MENJEMPUT PURNAMA

Rabu, Juni 09, 2010

Oleh : Richa Miskiyya

Kepalaku terantuk jendela bus untuk kesekian kalinya. Sakit sekali dan membuatku enggan melanjutkan tidurku, mataku mengerjap, mulai mengumpulkan kesadaranku; kesadaran bahwa aku kini tengah berada dalam babak baru hidupku, babak yang aku sebut sebagai “Menjemput Mimpi”.
Jalan yang aku lalui bersama bus tua dengan sesak penumpang membuatku serasa terpanggang di tengah udara panas yang kurang bersahabat ini. Tangisan bayi yang digendong ibunya di deretan sebelahku menambah rasa berbeda di dalam bus yang aku tumpangi. Rasa keprihatinan juga rasa kemiskinan.
Aku melihat ke jendela di sampingku, terlihat papan bertuliskan “Selamat Datang di Dusun Arjosari”. Dusun miskin di selatan Jawa Tengah inilah yang akan menjadi saksi mimpi-mimpiku yang akan segera terwujud.
Mimpiku sebagai guru agama, bukan sebagai teknisi mesin seperti yang diharapkan Bapak padaku. Aku memang anak Bapak tapi aku bukan anak dari pikiran Bapak, begitulah protesku kala itu. Sebenarnya aku tak ingin menjadi anak durhaka, aku hanya ingin mengejar mimpiku.
Dulu aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang guru agama. Di masa-masa SMA aku bercita-cita menjadi pembalap racing di sirkuit. Tapi semenjak kejadian itu aku semakin sadar bahwa hidupku selama ini belum ada apa-apanya, nihil dan tak berarti. Masih terlihat jelas sekali bayang-bayang kejadian malam itu.
***
Hujan menerpa tubuhku, motor kupacu dalam kecepatan tinggi menembus angin disertai petir. Tapi akhirnya aku menunda perjalananku yang tinggal dua km lagi menuju rumahku di Semarang Barat. Aku memilih membelokkan motorku ke kiri jalan dan memasuki area masjid.
Aku hanya ingin berteduh, tak ada keinginan berwudhu, tak ada juga keinginan untuk shalat karena aku memang tak bisa dan tak pernah diajari untuk itu. Sejak kecil aku hanya diajari untuk belajar dan belajar di dalam kamar dan tak boleh keluar sebelum pukul sembilan malam.
Aku sebenarnya jenuh, di dalam kamar aku hanya membuka buku pelajaranku sekilas, dan selanjutnya hanya ada komik di tanganku. Badung memang, tapi biarlah, yang penting aku tak pernah mendapatkan nilai merah dan selalu masuk tiga besar di kelas, karena hanya itulah yang diinginkan Bapak. Tak mau tahu bagaimana caranya aku mendapatkannya.
Aku menyandarkan punggungku di tiang masjid sambil menunggu hujan reda. Aku menengok jam dinding di atas mihrab, masih setengah delapan.
Lamat-lamat aku mendengar suara anak kecil sedang berdoa, lumayan keras, sudah tak ada siapa-siapa di sekitar gadis kecil itu. Tak berapa lama gadis kecil itu menghampiriku, mungkin ia sadar sedari tadi aku memperhatikannya.
“Kakak sudah sholat?” tanya gadis itu tiba-tiba. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Kenapa Kakak belum sholat? Sudah hampir habis lho waktunya,” katanya lagi.
“Capek,” jawabku singkat.
“O…” ujar gadis kecil itu, tak ada protes lagi kenapa aku tak shalat.
“Bapakku juga sering tidak sholat, katanya beliau capek, tapi aku tetap rajin sholat meskipun aku capek setiap hari harus keliling menjual kue buatan Ibu,” kata si gadis kecil , begitu lugas dan sedikit cadas.
Aku melihatnya dari ujung kaki sampai kepala. Gadis kecil berumur sekitar delapan tahunan dengan kerudung mungil menutupi kepalanya.
“Namamu siapa?” tanyaku.
