Problematika Regulasi Kawasan Tanpa Rokok untuk Mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak

Minggu, Juni 30, 2019


Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dijaga, bukan penjagaan yang membuatnya terkungkung dan terbatas ruang geraknya, tetapi menjaga agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan kodrat, kebutuhan, serta menjamin hak-haknya terpenuhi. 

Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada 31 hak anak yang harus dipenuhi, salah satunya adalah pada poin 5 yang menyebutkan anak harus mendapatkan standar kesehatan paling tinggi.

Pemenuhan standar kesehatan paling tinggi ini bukan hanya tentang pemberian makanan yang bergizi dan imunisasi saja, tetapi juga menciptakan lingkungan yang sehat agar anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Beberapa waktu lalu, saya tertarik untuk mendengarkan program radio Ruang Publik KBR (Kantor Berita Radio) dengan tema “Kawasan Tanpa Rokok Untuk Mewujudkan Kota Layak Anak” yang disiarkan pada 12 April 2019. Siaran radio ini bisa juga didengarkan melalui link yang ada pada website KBR di https://m.kbr.id.

Mengenal Tentang Kota Layak Anak.
Saya tertarik mendengarkan siaran Ruang Publik KBR yang membahas mengenai kawasan tanpa rokok dan Kota Layak Anak ini, karena sedikit banyak saya pernah mempelajarinya ketika duduk di bangku kuliah. Bahkan, saat membuat tesis untuk keperluan program magister saya yang konsen pada Kebijakan Publik di Universitas Diponegoro-Semarang. Saya meneliti tentang pencapaian predikat Kabupaten/Kota Layak Anak Pratama untuk Kabupaten Grobogan. 

Logo Kabupaten/Kota Layak Anak (Sumber: kla.id)
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Kabupaten/Kota Layak Anak di Desa/Kelurahan, definisi dari Kabupaten/Kota Layak Anak adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Untuk mencapai Kabupaten/Kota Layak Anak sendiri memang tidak mudah, ada banyak jenjang yang harus dilewati. Total ada 5 tahapan predikat sebelum akhirnya sebuah Kabupaten/Kota bisa disebut dengan Kabupaten/Kota Layak Anak, yaitu:
1. Pratama
2. Madya
3. Nindya
4. Utama
5. Kota Layak Anak.

Hingga saat ini, belum ada Kabupaten/Kota di Indonesia yang mencapai predikat Kabupaten/Kota Layak Anak. Dan baru ada 2 kota yang mencapai predikat Utama, yaitu Surabaya dan Surakarta.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2018, baru  43% atau Kota yang memiliki peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan baru 10 dari 516 Kabupaten/Kota yang memiliki aturan terkait larangan iklan, promosi dan sponsor rokok. Dan berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari 389 Kabupaten/Kota yang berkomitmen menjadi kota layak anak, baru 103 Kabupaten/Kota yang memiliki aturan terkait KTR, dan 10 Kabupaten/ Kota yang memiliki atran larangan promosi, iklan, dan sponsor rokok.

Untuk menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak sendiri ada 5 Klaster dan 24 Indikator Penilaian yang harus dipenuhi, yang mana pada Klaster III tentang Kesehatan dan Kesejahteraan, ada poin yang menyebutkan ‘Peran Pemerintah Daerah Menetapkan Kawasan Tanpa Rokok’.

Ir. Yosi Diani Tresna, MPM, Kasubdit Perlindungan Anak, Dit. Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas menyebutkan, “Antusiasme Kabupaten/KOta cukup besar untuk berkomitmen menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak.”

“Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Per Februari Tahun 2019, ada 415 Kabupaten/Kota yang berpartisipasi dalam KLA. Dan ini jauh meningkat dari tahun 2006, yang mana hanya ada 20 Kabupaten/Kota yang berpartisipasi dalam KLA,” ungkap Ir. Yosi Diani Tresna dalam program radio Ruang Publik KBR.

Menurut Ir. Yosi, adanya 415 Kabupaten/Kota yang berpartisipasi di tahun 2019 ini, melebihi dari target 380 an Kabupaten/Kota. Ini tentunya menjadi sebuah kabar menggembirakan bahwa dengan adanya KLA ini, mendorong Kabupaten/Kota membenahi daerahnya untuk menjadi lebih baik, khususnya bagi anak-anak yang tinggal di daerah tersebut.

