Pelajaran Berhitung

Minggu, November 22, 2015



Sudah satu minggu ini Jaka tampak tak bersemangat, ia merasa paginya tak lagi bercahaya karena si Dudung, burung Kenari kesayangannya kabur dari sangkarnya dan terbang entah kemana. Pagi hari Jaka terasa suram karena ia tak lagi mendengar kicau merdu si Dudung, emosi Jaka pun jadi tak menentu, kadang murung, namun tak jarang marah-marah, membuat Surti, istrinya menjadi serba salah.

Ada saja kesalahan Surti yang membuat Jaka naik pitam, dari perihal sarapan yang keasinan, hingga perihal sepele saat Jaka tak menemukan kacamatanya yang sebenarnya bertengger di atas kepalanya. 

Surti mencoba bersabar, mencoba selalu tersenyum meski sebenarnya juga ingin marah pada suaminya. “Sudahlah, Pak. Ikhlaskan kepergian Dudung. Kalau rejeki juga nanti akan ada gantinya,” ucap Surti. 

“Kau tahu apa soal Dudung? Dia itu burung Kenari istimewa, kicaunya beda dibandingkan burung kenari lainnya, kemarin saja ada yang menawarnya satu juta, namun tak aku jual,” sergah Jaka.

Surti hanya bisa menghela napas menghadapi suaminya, “apalah yang beda dari si Dudung itu, suaranya juga sama saja dengan burung lainnya, cit cit cuit saja,” rutuk Surti sambil berlalu ke dapur. 

Sudah sepuluh tahun Surti menikah dengan Jaka, ia sudah paham betul sifat Jaka, Jaka adalah seorang yang pekerja keras, namun Jaka juga seringkali egois dengan kehendaknya. Seperti ketika akan membeli si Dudung dari kawannya sesama sopir angkot, Jaka sama sekali tak memberi tahu Surti lebih dulu, uang dua ratus ribu yang bisa digunakan Surti mengepulkan asap dapur selama tiga minggu melayang berganti dengan seekor burung Kenari dalam sangkar, dan kini, burung Kenari itu benar-benar melayang tak kembali.  

Surti masih ingat, empat bulan lalu Jaka membawa pulang seekor burung berbulu kuning, “Bu, lihat apa yang kubawa!” Jaka berteriak dari arah depan rumah. Surti dan Amar, anak mereka yang berumur delapan tahun terkejut sekaligus penasaran. 

“Bu, Bapak pasti bawa makanan enak, ayo ke depan,” ucap Amar dengan mata berbinar. 

Surti dan Amar bergegas menyongsong Jaka, harapan mereka tentang makanan enak sirna saat dilihatnya sebuah sangkar berisi burung kenari. Surti begitu jengkel, lebih jengkel lagi ketika ia mengetahui harga buru kenari itu.

“Kukira Bapak bawa makanan enak, ternyata cuma bawa burung, tapi sepertinya burung ini enak kalau digoreng, Pak,” ucap Amar dengan nada tengil.

“Enak saja, ini burung mahal, awas ya kalau kau berani menggorengnya,” sergah Jaka yang kemudian bercuit menirukan suara burung yang kemudian ia namai Dudung.
***
Sudah satu bulan Dudung menghilang, sudah satu bulan pula Jaka sering uring-uringan, namun sore ini, Jaka pulang sambil berteriak nyaring, “Bu, lihat apa yang kubawa!”

Surti dan Amar yang sedang menonton televisi berpandangan, “Jangan-jangan Bapak sudah beli burung Kenari lagi, Bu,” ucap Amar.

Surti mengedikkan bahu tanda ia tak tahu, “Ayo kita lihat apa yang dibawa bapakmu.”

Kali ini Surti dan Amar termangu di depan pintu saat mereka melihat Jaka menimang-nimang sebuah celengan ayam jago.

“Bu, jangan-jangan Bapak …,” Amar menggantung kalimatnya.