“Ais, Aisyah, Kak,” jawabnya.
“Kamu sendirian?”
“Iya, Kak, tadi bersama Ibu, tapi Ibu sudah pulang duluan, mau buat kue untuk dijual besok.”
“Kamu sekolah?”
“Sekolah, Kak, kelas tiga.”
“Kalau besar mau jadi apa? Dokter apa Menteri?” tanyaku. Ais hanya menggeleng.
“Ais ingin jadi guru agama, Kak.”
Aku tersentak mendengar jawaban Ais.
“Kenapa ingin jadi guru agama?”
“Biar bisa ngajarin anak-anak yang nggak mampu kayak Ais buat belajar baca Quran dan sholat, Kak. Kasihan mereka kalau tidak kenal agama.”
Cerdas sekali anak ini, aku saja tak pernah punya pikiran seperti itu, batinku.
“Doa yang tadi kamu baca doa apa?” tanyaku.
“Kakak tidak tahu? Hahahahaha...!” tawanya berderai seolah-olah melecehkanku, tapi aku sama sekali tak merasa tersinggung.
“Itu doa untuk kedua orang tua, Kak. Robbighfirlii Waliwalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaani Soghiiroo, artinya, Ya Allah Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka seperti mereka menyayangiku waktu kecil.”
“O….”
“Ais selalu mendoakan Bapak Ibu setelah sholat, biar Bapak yang tak pernah sholat dan sering memukul Ibu diampuni dosa-dosanya oleh Allah.”
Tiba-tiba air mata Ais meleleh, namun ia segera memalingkan wajahnya, menutupi sinar matanya yang sebenarnya penuh duka.
Beberapa saat diam menghinggapi kami, aku tak ingin bertanya lebih jauh tentangnya, karena mungkin saja itu bisa menambah besar luka di hatinya yang masih lugu.
“Hujannya sudah reda. Ais pamit dulu, Kak, pasti Ibu sudah menunggu. Kakak harus rajin sholat ya dan harus selalu berdoa untuk Bapak dan Ibu.” ucap Ais.
Bayang-bayang Ais pun hilang ditelan gelap malam.
Malam itu adalah pertama kali dan juga terakhir kali aku bertemu dengannya. Hari-hari berikutnya aku sempatkan untuk berbelok ke masjid tempat aku bertemu Ais, tapi aku tak pernah melihatnya lagi.
Aku bertanya kepada ustadz yang mengajar mengaji selepas maghrib tentang keberadaan Aisya. Aku mendapatkan kenyataan mencengangkan, sehari setelah aku bertemu dengannya, ia tewas karena ditendang Bapaknya. Kepala Aish terbentur ke dinding dan mengalami perdarahan hebat.
Hatiku gemetar mendengar itu. Bapaknya tak pernah tahu betapa shalehahnya seorang Aisya yang selalu mendoakannya setiap hari. Aku pun tersadar; apa yang dikatakan Ais adalah amanah yang dititipkan kepadaku, amanah untuk mengajarkan agama dan menjadikan cita-citanya sebagai cita-citaku kini.
***
Akhirnya, di sinilah kakiku berpijak kini, membawa cita-cita Aisya dan senyumnya di hatiku untuk menghadapi hidup di depanku.
Dusun Arjosari, dusun penuh bukit hijau, terisolasi, di sinilah aku akan menghadapi hari-hariku ke depan, ditugaskan sebagai guru agama oleh instansi yang menaungi pekerjaanku sebagai guru agama honorer.
Aku segera menuju ke rumah Pak Sarjono, atau yang lebih akrab dipanggil Pak Jono, kepala sekolah tempat aku akan bertugas. Tak sulit menemukan rumahnya, setelah bertanya kanan kiri, akhirnya aku sampai juga ke rumah Pak Jono, sebuah rumah kecil yang dinaungi pohon mangga di halaman depannya.
Seorang wanita paruh baya menyambutku.
“Tunggu sebentar, Nak, Ibu panggilkan Pak Jono dulu, silakan duduk,” kata Bu Jono ramah.
“Iya, Bu, terima kasih.”
