Selaksa Kebahagiaan dari Tanah Banua untuk Indonesia

Minggu, Desember 27, 2015


My Passport To Happiness


Setiap perjalanan selalu memiliki kisahnya sendiri, serupa sebuah kain yang memiliki corak dan keunikannya masing-masing. 


Ketika kita melakukan sebuah perjalanan, kita tak pernah tahu apa yang akan kita alami nantinya, kita hanya bisa meraba dan menerka tanpa tahu kisah pasti yang akan terjadi dalam jejak langkah selanjutnya. Sebuah perjalanan bisa menjadi sebuah titik balik kehidupan, membuat kita mengubah sudut pandang, bahkan sebuah perjalanan juga bisa memberikan kita harta kekayaan bernama persaudaraan. 

Awalnya, saya adalah tipe orang yang tak acuh, menganggap biasa arti sebuah hasil budaya dan hal-hal yang berbau tradisional. Dulu, bagi saya hal-hal tradisional adalah kuno dan hanya cocok untuk orang-orang tua saja. Saat itu pun saya menganggap jika kain tradisional tak ubahnya kain biasa, sama dengan kain buatan pabrik yang banyak dijual di pasaran. Namun, sebuah perjalanan di tahun 2014 telah membuka mata saya dan menyadarkan saya akan pentingnya sebuah rasa bahagia dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

April 2014, saya memenangkan sebuah lomba menulis dengan hadiah jalan-jalan ke Pulau Borneo, tepatnya di Kota Banjarbaru-Kalimantan Selatan. Ini adalah perjalanan pertama saya keluar dari Pulau Jawa, dan bagi saya, perjalanan ini merupakan sebuah impian yang menjadi kenyataan.

Ya, saya adalah seorang gadis desa yang memiliki impian menjelajah Indonesia dan dunia dengan menulis. Saya adalah tipe orang yang percaya ketika kita memiliki impian baik dan meyakini impian itu kelak akan menjadi kenyataan, maka alam semesta akan mengamini hingga kemudian dikabulkan oleh Tuhan. 

Selama bertahun-tahun saya genggam impian itu, dan di tahun 2014 itulah Tuhan mulai menunjukkan jika impian saya untuk menjelajah Indonesia dengan tulisan dikabulkan.

Saya berada di Banjarbaru selama 3 hari 2 malam, dan selama di sana, saya merasa beruntung karena selalu didampingi oleh Nanang dan Galuh (Sebutan untuk Duta Wisata Kota Banjarbaru). Acara jalan-jalan mengelilingi kota Banjarbaru pun menjadi istimewa, karena saya mendapat banyak pengetahuan tentang kebudayaan Kalimantan Selatan langsung dari para ahlinya. 

Hari pertama, saya diajak keliling Kota Banjarbaru oleh Nanang dan Galuh, selain mendapatkan pengetahuan tentang hasil tambang intan, saya juga mendapatkan pengetahuan tentang kebudayaan. Setiap Nanang dan Galuh ini bercerita tentang budaya yang mereka miliki, saya selalu melihat ada binar kebanggaan dan kebahagiaan di mata mereka, sebuah binar yang perlahan membuat saya kagum sekaligus malu karena selama ini saya tak terlalu mengenal, bahkan tak tahu tentang kebudayaan di daerah saya sendiri, Grobogan.
Bersama Nanang & Galuh
(Duta Pariwisata Kota Banjarbaru)

Salah satu kekayaan tradisi yang Nanang dan Galuh ceritakan adalah tentang Kain Sasirangan, sebuah kain yang menjadi identitas sekaligus kebanggaan warga Kalimantan Selatan. 

Sasirangan sendiri memiliki corak yang berbeda di setiap kainnya, meskipun ada yang hampir serupa, namun tidak ada yang sama persis, dikarenakan pembuatannya dan pewarnaannya dikerjakan satu per satu dengan tangan, dengan cara sirang atau diikat jelujur, oleh karena itu kain ini dinamakan Kain Sasirangan.     