Seperti tahu apa yang ada di pikiran anaknya, Surti segera memotong kalimat Amar, “Hush! Jangan sembarangan, mana mungkin bapakmu gila hanya karena kehilangan burung Kenari,” ucap Surti. Meski dalam hati ia pun memiliki ketakutan yang sama dengan Amar, ia takut suaminya depresi dan akhirnya lebih memilih memelihara ayam dalam bentuk celengan.

“Bapak baik-baik saja, kan? Mau kubuatkan teh atau kopi? Atau mau kuambilkan makan sekalian?” Surti bergegas mengajak suaminya masuk.

“Mau Amar pijat, Pak? Sepertinya Bapak capek,” tanya Amar yang sudah meraih kedua bahu bapaknya.

“Heh…, kalian ini kenapa, aneh sekali,” ujar Jaka bingung.

“Bapak yang aneh!” tukas Surti dan Amar hampir berbarengan.

“Apanya yang aneh?” Jaka makin bingung.

“Untuk apa bawa itu? Bapak depresi gara-gara si Dudung hilang dan sekarang ingin pelihara ayam dalam bentuk celengan agar tidak kabur?” Surti menunjuk celengan ayam yang ada di tangan Jaka.

Mendengar apa yang baru diucapkan istrinya, Jaka tergelak dan tertawa terbahak.

“Kalian kira aku sudah gila?” tanya Jaka yang masih belum bisa menghentikan tawanya.

 “Lalu?” Surti penasaran.

“Nanti aku jelaskan. Amar, kamu punya kertas, spidol dan selotip?”

“Punya, Pak!”

“Coba bawa kesini.”

Tak berapa lama, Amar sudah kembali dengan barang-barang yang diminta bapaknya.

Jaka menyobek kertas, menuliskan sesuatu di atasnya, kemudian menempelkannya di badan celengan ayam.

“Untuk Jenggo.” Surti dan Amar mengeja tulisan bapaknya.

“Jenggo siapa, Pak? Teman di pangkalan angkot yang butuh sumbangan?” tanya Surti masih bingung, ia berpikir celengan ayam itu untuk meminta sumbangan.

Jaka menggeleng, “Aku akan menyimpan uang di celengan ini, jika sudah banyak akan kubelikan burung Kenari lagi. Aku akan membeli burung Kenari terbaik dan mahal yang nantinya akan kuberi nama Jenggo.”
Surti dan Amar mengangguk-angguk, mulai paham dengan jalan pikiran sang kepala keluarga.
***

Jaka begitu rajin menyimpan uangnya di dalam celengan ayam, setiap ia memiliki uang lebih, ia selalu memasukkannya ke celengan ayam.

Awalnya Surti tak masalah dengan kebiasaan baru suaminya, ia justru senang karena suaminya mulai belajar menabung untuk membeli burung Kenari idamannya. Namun, akhir-akhir ini Surti mulai kelimpungan karena harga sembako yang mulai naik, tapi uang belanja tak juga naik.

Tak hanya uang belanja yang makin seret, uang untuk beli sepatu baru untuk Amar yang sudah rusak pun tak kunjung ada karena semua uang lebih harus masuk ke perut celengan ayam.

“Pak, lebih baik urungkan saja beli burung Kenarinya. Kasihan Amar, dia butuh sepatu baru,” ujar Surti ketika duduk berdua dengan Jaka.

“Sabarlah dulu, Bu. Sepatu Amar masih bisa direparasi di Wak Kosim, kan?” jawab Jaka seraya mengusap-usap celengan ayamnya.

“Sudah lima kali sepatu Amar jebol, sudah lima kali pula sepatunya direparasi. Kasihan Amar, Pak. Lagipula Amar sudah mulai besar, sepatunya sudah mulai tak muat,” jelas Surti.

Jaka terdiam memikirkan ucapan Surti, tapi tekadnya sudah bulat untuk membeli burung Kenari idamannya.

