Catatan Perjalanan - Borneo, I'm In Love (Part 1)

Jumat, Mei 09, 2014



Hai, para pembaca yang budiman, hehehe. Jika sebelumnya isi blog ini adalah cerpen atau review novel. Kali ini aku mau cerita tentang catatan perjalananku ke Borneo aka Banua aka Kalimantan. Sebenarnya ini perjalananku bulan lalu, sih. Tapi karena kesibukan kuliah dan setumpuk tugas baru sempet ditulis sekarang :D

Sebelum aku cerita soal perjalananku di Borneo, tepatnya di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Aku mau cerita dikit gimana aku bisa sampai ke sana, yaaa ^_^. Cekidot.

Sebagai anak masa kini, tahu dong kalau sosmed udah jadi salah satu kebutuhan hidup masa kini selain pulsa dan bensin. Tiap hari, baru buka mata eh langsung buka sosmed, iya, kan? Hayoo, ngakuuu. Nah, ceritanya, suatu hari ada pengumuman lomba nulis surat di twitternya Penerbit Moka. Lomba nulis surat ini tentang Novel Galuh Hati karya Mas Randu Alamsyah bertajuk ‘Surat untuk Abul’. Udah lama ngincer novel ini sejak diworo-woroin di time line Moka Media, tapi lagi-lagi belum sempat beli gara-gara duitnya udah habis duluan buat jajan (heheh). Nah, gara-gara ada Lomba Surat untuk Abul ini, hasrat beli buku ini semakin menjadi.

Singkat cerita, aku pun beli novel Galuh Hati yang bercerita tentang kehidupan para penambang intan di Cempaka, Banjarbaru. Isi novelnya keren lho, makanya aku bisa baca selama 4 jam langsung. Penasaran? Bisa beli kok di toko buku seluruh Indonesia :D

 
Cover Novel Galuh Hati

Dua hari setelah kirim tuh surat, aku dapat telpon dari Mas Harie, adminnya On Off Solutindo sebagai penyelenggara lomba yang bilang kalau aku jadi pemenang Lomba Surat untuk Abul yang hadiahnya jalan-jalan ke penambangan intan di Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tiga hari setelah dapat telpon itu, aku capcus deh ke Borneo ^_^

Aku di Borneo selama 3 hari 2 malam, tepatnya di Kota Banjarbaru yang membuatku jatuh cinta dengan segala keunikan kotanya, budayanya, serta keramahtamahan masyarakatnya. Untuk lebih jelasnya ini ceritaku selama di sana ^_^

Day 1 (18 April 2014)
Aku terbang dari Bandara Ahmad Yani – Semarang pukul 15.00 WIB, tiba pukul 17.30 WITA di Bandara Syamsudin Noor – Banjarbaru, KalSel. Sampai di bandara, aku udah ditungguin sama kakak cantik yang ternyata Duta Wisata Kota Banjarbaru. 

Sebelum ke hotel, aku diajak sama si kakak cantik bernama Syidah ini makan makanan khas Banjarbaru, nama makanannya ‘Pais Patin’ atau kalau di Jawa mirip-mirip pepes ikan patin gitu deh. Maaf, ya, gak ada fotonya, awalnya sih mau foto tuh Pais Patin, tapi takut dikira alay sama si kakak cantik. Hohoho.

Malamnya aku harus ke Balaikota buat Gladi Resik acara malam HUT Kota Banjarbaru ke -15. Masih baru, kan? Karena kota ini memang wilayah pemekaran sejak tahun 1999.

Sampai di depan balaikota aku ketemu sama Yosef, ketua Pawadahan Nanang-Galuh Kota Banjarbaru. FYI dikit ya, Pawadahan Nanang Galuh ini adalah semacam perkumpulan anggota duta wisata Kota Banjarbaru. Nanang-Galuh itu sebutan semacam Abang-None di Jakarta atau Kenang-Dhenok di Semarang.

Karena acara Gladi Resik belum dimulai, Yosef bawa aku muterin Lapangan Murjani (pusat kota) kemudian ke Minggu Raya (tempat berkumpulnya para seniman Banjarbaru), lalu ke Taman Van Der Pijl. Lumayan jauh sih sebenarnya, tapi karena kakiku udah terlatih buat jalan jauh, ya oke-oke sajalah ^_^.

Sebelum Gladi Resik dimulai, aku bertemu dengan Ibu Lesa (Kepala Dinas Pariwisata sekaligus Ketua Panitia HUT Kota Banjarbaru Ke-15) dan gak ketinggalan, ketemu Abul, eh maksudnya Mas Randu Alamsyah penulis novel Galuh Hati yang kece badai, hohoho  :D.