Kain Sasirangan Khas Banjarbaru


Hari pertama ini, saya tak hanya diajak untuk berkenalan dengan budaya Kalimantan Selatan lewat Kain Sasirangan, akan tetapi saya juga diajak untuk mengetahui lebih dalam tentang kekayaan alam Indonesia, yaitu tempat pendulangan intan tradisional yang terdapat di Desa Pumpung Kecamatan Cempaka, satu-satunya tempat pendulangan intan tradisional di dunia.


Saat saya masuk kawasan pendulangan berupa tanah lapang yang sangat luas dengan banyak cerukan lebar bekas pendulangan di berbagai tempat. Tanah berwarna coklat kekuningan dengan tanaman ilalang di sekitarnya itu terasa tandus meskipun langit sedang mendung. Kami pun menemui beberapa pendulang intan yang sedang beristirahat di gubug sekitar tempat mendulang.

Salah satu pendulang tersebut pun mengajak kami ke sebuah cerukan yang di dalamnya sedang di lakukan pendulangan. Sebelum sampai ke cerukan tersebut, kami harus melewati beberapa cerukan yang sudah tak lagi digunakan. Di bagian lain terdapat bambu-bambu melintang bernama Kasbuk serta mesin genset yang menyedot air untuk membuat lubang baru.

Tak berapa lama, kami pun sampai di sebuah cerukan dimana seorang pendulang sedang melinggang. Melinggang adalah aktivitas mencari intan menggunakan linggangan, sebuah alat berbentuk caping terbalik yang terbuat dari kayu ulin atau kayu jingga.

Pelinggang tersebut menenggelamkan tubuhnya hingga sebatas leher, mengambil pasir dan lumpur yang berada di dasar cerukan kemudian ia menggoyangkan linggangan untuk menemukan butiran-butiran intan.

Penasaran, saya pun mencoba untuk melinggang dari tepian cerukan, dan ternyata linggangan yang bentuknya begitu halus dan rapi karena memang dibuat khusus untuk melinggang itu lumayan berat. Karena melinggang ternyata tak semudah yang kami bayangkan, akhirnya kami lebih memilih untuk menunggu di tepian cerukan. 

Melinggang Intan
Menunggu sebuah intan ditemukan tidaklah sebentar, menurut pendulang yang mengantar kami, mendulang intan saat ini tak lagi seperti dulu. Jika dulu setiap hari bisa ditemukan intan 10 gram, akan tetapi saat ini harus sabar melinggang berminggu atau berbulan-bulan lebih dulu untuk mendapatkannya.

Dari pendulangan intan itu saya pun belajar, menemukan kebahagiaan itu butuh waktu yang tidaklah sebentar, segalanya butuh proses, ada perjuangan yang harus kita lakukan, hingga nantinya kita benar-benar menemukan yang kita cari.

Malam harinya, saya bertemu dengan Randu Alamsyah, seorang penulis novel yang menggagas sebuah kompetisi menulis yang kemudian saya menangkan hingga akhirnya saya bisa datang ke Kota Banjarbaru ini.

Meski baru pertama kali bertemu, namun saya dan Mas Randu Alamsyah sudah seperti kawan lama yang telah bertahun-tahun tak berjumpa, di tengah percakapan kami selalu tercipta tawa dan canda yang membuat kami layaknya saudara.

Mas Randu kemudian mengajak saya untuk datang ke Perpusatakaan Daerah dan Minggu Raya, tempat dimana para penulis dan seniman berkumpul. Saya dikenalkan dengan banyak penulis dan seniman Kota Banjarbaru yang menyambut saya dengan senyuman dan tatapan penuh keakraban, membuat saya seperti berada di kampung halaman.

Kisah saya di Tanah Banua ini pun berlanjut ketika di hari kedua saya diundang oleh Dinas Pariwisata Banjarbaru untuk hadir ke malam puncak HUT Kota Banjarbaru Ke-15. Bahkan saya tak hanya hadir, namun saya pun didapuk untuk menjadi salah satu pengisi acaranya, saya diminta untuk membacakan hasil karya lomba yang saya menangkan hingga membuat saya bisa datang ke Kota Banjarbaru. 