“Kalau aku membelikan sepatu untuk Amar sekarang, kapan aku bisa membeli burung Kenari? Aku janji, setelah aku bisa membeli burung Kenari baru, aku akan membelikan sepatu baru untuk Amar,” janji Jaka.
  
“Dulu saat di sekolah, kita selalu diajarkan pelajaran berhitung, tapi apakah untuk anak sendiri juga harus berhitung untung ruginya? Sebagai kepala keluarga kau harus bisa membuat keputusan cerdas sesuai prioritas, Pak,” tukas Surti dengan nada sedikit tinggi.

Surti menghela nafas, mencoba menahan emosinya. Tak ingin bertengkar, Surti pun beringsut pergi ke kamar, meninggalkan suaminya yang masih mengelus-elus celengan ayam dengan segenap perasaan.
***
“Bu, kapan kita ke toko sepatu? Kakiku sakit, sepatuku sudah sempit,” rengek Amar sepulang sekolah.
Pedih rasanya hati Surti mendengar permintaan Amar yang belum bisa ia tunaikan. “Sabar dulu ya, Mar. Tunggu bapakmu berhasil beli burung kenari dulu,” ucap Surti seraya mengusap lembut rambut Amar.

“Tapi kapan, Bu?” Mata Amar mulai berkaca-kaca.

“Entahlah, semoga secepatnya, ya,” ujar Surti membesarkan harapan Amar.

Tapi sepertinya usaha Surti untuk menyabarkan Amar tak begitu berhasil. Tanpa berganti seragam dan makan siang, Amar segera keluar rumah dengan wajah cemberut, dan itu menyisakan duka di hati Surti karena ia belum bisa membuat anak semata wayangnya bahagia.

Sepeninggal Amar yang keluar rumah dengan memendam gundah, Surti meraih dompetnya yang tersimpan di laci meja dekat ruang tamu. Dompet yang tipis, bahkan terlalu tipis, ketika dibuka hanya ada satu lembar uang lima puluh ribu dan beberapa lembar uang seribuan yang membuat hatinya tersayat, pedang yang dibawa pattimura seolah menyisakan luka di hatinya.

“Uang belanja untuk beberapa hari ke depan, tak mungkin cukup untuk membeli sepatu Amar,” desah Surti.
Surti melirik celengan ayam jago yang berdiri gagah di atas meja dekat tempatnya berdiri, “Isi celengan itu pasti sudah cukup banyak, andai aku memecahkannya, aku bisa menggunakannya untuk membeli sepatu Amar,” pikir Surti.

Surti mendekati celengan ayam jago kesayangan suaminya, belum sempat Surti meraihnya, tiba-tiba ia mendengar suara keributan dari luar rumahnya.

“Sur … Surti!!!” Mendengar ada yang memanggil namanya, Surti tergopoh-gopoh segera keluar rumah.

“Ada apa, Bu Darmi?” tanya Surti panik.

“Anakmu, Sur. Anakmu….”

“Amar kenapa, Bu, kenapa?” Surti semakin panik, rasa keibuannya merasakan bahwa sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Amar.

“Amar kecelakaan, tabrak lari. Sekarang dibawa ke rumah sakit!”

“Astaghfirullah, Amar!!” Surti berteriak histeris, tangisnya pecah.
***
Surti tersedu di samping Amar yang masih belum siuman. Tak dihiraukannya Jaka yang baru datang dan menggenggam bahu Surti. Jaka mencoba untuk menenangkan, meskipun ia tahu sebenarnya sia-sia, Surti masih saja terus menangis, dan Amar masih juga belum sadar.

Jaka memutar tubuhnya, ia hendak keluar dari ruang rawat, ia tak kuat melihat Amar tak sadarkan diri, ia pun tak kuat melihat kepiluan hati Surti.