Aku melihat dinding ruang tamu, banyak kaligrafi Arab terpasang.
Sepertinya Pak Jono termasuk orang yang religius, batinku.
Tak berapa lama muncul seorang lelaki seumuran bapakku sambil membetulkan letak kancing baju koko yang dipakainya. Ada dua tanda hitam di dahinya yang semakin meyakinkanku akan kekhusyuan ibadahnya. Tapi aku tak mau menerka, takwa seseorang biarlah menjadi urusan Tuhan.
“Anda Pak Aryo….?” tanyanya ramah sambil mengulurkan tangan.
“Benar, Pak, saya Aryo.”
Beberapa saat kami bercakap dan berbasa-basi tentang kehidupan pribadi kami, akhirnya kami pun pergi ke luar mengitari desa kecil itu. Melewati jalan setapak yang berliku dan sedikit licin diterpa hujan semalam.
Kami sampai di sebuah rumah kecil berdinding kayu, namun lantainya sudah dilapisi dengan semen. Inilah rumah yang nantinya akan menjadi tempat tinggalku. Tak ada yang istimewa, hanya ada sebuah kasur usang, meja kecil, dan lemari kecil untuk tempat pakaian. Syukur listrik sudah masuk desa ini, jadi aku tak perlu bergelut dengan pompa petromax jika ingin mendapatkan penerangan kala malam.
Bisa dibilang rumah baruku ini berada di atas bukit, seluruh bagian desa bisa aku lihat dengan jelas, rumah Pak Jono di ujung timur desa, sungai yag mengalir dengan riak-riak kecil di sisi barat, Sekolah Dasar menempati bagian selatan, juga kubah kecil mushala di sisi bawah dari bukit yang aku diami.
***
Sudah pukul enam sore, aku menunggu getar-getar azan maghrib dari arah mushala, namun tak jua bergema. Tak berapa lama akhirnya terdengar juga suara panggilan itu.
Allahu Akbar Allaahu Akbar…!
Aku pun segera bergegas mengambil wudhu dari pancuran gentong di samping rumahku, dan menuju suara panggilan yang mengajakku untuk menghadap-Nya.
Sesampainya di mushalla, ternyata sang muazin adalah Pak Jono. Hanya ada sepasang sandal di teras mushalla. Aku pun masuk dan menambah jumlah sandal menjadi dua pasang.
Selesai iqamat, Pak Jono mengajakku ke depan, menjadi makmum di belakangnya. Begitulah, Pak Jono menjadi muazin sekaligus imam. Jika tak ada aku pastilah ia akan shalat sendirian. Tak berapa lama terdengar langkah kaki menyusul ke dalam mushalla dan mengikuti gerakan kami.
Salam kami tunaikan, ternyata makmum terakhir adalah Bu Jono, hanya ada kami bertiga, padahal menurut data yang aku miliki dusun ini terdiri dari tiga puluh keluarga, jumlah yang cukup besar untuk sebah dusun kecil di balik bukit terpencil seperti ini.
***
Aku menatap hamparan dusun dari atas bukit tempatku tinggal. Sejuk, tenang, tapi sayang agama tak lagi bermakna di sini, mungkin inilah sebabnya Tuhan mengirimku ke sini. Meninggalkan segala kesenangan di rumahku, kasur empuk, motor kinclong, makanan lezat, juga meninggalkan orang tuaku. Tersiksa sebenarnya melihat ibuku melepasku dengan tangisan air mata.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Tunaikan tugasmu dengan sempurna jika ini memang pilihanmu,” begitulah pesan Ibu.
Aku tak ingin menjadi seperti Mbak Desi yang salah langkah, ia menuruti keinginan Bapak untuk menjadi dokter dan akhirnya dikirim ke Jakarta dengan bekal uang yang cukup, bahkan lebih, tapi sama sekali tak dibekali iman.
Tanpa disadari orang tuaku, ternyata uang yang selama ini dikirim digunakan untuk nyimeng alias ngedrugs, setelah empat tahun bukannya menjadi sarjana melainkan harus terkurung di keranda, tewas karena overdosis.