Ngapain aku ikut GR HUT Kota Banjarbaru Ke-15? Karena aku dan Mas Randu Alamsyah akan berdampingan membacakan pengantar Novel Galuh Hati dan Surat untuk Abul yang aku tulis pada acara puncak HUT Kota Banjarbaru bertajuk One Night for Cempaka. Sebelum balik ke hotel, nggak ketinggalan minta tanda tangan dulu sama penulisnya Novel Galuh Hati. 'Jadilah Galuh Hati untuk Cempaka', tulis Mas Randu di atas tanda tangannya. So Sweet ^_^

Me and Mas Randu Alamsyah

 
Day 2 (19 April 2014)

Go To Cempaka
Aku janjian sama Yosef dan Risman yang mau nganterin aku ke penambangan intan, tepatnya di Desa Pumpung, Cempaka, Banjarbaru. Selain Yosef dan Risman, aku ditemenin juga sama Fika yang juga Galuh Banjarbaru.

Bisa dibayangin dong gimana rasanya dikelilingi orang-orang yang paham banget soal pariwisata kotanya, berasa nonton film dokumenter, hehehe. Apa sih yang dijelasin Fika, Yosef, dan Risman selama perjalanan menuju Cempaka? Berikut ini ringkasannya :)

Kalau dengar kata Kota Intan, pastinya yang ada di pikiran kita adalah Martapura? Iya, kan? Padahal sebenarnya, Martapura ini cuma tempat penyepuhan serta tempat jual beli intan aja, dan tempat pertambangan intan aslinya itu di Cempaka. Cantik kan nama desanya? Kayak nama bunga yang sering dipakai riasan pengantin ^_^. Di Cempaka, intan disebut juga dengan Galuh, sama ketika menyebut wanita. Intan dan Wanita, emang sama-sama cantik, kan? ^_^

Cempaka itu letaknya dalam wilayah kota Banjarbaru. Kota ini sebenernya udah ada sejak puluhan tahun yang lalu yang mana tata kotanya dirancang sama Van Der Pijl yang kemudian namanya diabadikan menjadi nama taman kota, soalnya Van der Pijl ini emang konsen banget dengan adanya ruang terbuka hijau.

Banjarbaru ini bisa dibilang unik lho, karena letaknya di gunung tempat para penambang intan di Cempaka beristirahat. Makanya, saking banyaknya para penambang itulah, akhirnya banyak pemukiman di daerah Banjarbaru.

Puncak dari Gunung Apam ini masih bisa lho dilihat sampai sekarang, bisa dikatakan ini adalah tempat tertinggi di kota Banjarbaru yang saat ini menjadi tanjakan tertinggi dari Banjarbaru menuju Martapura, tepatnya di Depan Bank BRI Banjarbaru.

Nama Banjarbaru ini sebenarnya adalah nama yang tidak disengaja, dulu gubernur pertama Banjarbaru ditanya apa nama wilayah yang didiaminya, karena bingung disebutlah Banjarbaru (Kota Banjar yang baru) yang ternyata bertahan hingga sekarang.

Balik lagi ngomongin Cempaka. Cempaka ini adalah sebuah wilayah kecamatan yang didalamnya terdiri dari beberapa desa, salah satunya adalah Desa Pumpung. Asal tahu aja, hampir seluruh penduduk desa ini mata pencahariannya adalah sebagai pendulang intan dan tempat ini juga menjadi satu-satunya tempat pendulangan intan di dunia yang masih menggunakan cara tradisional. 

Berbeda dengan Banjarbaru yang penduduknya bukan asli Kalimantan Selatan, dan bahkan banyak yang berasal dari luar Pulau Kalimantan. Di Desa Pumpung ini penduduknya masih asli bukan pendatang dan mereka bekerja menjadi pendulang intan secara turun-temurun sejak masa Hindia-Belanda.

Jarak Desa Pumpung sendiri adalah 7 km arah tenggara dari Kota Banjarbaru. Saat masuk jalan kampung, di sebelah kiri jalan ada monumen yang di bagian puncaknya ada hiasan intan buatan yang besarnya serupa kepala kerbau.