Belum sempat langkah kakinya sampai di luar ruangan, Jaka mendengar Surti memanggilnya. “Pak, Amar sudah sadar, Amar sudah sadar!” teriak Surti penuh bahagia membuat hati Jaka menjadi lega.

Keadaan Amar sudah mulai membaik, ada kelegaan di hati Surti dan Jaka, namun satu masalah kembali membayangi, darimana mereka akan dapat uang untuk membayar tagihan rumah sakit.

“Pak, relakan saja uang di celengan ayam jago itu, kita tak punya uang untuk membayar tagihan rumah sakit,” ucap Surti dengan nada lirih saat mereka berdua duduk bersama di lantai selasar rumah sakit.
Jaka terdiam, di kepalanya terdengar suara cicit burung Kenari impiannya, hatinya begitu bimbang.

“Jangan menyentuh uang dalam celengan itu, untuk biaya rumah sakit, nanti biar aku cari pinjaman ke Pak Trisna,” ucap Jaka menyebut nama juragan angkot tempatnya bekerja.

Surti menghela nafas, ia tak menyangka, di saat seperti ini suaminya masih mementingkan burung Kenari impiannya. Apa memang tak ada cinta di hati suaminya untuk keluarganya? Pertanyaan itu terus menerus mengganggu hatinya.

Jaka menyadari kegelisahan hati istrinya, namun ia memilih diam saja. Jaka pun berdiri dan hendak melangkah pergi sebelum Surti meraih tangan kanannya.

“Mau kemana, Pak?”

“Aku mau ke tempat Pak Trisna, pinjam uang untuk biaya rumah sakit,” ucap Jaka singkat.   
***
 Setelah lima hari dirawat, akhirnya Amar bisa pulang dari rumah sakit. Perlahan, Surti dan Jaka memapah Amar masuk ke dalam rumah.

Ketika melewati ruang tamu, Surti merasa ada yang berbeda, ia pun kemudian tersadar jika celengan ayam jago yang biasanya ada di meja sudut ruang tamu, kini tak ada di tempatnya.

“Pak, dimana celengan ayam jagonya?” Mendengar pertanyaan ibunya membuat Amar ikut menatap penuh tanya ke arah bapaknya.

“Sudah kupecahkan.”

“Bukannya biaya rumah sakit pinjam dari Pak Trisna?” tanya Surti.

“Iya, celengan ayam jago itu kupecahkan dan sudah kubelikan sesuatu,” jawab Jaka.

“Jenggo?” tanya Surti dan Amar hampir bersamaan.

Jaka menggeleng, ia segera berjalan ke kamarnya dan saat kembali, ia membawa sebuah kotak dan menyerahkannya pada Amar.

“Sepatu baru, Pak?” Mata Amar berbinar dan segera memeluk bapaknya.

Amar segera beringsut ke kamarnya, ia lupa bahwa ia baru saja sembuh dari sakit, ia terlalu bahagia dan tak sabar ingin segera mencoba sepatu barunya.

“Kukira kau tak akan memecahkan celengan itu, Pak,” tukas Surti.

Jaka tersenyum, “Beberapa hari ini aku sudah banyak belajar.”  

“Belajar apa?”

“Pelajaran berhitung.” Surti mengernyitkan dahinya mendengar jawaban suaminya.

“Iya, beberapa hari ini aku sudah belajar pelajaran berhitung. Kau tahu tidak, uang dalam celengan ayam itu bisa kuhitung, namun nikmat Tuhan yang diberikan padaku lewat cinta kasih keluarga kita ternyata tak pernah bisa kuhitung. Berapapun uang yang kumiliki, entah itu banyak atau sedikit, akan lebih berarti jika kugunakan untuk membahagiakan orang-orang yang kucintai,” jelas Jaka seraya tersenyum, sebuah senyuman terindah yang pernah dilihat Surti di sepanjang hidupnya. (*) - Richa Miskiyya

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com


                            
           
             
           
   


Posting Komentar