Kawasan Tanpa Rokok, Dimana?
Memang sulit menemukan Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia, bukan hanya sebuah kawasan tanpa adanya perokok aktif, namun juga kawasan tanpa adanya iklan dan promosi rokok seperti halnya yang ada di Kampung Penas, Jakarta Timur.

Menurut Ibu Sumiati, salah satu pegiat Kampung Tanpa Rokok, Kampung Penas, munculnya kampung ini karena inisiatif warga untuk menjaga kesehatan anak-anak dan para ibu.

“Seluruh warga di sana ikut terlibat, dan semenjak ada komitmen warga, hampir 100% setuju (tentang Kampung Tanpa Rokok),” jelas Ibu Sumiati dalam program radio KBR, 12 April 2019 lalu. Meski sudah menjadi kampung percontohan yang bebas rokok, menurut Ibu Sumiati, kampung ini masih butuh pengawasan, baik itu dari kelurahan juga dari pihak puskesmas agar aturan di kampung ini bisa berjalan dengan baik.

Menjadikan sebuah wilayah menjadi ‘Kawasan Tanpa Rokok’ memang tidaklah mudah, menurut Ir. Yosi, hal ini adanya tidak sinkronnya perda di suatu wilayah Kabupaten/Kota, dimana beberapa perda saling tumpang tindih, antara perda terkait perdagangan dan perda pelindungan anak. Apalagi kita sendiri tentunya masih tahu bahwa pajak cukai dari rokok masih menjadi salah satu sumber pendapatan bagi banyak Kabupaten/Kota di Indonesia.   

Problematika Regulasi Kawasan Tanpa Rokok
Untuk mewujudkan Kota Layak Anak sendiri memang tidaklah mudah, ada banyak problematika yang harus diselesaikan, termasuk juga yang berkaitan dengan Kawasan Tanpa Rokok. Menurut pengamatan saya saat melakukan penelitian terkait Kabupaten/Kota Layak Anak, ada beberapa problematika yang harus dihadapi:

Kawasan Tanpa Rokok (Sumber: depkes.go.id)

1. Minimnya Program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Terkait Hak Anak
Bagi Negara dan pemerintah sendiri, tanggung jawab perlindungan anak tertulis dalam Pasal 23 dan Pasal 24 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:

”Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemerliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak” (Pasal 23 ayat 1).

Dari penjabaran pasal tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa pemerintah memegang peranan penting dan utama dalam perlindungan anak, karena selain menjadi pengawas, Negara dan pemerintah juga menjadi penjamin perlindungan anak dan kesejahteraan anak.

Namun, apabila dilihat dari jumlah Perda yang ada di masing-masing wilayah terkait Kawasan Tanpa Rokok dan Pelarangan Iklan Rokok masih minim, tentunya ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Belum lagi adanya dilema bahwa cukai rokok masih menjadi pemasukan yang besar bagi daerah dan 
negara, termasuk juga adanya pajak baliho dan iklan rokok di daerah-daerah yang menjadi pendapatan tidak asli daerah.

Apabila daerah yang sebelumnya menjadikan pendapatan dari iklan rokok dan cukai rokok ingin menetapkan aturan pelarangan iklan rokok, maka daerah Kabupaten/Kota harus berani #PutusinAja regulasi perihal larangan ini. Pemda harus berpikir maju dan kreatif untuk mendapatkan sumber pendapatan lain untuk daerah, misalnya dari sektor pariwisata.

2. Minim Informasi untuk Masyarakat
Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi sosial dan lingkungan masyarakat berpengaruh besar terhadap terwujud atau tidaknya Kabupaten/Kota Layak Anak. Banyak atau bisa dibilang sebagian besar masyarakat Indonesia belum tahu mengenai Kabupaten/Kota Layak Anak.

Yang memiliki informasi ini bisa dikatakan kalangan terbatas saja, misalnya seperti pegawai kecamatan dan kelurahan, atau para pejabat daerah dan stakeholdernya. Sedangkan untuk masyarakat awam bisa dikatakan banyak yang tidak tahu dan tidak paham. 

Padahal masyarakat perlu dibekali adanya informasi-informasi yang mencukupi perihal Kawasan Tanpa Rokok dan Kabupaten/Kota Layak Anak agar bisa diajak bekerja sama untuk mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Suatu ketika, pernah ada tetangga saya yang mengunggah potret tugu bertulisakan ‘DESA LAYAK ANAK’ di media sosialnya dengan caption mempertanyakan maksud dan guna dari tugu bertuliskan kalimat tersebut. Tak lama, komentar-komentar bermunculan yang menjawab dengan nada ketidaktahuan serupa.