Sore sebelum acara, asisten Kepala Dinas Pariwisata datang ke hotel tempat saya menginap untuk mengantarkan baju yang akan saya kenakan di malam puncak acara. Saya terkejut sekaligus bahagia ketika melihat baju yang akan saya kenakan, sebuah kebaya putih dan kain sasirangan berwarna kuning. Ada sebuah keharuan yang meledak di dada saya, betapa saya merasa sangat tersanjung, dengan mengenakan kain Sasirangan, saya yang notabene-nya adalah seseorang dari pulau seberang, merasa dirangkul dan merasa menjadi bagian dalam keluarga besar masyarakat Banjarbaru.

Malam puncak HUT Kota Banjarbaru Ke-15, saya berdiri di panggung utama bersama dengan Mas Randu untuk membacakan sebuah naskah pendek yang saya tulis untuk Kota Banjarbaru. Saya berdiri berhadapan dengan para petinggi Kota Banjarbaru dan puluhan ribu warga Kota Banjarbaru yang turut menyaksikan gelaran pesta rakyat tersebut. 

Bersama Randu Alamsyah Di Panggung Utama HUT Kota Banjarbaru Ke-15

Malam itu, ketika saya berdiri di hadapan puluhan ribu warga Kota Banjarbaru dengan mengenakan kain Sasirangan, menjadi salah satu malam yang tak akan saya lupakan, malam dimana pertama kalinya saya merasa begitu bangga dengan kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia.  

Ada satu hal yang saya sadari ketika kain Sasirangan itu saya kenakan bahwa tak hanya warga Banjarbaru saja yang wajib melestarikan Sasirangan, namun juga seluruh rakyat Indonesia termasuk saya. 

Rasa debar kebanggaan di hati saya semakin berdetak kencang ketika keesokan harinya saya melihat pawai Kain Sasirangan di depan Balaikota Banjarbaru. Laki-laki, perempuan, tua, muda dengan senyum penuh kebanggaan berjalan melenggang dengan mengenakan aneka rupa modifikasi kain Sasirangan. Mereka sudah berbuat sesuatu untuk menjaga tradisi Indonesia, lalu apa yang sudah saya lakukan untuk menjaga tradisi Indonesia? Saya merasa tertampar dengan pertanyaan yang berulang kali dibisikkan hati saya itu.  

Peserta Festival Sasirangan

Di Tanah Banua ini, Tuhan tak hanya mengabulkan impian saya untuk menjelajah Indonesia, namun juga mempertemukan saya dengan keluarga-keluarga baru, para penulis, seniman, duta pariwisata, dan masyarakat Kota Banjarbaru yang telah menunjukkan pada saya arti sebuah kebahagiaan dan kebanggaan pada negeri tercinta. 

Bersama Kak Hari dan Gendis (Keluarga Seniman Kota Banjarbaru)

Bersama seniman Kota Banjarbaru


Bersama Wakil Walikota dan Kepala Dinas Pariwisata
Kota Banjarbaru

Perjalanan ke Banjarbaru tahun lalu benar-benar menjadi titik balik cara pandang saya pada budaya bangsa Indonesia, budaya yang awalnya saya pandang sebelah mata justru telah berhasil membuat saya jatuh cinta. Saya pun tersadar jika kita seharusnya berbangga dengan segala tradisi milik bangsa Indonesia, karena jika bukan kita, lalu siapa lagi yang akan melestarikannya?
Sepulangnya dari Banjarbaru, tak hanya pengalaman yang saya bawa pulang, namun saya juga membawa pulang harta karun yang saya temukan di sana, yaitu selaksa kebahagiaan dan kebanggaan karena telah lahir di bumi Indonesia. (Richa Miskiyya)

Posting Komentar