My 2018 Best Moment: Langkah Pertama Bidadari Kecil di Atas Bumi

Minggu, September 30, 2018


Sembilan belas bulan lalu, tepatnya tanggal 20 Februari 2017, saya melahirkan seorang bayi cantik melalui proses operasi caesar. Langkah operasi ini memang harus diambil, bukan karena kondisi bayi saya yang tidak stabil, tapi justru karena kondisi mata kanan saya yang mengalami miopi lebih dari -14. Ya, kamu gak salah baca kok, memang setinggi itu minus mata saya, dan akhirnya dokter pun memberikan warning, agar saya melahirkan dengan cara operasi agar syaraf mata saya yang sudah tipis tidak putus saat mengejan. Akhirnya, di tanggal itu, selepas maghrib, Ayya lahir ke dunia dalam keadaan lengkap, sempurna, dan tidak ada indikasi medis apapun, alhamdulillah. 

My Little Family
Seperti halnya orangtua baru, saya dan suami baghu membahu menjaga si kecil, dari mulai kurang tidur, hingga drama ASI minim dirasakan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, hingga akhirnya Ayya berusia 4 bulan. Saya bersyukur di usia tersebut, Ayya sudah bisa tengkurap, namun ternyata satu bulan berikutnya rasa kecemasan mulai mendera. 

Sebagai ibu milenial yang baik, saya rutin mengecek milestone perkembangan Ayya, hingga kemudian saya merasa ada sesuatu yang salah dengan si kecil, motorik kasarnya tidak berkembang sesuai usianya. Kecemasan ini bertambah nyata ketika anak tetangga yang lahir 2 hari sebelum Ayya, sudah mulai belajar duduk. Lalu Ayya? Menegakkan tubuh saat digendong saja masih susah. 

Mungkin, saya memang terlihat egois karena seharusnya saya tidak boleh membandingkan si kecil dengan anak lain. Tapi saya memiliki dasar yang kuat ketika perkembangannya tidak sesuai milestone. 

Saya mengungkapkan kecemasan saya itu pada suami, tapi suami bilang Ayya sehat dan baik-baik saja. Suami terus bilang bahwa saya tidak perlu khawatir. Tapi kecemasan itu tak bisa hilang, saya merasa feeling saya sebagai ibu ketika merasakan ada sesuatu yang ‘salah’ ini memang benar.

Kecemasan yang Bertumbuh
Kecemasan itu perlahan terbukti, hingga usia 8 bulan, Ayya belum juga bisa duduk, sedangkan bayi lain seusianya mungkin sudah belajar merangkak atau merambat ke dinding. Tak hanya itu, keterlambatan lainnya pun terlihat dari giginya yang juga belum tumbuh.

Saya pun mencoba browsing di dunia maya untuk mencari tahu, apa yang harus saya lakukan untuk membantu Ayya berjalan duduk, hampir semua artikel menyarankan untuk pergi ke dokter spesialis anak dan kemudian mendapat rujukan ke fisioterapi. Hingga akhirnya suami mengajak saya untuk datang ke dokter keluarga agar mendapat rujukan ke dokter spesialis anak melalui BPJS.

Sesampainya ke dokter keluarga, ternyata dokter tersebut tidak mau memberi rujukan karena menganggap anak saya baik-baik saja, kami suruh menunggu hingga Ayya berusia 1 tahun untuk duduk. What?! Rasanya saya ingin menangis di ruangan dokter saat itu.  

Kami pulang dari dokter keluarga dengan tangan hampa. Suami menenangkan saya dan mengajak saya bersabar menunggu perkembangan anak saya hingga usia 10 bulan. Perasaan saya bukan lagi cemas, tapi perlahan berubah menjadi ketakutan. Saya browsing lagi tentang biaya mandiri untuk pergi ke dokter anak dan fisioterapi. Belum lagi biaya bolek balik pergi ke Rumah Sakit di kota. Bagi saya dan suami, mahal banget, apalagi ketika itu penghasilan saya dan suami jika digabungkan, tidak lebih dari 500.000/bulan. Saat itu, air mata saya mengambang dan menatap nanar saat melihat ke laptop. Apa yang harus saya lakukan?

Saat Ayya berusia 9 bulan, Ayya belum juga bisa duduk, bahkan didudukkan saja masih loyo ke kanan dan ke kiri. Pada saat itu, ada sedikit angin segar, ada saudara yang mengatakan bahwa ada dukun pijat anak yang sudah terkenal bisa membantu anak cepat berjalan. Tanpa pikir panjang, saya dan suami mencoba datang ke dukun pijat tersebut meski harus menempuh jarak 30 km. Jauh memang, tapi untuk biaya, tentu saja jauh lebih murah daripada ke dokter spesialis anak.