Hal ini menjadi tanda, bahwa informasi mengenai Kabupaten/Kota Layak Anak ini belum sampai ke masyarakat tingkat bawah. Padahal seyogyanya, para stake holder seperti ibu-ibu PKK bisa dimanfaatkan menyampaikan program ini ke masyarakat.

3. Kesadaran Masyarakat Tentang Kesehatan Masih Rendah
Jumlah perokok aktif di Indonesia sangatlah banyak, kita bisa menemui para perokok ini dimana saja. Di terminal, mall, pinggir jalan, bahkan saya pernah menemukan seorang yang merokok di ruang tunggu Puskemas, yang notabene nya adalah fasilitas kesehatan.

Masyarakat Indonesia seringkali baru menyadari bahwa sesuatu itu memiliki kemudharatan yang besar setelah terjadi hal-hal negatif padanya, misalnya setelah jatuh sakit. Apabila seseorang yang merokok belum jatuh sakit yang diakibatkan karena rokok yang dihisapnya, maka kemungkinannya sangat kecil untuk orang tersebut meninggalkan rokok. 

Bagi para perokok aktif, bisa dikatakan adalah teman hidup, sampai-sampai ada ungkapan yang menyebutkan kalau lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Ini tentunya sungguh ironis.
Belum lagi, para perokok aktif ini juga minim sekali yang memiliki kesadaran bahwa asap rokok itu lebih berbahaya apabila terkena perokok pasif. Beberapa kali saya membaca curhatan viral para ibu di media sosial yang bercerita tentang bayinya yang harus meninggal karena terpapar asap rokok dari orang terdekatnya.

Maka dari itu, kesadaran masyarakat akan bahaya rokok harus terus ditingkatkan, bukan hanya dari pemerintah, namun peran keluarga juga penting, bagaimana memberikan pengertian pada anggota keluarga tentang bahaya rokok.

4. Perbedaan APBD Masing-Masing Daerah
Kendala lain mengenai terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok adalah anggaran daerah. Sejak adanya otonomi daerah, anggaran dana masing-masing daerah dikelola secara mandiri. Dan masing-masing Kota/Kabupaten tentunya memiliki APBD yang berbeda-beda karena terkait dengan program daerah dan prioritas pembangunan masing-masing daerah.

Ketersediaan biaya/anggaran untuk melaksanakan kegiatan atau program tentunya sangatlah penting. Dana atau biaya dalam pelaksanaan program perlindungan anak dikatakan baik apabila pendanaan sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program. Begitu juga dengan pembangunan atau pencanangan Kawasan Tanpa Rokok ini tentunya membutuhkan dana yang harus dianggarkan.

Oleh sebab itu, apabila para pemangku keputusan memang memiliki komitmen untuk membangun atau membuat Kawasan Tanpa Rokok, bisa menggandeng LSM atau mencari sponsor yang peduli akan kesehatan anak agar program Kawasan Tanpa Rokok bisa terlaksana dengan baik.

Itulah beberapa problematika terkait regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia dan solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Lewat penjabaran ini, saya harap ke depannya tak hanya pemerintah daerah yang bekerja dengan regulasinya, namun juga para stake holder serta warga masyarakat memiliki inisiatif yang lebih baik. Regulasi tak akan bisa berjalan tanpa adanya komitmen dari masyarakat untuk melaksanakan.

Begitu juga jika masyarakat memiliki inisiatif dalam hal Kawasan Tanpa Rokok, pemerintah perlu memberikan dukungan dengan adanya payung hukum serta regulasi yang jelas, maka pemerintah harus berani #PutusinAja aturan yang memang dibutuhkan, sehingga ke depannya Kabupaten/Kota Layak Anak bukan hanya sekadar wacana, namun bisa terealisasi untuk semua Kota dan Kabupaten di Indonesia.  (Richa Miskiyya)

Done Follow Sosial Media KBR:
FB: Richa Miskiyya
Twitter: @richamiskiyya
IG: Richa Miskiyya

Tulisan  ini diikutsertakan dalam lomba Blog #PutusinAja Radio KBR

Posting Komentar