Itulah sebabnya aku ingin membekali anak-anakku juga anak-anak didikku dengan ilmu Al-Quran, tak hanya ilmu Aljabar, belajar hidup dengan iman tak hanya dengan keahlian,
“Assalamualaikum, Mas Aryo….”
Tiba-tiba ada yang memanggilku. Badanku merinding, sudah setengah sembilan, tapi kenapa masih ada seorang wanita berjilbab berparas cantik datang. Tapi pikiran buruk dan takut segera aku tepis.
“Waalaikumsalam….”
“Kok melamun, Mas?" tanyanya tersenyum.
“Ah, tidak, saya sedang menikmati keindahan dusun ini,” jawabku.Ia menghampiriku dan duduk satu meter di sampingku.
“Keindahan atau kehampaan, Mas?” tanyanya seakan tahu apa yang aku pikirkan.
“Dulu desa ini terkenal sebagai dusun yang agamis, tapi semenjak banyak pemuda yang merantau ke kota, mereka pun menjadi lupa akan agama, ketika kembali ke kampung, mereka menjadi sombong dan menganggap tanpa agama pun mereka bisa kaya. Tapi, mereka tak pernah tahu bahwa hatinya miskin.”
Aku mengangguk-angguk mendengar penuturannya.
“Ngomong-ngomong Mbak tinggal di mana? Kenapa malam-malam lewat sini, apa tidak takut?” tanyaku.
“Nama saya Mala. Saya tinggal di balik bukit ini, tadi habis menengok saudara di kampung bawah. Saya tahu dari Pak Jono kalau ada guru agama baru yang akan mengajar di sekolah kampung kami.”
“Kasihan anak-anak di sini.”
“Mmm…kenapa kasihan?"
“Anak-anak disini tak lagi kenal agama.”
“Pasti Mas Aryo tahu, mushola desa ini selalu sepi, tak pernah ada yang beribadah, kecuali Pak Jono dan istrinya,” tambahnya.
Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan kata-katanya.
“Tolonglah dusun ini, Mas….”
“Menolong bagaimana? Aku hanya seorang guru agama, bahkan aku baru dua hari berada di Dusun ini.”
“Tolong bimbing anak-anak itu untuk mengenal Tuhannya, saya yakin Mas Aryo bisa.”
Begitu mantap kata-katanya mengatakan hal itu padaku, sebuah dukungan, keyakinan, atau pujian, entahlah.
“Kenapa Mbak begitu yakin sama saya? Kita kan baru kenal?” tanyaku.
“Mas Aryo sendiri yang mengatakannya,” jawabannya membuat keningku berlipat-lipat.
“Sikap Mas Aryo yang mengatakannya. Mas Aryo adalah orang mapan dan berpendidikan tapi mau menjadi guru agama di tempat yang terpencil seperti ini, itu sesuatu yang istimewa bukan?”
“Jangan kaget, saya mendapat cerita ini dari Pak Jono” tambahnya.
Aku baru ingat, ketika pertama kali datang kemari aku sempat bertukar cerita tentag hidupku kepada Pak Jono kenapa aku bisa sampai disini. Pantas saja Mala bisa tahu, mungkin ia memang dekat dengan Pak Jono sehingga banyak tahu tentangku.
“Jemput purnama itu, Mas,” kata Mala sambil menunjuk rembulan di atas kami yang memang sedang purnama.
“Maksudnya?”
“Purnama itu ibarat agama dan keyakinan Mas untuk membantu dusun ini. Jemputlah agama itu dan berikanlah pada dusun ini agar kehidupan gelap dusun ini menjadi terang,” katanya berfilosofi.
“Tapi purnama hanya datang sekali dalam sebulan bukan?” tanyaku padanya.
“Maka dari itu, jemputlah ia, dan letakkan keyakinan itu di hati Mas, maka purnama itu tak akan pergi dan akan selalu terang di hati, setelah itu bagilah sinarnya pada anak-anak dan penduduk di dusun ini dengan pendidikan agama tanpa bersikap menggurui dan memaksa.”