Seminggu sekali, saya dan suami mengantar Ayya ke dukun pijat tersebut, sudah satu bulan berlalu, hingga Ayya berusia 10 bulan, tapi belum juga ada tanda-tanda perkembangan yang berarti.
Hingga suatu hari, saya mengatakan pada suami bahwa kami harus segera ke dokter spesialis anak, soal biaya urusan belakangan, yang penting Ayya bisa mengejar perkembangannya.

Saya ingat betul, di tanggal 23 Desember 2017, saya membawa Ayya ke dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit swasta di Semarang. Di satu sisi saya cemas dengan diagnosa dokter nantinya, tapi di sisi lain, saya lega Ayya akan mendapat penanganan yang tepat.

Masuk di ruang dokter, Ayya mulai diperiksa, dokter menyatakan jika Ayya memang mengalami keterlambatan motorik kasar, tapi untuk tulang dan lainnya semuanya bagus. Saya kemudian bertanya pada dokter apa penyebabnya? Dokter mengatakan Ayya terlalu banyak digendong sehingga ia malas bereksplorasi.

“What?!” Saya berteriak, tentu saja dalam hati. Hal yang saya anggap bisa meningkatkan bonding antara ibu dan anak, ternyata bisa berakibat fatal seperti ini. Apalagi di keluarga besar saya yang tempat tinggalnya berdekatan, bukan hanya saya dan suami saya yang suka menggendong Ayya, tapi juga kakek, nenek, om, tante, yang kalau dijumlahkan bisa lebih dari 7 orang. Oh my God!

Dokter pun tidak menyarankan untuk fisioterapi di rumah sakit, karena selain mahal, juga tidak bisa maksimal. Dokter mengajari saya dan suami cara melatih Ayya agar cepat duduk, dengan memposisikan dia dalam posisi merangkak, dilakukan minimal 8 jam setiap harinya. Kata dokter, jika rutin, tidak sampai sebulan, Ayya sudah akan bisa duduk.

Saya dan suami pun mulai rutin melatih Ayya, hingga tepat 3 minggu sejak kedatangan kami ke dokter, Ayya sudah bisa duduk sendiri. Selanjutnya saya mulai menanti perkembangan-perkembangan lainnya dari Ayya. 

Belajar duduk
Saat Ayya tepat berusia 1 tahun (20 Februari 2018), Abi Ayya mendapat SK pengangkatan sebagai dosen sebuah kampus negeri di luar kota. Kami sangat bersyukur dan mengatakan jika ini adalah rezeki Ayya.

Akhirnya, saya dan suami harus menjalani Long Distance Marriage dan pulang ketika weekend, meski begitu kami ikhlas, karena inilah yang terbaik.

Langkah Pertama Ayya
Untuk mengobati rasa rindu dengan suami juga agar suami tahu perkembangan Ayya, saya kerap mengirim video-video Ayya juga tiap hari kami melakukan video call. Beragam foto dan video perkembangan Ayya di dalam ponsel menjadi saksi kegigihan kami untuk memberikan yang terbaik bagi Ayya.

Hingga perlahan tapi pasti, Ayya mulai mengejar perkembangannya. Ayya mulai merangkak di usia 13 bulan, merambat di usia 14 bulan, dan akhirnya kami bisa melihat langkah tegak pertama Ayya di usia 15 bulan lebih 3 hari, tanggal 28 Mei 2018. 

Langkah Pertama Ayya


3 minggu langkah kecilnya
 
Melangkah Bersama Abi

Saya mengirimkan video dan foto detik-detik berjalannya Ayya pada suami yang sedang berada di luar kota. Suami menangis haru, kami pun mulai mengingat dan bernostalgia mengenang perjalanan kami dengan sepenuh usaha, doa dan air mata untuk membantu mengejar perkembangan Ayya selama berbulan-bulan. Sehat selalu, sayangnya Abi dan Umma (*)

5 komentar

  1. aaahh melting banget bacanya mbak
    Salam buat dek Ayya yah. Namanya mengingatkanku sama ponakanku skrg udah kelas 1 SD hee
    Meski jauh disana suami mbaknya tetap bisa tahu perkembangan si kecil yah mbak
    Huawei Nova 3i emang cakep buat komunikasi mbaknya sama masnya yah
    Smoga terwujud impiannya memiliki Smartphone Huawei Nova 3i yah mbak
    Good Luck
    Salam kenal dari Bumi Jember ^_^

    BalasHapus
  2. Aku nangis twiiinnn. Terharu. Perjuangan banget. Hebqt dedek Ayya.

    BalasHapus
  3. sungguh ngeri perjuangannya mbk icha dan mamas suami,
    huwai emang mantabe

    BalasHapus
  4. Begitu lancar jalan, wuuuush....langsung berlarian ke sana kemari :D :D
    Sehat-sehat ya, Ayyaaaa. Kalo ke Bandung lagi, mesti ketemuan loh ya :D

    BalasHapus
  5. Begitu udah bisa lari-lari. Capek deh ngejar-ngejarnya. 😆

    BalasHapus