan pada orang tua, apa hati kita akan bahagia dan bangga? Kalau menjawab ‘bangga’, pasti itu bohong banget.

Proses yang nggak baik dalam meraih suatu hasil, meskipun di bibir bilang jika kita bangga, tapi di dalam hati kecil kita pasti akan berontak, jika sebenarnya kita tak pantas mendapatkan pujian dan ucapan selamat.

Jika orang tua kita tahu kecurangan kita? Apakah mereka akan bangga? Justru mereka akan kecewa, dan akan berkata, “Ayah dan Ibu lebih bangga jika kamu lakukan semuanya dengan kejujuran.”

Nah, kan? Bangga itu bukan ketika dapat kemenangan, tapi ketika kita melihat dan merasakan sebuah proses panjang dalam meraih kemenangan itu, kalau pun tidak meraih kemenangan, kita masih pantas berbangga, karena kita sudah bisa melewati proses panjang itu dengan sebuah kejujuran.

Kebanggaan, ada yang sifatnya individual, tapi ada juga yang sifatnya kolektif. Kebanggaan individual adalah kebanggaan yang dirasakan oleh diri sendiri karena sebuah proses yang juga dilaksanakan diri sendiri.

Lalu, kebanggaan kolektif yang seperti apa? Kebanggaan kolektif adalah ketika kita juga merasakan menjadi bagian dalam suatu proses keberhasilan. Misalnya ketika Tim Sepakbola Nasional Garuda Muda beberapa waktu lalu memenangkan Piala AFF 2013. Apakah kita bangga ketika melihat Garuda Muda meraih kemenangan itu? Tentu saja, Ya. Kenapa? Karena kita merasa menjadi bagian dari perjuangan mereka, kita bersorak di depan televisi, dan kita semua berdoa untuk kemenangan Indonesia meskipun bukan kita sendiri yang bertanding di lapangan. 
  
Sebagai bangsa Indonesia tentunya ada rasa haru dan bangga yang datang tiba-tiba dari dalam hati, ini yang dinamakan kebanggaan koletif atau kebanggaan bersama.
 
On The Track
Bangga adalah hasil gabungan antara kejujuran, kerja keras, dan doa. Tiga hal tersebut (kejujuran, kerja keras, dan doa) ada dalam satu kata yaitu ‘proses’. Kenapa kejujuran harus masuk dalam proses itu? Karena proses tanpa kejujuran sama dengan mobil mewah tanpa mesin, jika dilihat orang, mobil itu dari luar adalah mobil mewah, tapi kita sendiri tak dapat merasakan kebahagiaan karena mewah itu hanya tampilan luarnya saja, nggak ada mesin di dalamnya yang membuat kita nggak bahagia karena nggak bisa mengendarainya.

Hal itu juga sama ketika kita meraih sesuatu tanpa kejujuran di dalamnya, seriuh apapun pujian dan tepuk tangan yang kita dapat, tetap saja ada bagian yang kosong dalam hati kita.
 
Dalam meraih sesuatu, seseorang itu haruslah ada di jalurnya, On The Track, seperti para pembalap Moto GP yang meraih podium dengan hasil usaha dan berada di jalur yang benar. Apa jadinya jika mereka keluar jalur? Tentunya mereka tak akan bisa naik ke podium dengan kebanggaan hati yang membuncah.

Sekarang ini bisa dilihat juga, pejabat-pejabat yang korupsi dan tertangkap KPK, mereka sebelumnya bisa membanggakan diri dengan harta yang melimpah, serta jabatan tinggi. Tapi karena dalam prosesnya ada ketidakjujuran di dalamnya, itu adalah kebanggaan yang semu. Kebanggaan yang hanya bisa dilihat orang lain, tapi tak dirasakan oleh dirinya sendiri. 

Seperti yang dikatakan oleh salah satu pemeran di book trailer Cine Us. “Melelahkan sekali kalau kita terus mengejar pengakuan dari orang, punya kepuasan itu dari sini ( menunjuk hati), bukan dari sana (menunjuk gedung festival). Apa sih arti kebanggaan buat lo?”