“Maaf, Mas, sudah malam, saya harus segera pulang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Tenang, Mala…aku akan laksanakan itu dan menjemput purnama, batinku sambil mengikuti langkahnya hingga hilang ditelan malam.
***
Seminggu setelah pertemuanku dengan Mala, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Di mushalla, sungai, ataupun di jalan depan rumahku. Padahal aku ingin berdiskusi dengannya, aku ingin mengatakan bahwa aku sudah mulai mendidik anak-anak di dusun ini dengan sikap purnama yang lembut tapi terang seperti yang pernah dikatakannya.
Aku juga ingin mengatakan bahwa kini aku mulai mengajari anak-anak itu belajar hijaiyah dan tata cara berwudhu. Tentang Islam, Iman, juga Ihsan. Bahwa hidup harus dengan ilmu juga amal agar menjadi berkah.
Sore ini aku melangkahkan kakiku memasuki pekarangan rumah Pak Jono untuk melaporkan kegiatanku dalam seminggu ini. Sambil menunggu Pak Jono dari belakang, seperti biasanya aku dipersilakan masuk oleh istrinya dan duduk di sofa kayu yang sudah lapuk dimakan usia.
Aku pun iseng mengambil album foto yang tergeletak di kolong meja ruang tamu, lembar demi lembar aku buka. Betapa kagetnya aku ada sebuah foto hitam putih, di dalamnya masih tercetak jelas seorang wanita cantik berjilbab di tengah deretan anak-anak usia SD, seperti foto akhir tahun. Dan aku kenal wanita di dalam foto itu, ya, tak salah lagi, ia adalah Mala.
“Sudah lama, Pak Aryo?” Pak Jono sudah duduk di kursi yang berhadapan denganku.
“Ah, tidak Pak, baru saja. Oh ya, Pak, kalau boleh saya tahu ini foto siapa ya?” Aku menunjukkan foto yang sedari tadi aku pandangi.
“O…ini foto saya ketika perpisahan akhir tahun, kira-kira empat puluh tahun yang lalu, ini saya yang paling pojok bawah sendiri,” katanya sambil menunjuk seorang anak kecil berkepala botak dengan senyum meringis.
Foto SD? Ah mana mungkin? Jelas-jelas ini Mala, batinku.
“Lalu ini siapa, Pak?” tanyaku sambil menunjuk gambar wanita yang mirip dengan Mala.
“O, itu foto Bu Kum, guru favorit Bapak ketika SD. Dia seperti Pak Aryo, kalau pagi mengajar di sekolah, kalau malam mengajar anak-anak belajar mengaji di mushalla.”
“Bu Kum?” tanyaku.
“Iya, Bu Kum, Bu Kumala tepatnya, tapi sayang dia meninggal muda. Malam itu, malam bulan purnama, Bu Kum pulang sendirian selepas mengajar mengaji dan sholat isya di mushalla. Di tengah perjalanan ia dikejar oleh pemuda nakal kampung sebelah. Mereka ingin memperkosa Bu Kum, akhirnya dia lari dan terperosok di tebing licin dekat rumah Pak Aryo. Kami sangat kehilangan Bu Kum.Kami memakamkannya di balik bukit sana keesokan harinya.”
“Semenjak itu tak ada lagi guru seperti Bu Kum di kampung ini, hingga akhirnya Pak Aryo datang kemari, membawa ajaran seperti yang pernah diajarkan Bu Kum.”
Mendengar penuturan Pak Jono tentang Mala, bukan, tepatnya tentang Bu Kumala, hatiku menjadi pias dan mataku berkunang-kunang. Aku tak menyangka Bu Kum memilihku dan telah mengajariku bagaimana menjemput Purnama.
Tubuhku menggigil dan lemas, terdengar suara Pak Jono memanggil-manggil namaku, tapi aku tak dapat membuka mataku, tubuhku seperti tertimpa purnama, entahlah.

(Dimuat di Annida-Online, 08 Juni 2010)

Posting Komentar