Reformasi Setengah Hati

Selasa, Juli 20, 2010

Oleh Richa Miskiyya

Fungsi polisi adalah sebagai pelindung masyarakat dari bahaya kejahatan dan tindak kriminal. Seragam yang wajib dipakai dalam bertugas adalah senjata natural mencegah potensi kejahatan. Penjahat akan mengurungkan aksinya kalau sudah ketahuan dulu oleh orang berseragam polisi, entah sungguhan atau gadungan. Tapi, dalam praktiknya, masyarakat di akar rumput malah menganggap polisi sebagai benalu yang ditakuti. Polisi tidak disegani, namun diwedeni. Sehingga, ketika mereka berurusan dengan polisi, cara agar cepat selesai adalah dengan kompromi.
Di lalu lintas saja misalnya, seringkali kesalahan-kesalahan sepele dari pengendara dikenakan denda tak masuk akal. Padahal, jika tahu bahwa yang dikenakan sangsi adalah orang yang sudah dikenal atau punya kuasa, dilepaskanlah ia. Rakyat kecillah yang jadi bulan-bulanan polisi. Mereka wegah dan emoh berurusan dengan orang yang berseragam polisi.
Walhasil, citra polri di mata masyarakat tak segagah dan seindah yang diinginkan. Apalagi dalam konteks masalah yang lebih luas, Polri (oknum) kini acapkali tersandung masalah. Kita tentu masih ingat panasnya kriminalisasi KPK oleh Polri. Begitu pula dengan karut marut kasus Susno Duadji yang entah. Bisa dikatakan, setiap ada kasus yang menimpa aknum polisi, seperti padu dalam suara, semua anggota kesatuannya, mulai dari jenderal hingga kopral, membela mati-matian, atau diam dalam damai. Atas nama kehormatan institusi atau stabilitas.
Bak raja yang menyatakan diri tak akan berbuat dosa, Polri adalah institusi yang paling kebal terhadap kritik. Dia menganggap diri punya kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan semua anggotanya, dan orang lain. Dia penegak hukum, jadi ya juga pula yang membuat hukum. Karakter “keras kepala” itulah yang seringkali membuat polisi bertindak reaktif dan bahkan emosioal seperti peristiwa penganiayaan aktivis Kontras Tama Satya Langkun dan ancaman teror bom molotov ke kantor redaksi Majalah Tempo beberapa waktu lalu itu. Meski belum terungkap total siapa aktor dan motifnya, orang bisa meraba-raba, itu pasti ada kaitannya dengan rekening gendut yang dilaporkan Tempo.
Lebih kritis situasinya jika kita melihat kenyataan bahwa polisi, jaksa, pengacara dan hakim berkomplot dalam jama’ah melakukan pembusukan hukum (Tempo, 20/06). Kalau begini terus, siapa penegak hukum yang akan diandalkan? Tak ada kerja profesional yang memuaskan rakyat banyak dari institusi hukum itu. Polri, dalam survei Kompas mendapatkan angka 76,2 persen dalam tingkat ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat banyak (Kompas, 30/11/2009).

Menghapus militerisme
Karena ketidakpuasan yang mencapai titik kulminasi, ada gugatan besar untuk mereformasi Polri. Kapolri Bambang Hendarso Danuri sejak awal kepemimpinannya menjanjikan kebersihan Polri dari berbagai praktik penyimpangan berupa pemerasan, penganiayaan, markus, korupsi, nepotisme atau lainnya. Namun justru, dalam kepemimpinanya Polri seperti terombang-ambing oleh banyak kasus dan markus, meski dalam lain hal Polri berhasil mengurangi gerakan terorisme.
Wacana untuk mendudukkan orang nomor satu dari kalangan sipil di Polri menguat seiring perjalanan reformasi di tubuh institusi tidak berjalan baik dan cepat. Usulan ini sejalan dengan visi kepemimpinan Presiden SBY yang lebih mengedepankan unsur civilization (berkeadaban), jauh dari militerisme dan otoritarianisme seperti selama ini melekat. Beberapa pengamat menganggap usulan ini masuk akal mengingat jabatan Kapolri sebenaranya bisa disamakan dengan pejabat setingkat menteri yang bersifat politis (non karir) dan bisa berasal dari kalangan mana saja. Apalagi presiden punya hak prerogatif penuh tambal sulam pejabat tinggi yang membantu tugas-tugasnya.
Polisi dipimpin orang luar institusi semakin menemukan dalih kebenaran mengingat yang dibutuhkan oleh Polri sekarang adalah kepemimpinan dan kemampuan manajerial. Dua unsur objektif ini secara demokratis bisa diambil dari potensi luar Polri. Kalau hal ini disepakati, maka UU Kepolisian Tahun 2002 yang mensyaratkan kapolri harus berasal dari institusi Polri dan masih aktif, harus diubah. (Wawasan, 13/07).
Secara historis, wacana Kapolri dari sipil sudah muncul berulang kali. Bahkan sebelum era reformasi, ketika Soeharto masih berkuasa. Namun, karena pola kepemimpinan dalam Polri yang masih berasas komando dan kaderisasi, hal itu belum perlu dilaksanakan. Bagi pendukung pendapat ini, wacana mensipilkan kapolri memang bisa jadi mengurangi militerisme dan otoritarianisme, karena tiadanya ikatan emosional dalam sebuah kesatuan kepolisian. Tetapi hal itu tidak serta merta menjamin perbaikan dalam hal manajemen bila salah memilih.
Bagaimana dengan koteks sekarang? Saya cenderung mendukung sipilisasi kapolri. Pasalnya, Kapolri sekarang tampak kurang serius mereformasi institusinya sendiri. Mungkin terlalu berisiko bila yang menata-ulang institusi berasal dari orang dalam. Daripada setengah hati mereformasi diri, akan lebih baik direformasi oleh kalangan luar. Setelah dinyatakan berhasil dipimpin sipil, polisi boleh menduduki lagi jabatan puncak, kapolri. Itu saja.


(Dimuat di Harian Sore Wawasan, Selasa, 20 Juli 2010)

Posting Komentar