Hiasan intan yang ada di puncak tugu itu sebagai tanda kebanggaan atas penemuan intan besar seberat 166,75 di tahun 1965 yang kemudian Presiden Soekarno memberi nama Intan Trisakti. Tapi, situasi perekonomian yang waktu itu karut marut, harga Intan Trisakti yang seharusnya 10 Trilyun rupiah, berubah jadi 3,5 juta rupiah. Dan yang lebih tragis lagi, keberadaan Intan Trisakti yang menjadi kebanggaan warga Desa Pumpung udah gak tahu lagi dimana rimbanya. 
 
Mungkin karena itu juga monumen Intan Trisakti ini udah nggak lagi terurus, catnya udah pudar dan disekelilingnya juga banyak ditumbuhi semak belukar.

Sebelum sampai ke tempat pendulangan, kami melewati para pendulang yang sedang asyik mawarung (makan di warung), menikmati wadai 41, kue khas banjar yang terdiri dari 41 macam. 

Tak lama, kami akhirnya masuk ke kawasan pendulangan. Sepanjang mata memandang adalah tanah kuning seluas 4 hektar yang memiliki banyak cerukan lebar bekas pendulangan intan. 

Salah satu pendulang mengajak kami ke sebuah cerukan yang di dalamnya sedang di lakukan pendulangan. Sebelum sampai ke cerukan tersebut, kami harus melewati beberapa cerukan yang sudah tak lagi digunakan. Di bagian lain terdapat bambu-bambu melintang bernama Kasbuk serta mesin genset yang menyedot air untuk membuat lubang baru. 

Kasbuk di Pendulangan Intan

Dari beberapa cerukan yang aku lewati, cerukan-cerukan tempat mendulang intan punya kedalaman yang bervariasi, dari satu meter hingga belasan meter. Cerukan-cerukan itu terlihat sepi, gak banyak yang mendulang karena cuaca emang lagi panas banget di siang hari. Katanya tempat pendulangan ini akan ramai saat sore hari. 

Pendulangan biasanya dilakukan secara berkelompok sehingga hasil dari pendulangan akan dibagi sejumlah orang yang berada dalam kelompok tersebut. Nggak lama, kami udah sampai di sebuah cerukan dimana seorang pendulang sedang melinggang. Melinggang adalah aktivitas mencari intan menggunakan linggangan, sebuah alat berbentuk caping terbalik yang terbuat dari kayu ulin atau kayu jingga. 

Pelinggang itu menenggelamkan tubuhnya sampai sebatas leher, mengambil pasir dan lumpur yang berada di dasar cerukan kemudian ia menggoyangkan linggangan untuk menemukan butiran-butiran intan. 

Aktivitas Melinggang Galuh

Penasaran, aku pun mencoba melinggang dari tepian cerukan, dan ternyata oh ternyata linggangan yang bentuknya sangat halus dan rapi karena memang dibuat khusus untuk melinggang lumayan berat, sodara-sodara. Jadinya aku cuma nunggu si bapak pendulang intan, siapa tahu dapat intan hehe.

Icha Melinggang ^_^

Tapi ternyata nungguin intan itu sampai ketemu nggak sebentar. Kata Bapak Pendulangnya, mendulang zaman sekarang  udah nggak kayak dulu lagi. Kalau dulu bisa dapat intan 10 gram tiap hari, tapi sekarang harus sabar melinggang berminggu atau berbulan-bulan lebih dulu untuk mendapatkannya.

Para pelinggang juga harus jeli buat nemuin intan dan harus bisa bedain mana intan, batu akik, atau batu biasa karena di tempat pendulangan intan ini emang nggak hanya ada intan aja, tapi juga banyak batuan mulia yang lainnya kayak delima, safir, dan kecubung.    Pendulang yang tadi mengantar kami nunjukin aneka batuan mulia serta intan dari dalam tas pinggangnya. Batu-batu mulia itu disimpan dalam lipatan kertas rokok, mataku langsung bling-bling rasanya lihat intan dan batu mulia yang warna-warni itu. 

Intan dan Batuan Mulia

Mendulang intan juga nggak boleh dilakukan sembarangan, ada aturan yang harus dipatuhi, seperti nggak boleh meludah dan ketika melinggang juga harus menyebut intan dengan sebutan ‘Galuh’. Sebelum mendulang juga ada ritual khusus yang dilakukan untuk menemukan tempat yang tepat untuk melakukan pendulangan, jadi nggak boleh sembarangan. 

Penasaran dengan cerita selanjutnya? Apa aja sih yang aku lakuin di Banjarbaru? Tunggu di Borneo, I’m In Love – Part 2, ya ^_^

1 komentar