Ya, kebanggaan (bukan) hanya tentang kemenangan, bukan ketika mendapat tepukan dari ribuan orang, tapi ketika ada rasa kepuasan di hati yang tercipta dari proses kerja keras dengan semangat kejujuran.(*)

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba artikel Cine Us karya Evi Sri Rezeki - Nourabooks - Smartfren








 
Read More

SAPEN : Dulu dan Kini

Selasa, Oktober 08, 2013

Surat-surat dari Sahabat Pena
Ini bukanlah catatan serius, hanya sekadar menggali kembali kenangan yang lama tersimpan di dalam almari, jadi tak perlu melipat kening saat membacanya, tapi boleh kalau mau senyum-senyum baca catatan ini.

Di dalam kamarku, ada sebuah almari kecil, tempatku menyimpan benda-benda kenangan dari orang-orang yang pernah jadi bagian dalam hidupku (sahabat, saudara, dan 'penggemar cinta monyet'), hehe. Di almari itu juga tersimpan sebuah kaleng biskuit bekas, tempatku menyimpan puluhan surat dari sahabat pena.

Ya, sapen, sahabat pena. Istilah ini pasti tak asing lagi, dulu. Tapi kini, entahlah. Mungkin 'sahabat pena' sekarang ini hanya ada di pertanyaan UTS Bahasa Indonesia anak SD.

Aku mulai tertarik dengan kegiatan bersapen ria ini sejak SD, setiap membuka rubrik surat pembaca di majalah BOBO, pastilah ada anak yang meminta dicarikan sahabat pena sama BOBO. Dari awalnya tertarik, aku mulai  suka ikut kuis-kuis, kirim surat pembaca, dan puisi singkat di majalah anak. Sejak itulah foto-foto cantikku mulai menghiasi koran dan majalah, hehe, dan mulai banyak yang mengirim surat padaku karena di koran & majalah itu ada alamat lengkap rumahku juga.

Surat-surat yang datang biasanya mengajak berkenalan, terkadang ada juga yang mengirim foto dan meminta aku juga mengiriminya foto kembali (yang ini biasanya sapen cowok). Di surat-surat itulah aku dan sahabat-sahabatku dari luar kota dan luar pulau bertukar cerita, kabar gembira, juga keluh kesah tentang sekolah.
Terkadang aku harus bersusah payah membaca surat yang dikirim untukku karena tulisannya seperti cacing breakdance, tapi itulah keseruannya. Menerima surat, membacanya, dan membalasnya adalah suatu keasyikan tersendiri. Bisa dikatakan, surat- surat ini jugalah yang menjadi 'guru' pertamaku menulis, belajar mengeluarkan gagasan dan ide-ide yang ada dalam pikiran.

Ketika di sekolah, salah satu hal yang kunantikan adalah melihat amplop surat bertuliskan namaku dipajang di jendela kantor Tata Usaha, bahagianya bukan main. Dalam satu minggu biasanya ada satu atau dua surat untukku. Tapi tak hanya surat, ada juga foto-foto artis yang datang, kalau ini memang karena aku sering kirim surat penggemar ke artis dan ketika dibalas dapat foto dan tanda tangan, kebahagiaan remaja. ^_^V

Aku bisa bolak-balik ke kantor pos dua sampai tiga kali dalam seminggu, menyisihkan uang jajan, untuk beli perangko, amplop, dan kertas surat. Aku pun sampai punya koleksi kertas surat, bahkan saat SD dan awal SMP pernah jualan kertas surat juga (otak bisnis dari kecil).

Hingga duduk di bangku Madrasah Aliyah dan tinggal di pesantren, aku masih hobi bersahabat pena. Tapi, kisah-kisah sahabat pena itu sudah berlalu, seiring dengan perkembangan tekhnologi, datangnya MIRC, Friendster, Facebook, Twitter, Path, dan lain sebagainya.

Untuk tahu kabar, cari teman, tinggal 'klik', mau menyapa artis juga tinggal mention di twitter. Kini, rindu itu datang, rindu dengan suara robekan ujung amplop ketika membukanya, rindu membaca kalimat 'Hai, boleh kenalan' di kertas yang wangi, juga rindu melepas perangko bekas dan memasukkannya ke buku filateli.

Semua hal memang ada masanya dan berganti, jika dulu aku mengenal SAPEN sebagai sahabat pena tempat berbagi kisah, kini justru aku menguntai kisah dengan lelaki yang tinggal di SAPEN*. Sebuah kebetulan yang membahagiakan. (*)

*SAPEN : nama daerah di Yogyakarta
Koleksi kertas surat yang masih tersisa


Read More