Suara Malam

Minggu, September 25, 2011

Oleh Richa Miskiyya

Suara itu selalu terdengar setiap malam, seperti erangan orang yang hampir tercekik. Ketika pertama kali tinggal di rumah ini aku merasa terganggu dengan suara itu, bahkan pernah hampir semalaman aku tak dapat tidur karenanya. Suara itu bukan suara tikus, bukan suara kucing, bukan pula suara hantu. Suara itu adalah suara manusia, manusia biasa, bukan manusia jadi-jadian, bukan pula manusia yang sedang dirasuki jin atau semacamnya. Santi, begitulah ia dipanggil. Dia tetanggaku di tempatku yang baru.

“Itu siapa, bu?” tanyaku pada Ibu saat pertama kali pindah di rumah ini.

“O...itu suara Mbak Santi” jawab Ibuku yang memang sudah kenal Mbak Santi karena aku dan Ibuku memang pindah ke desa dimana Ibuku dilahirkan.

Mbak Santi umurnya sekitar dua tahun di bawah Ibu yang sekarang sudah berumur hampir empat puluh tahun, namun tingkahnya masih serupa anak-anak. Awalnya ia seorang anak yang normal. Namun, saat usia 10 tahun, ia terpeleset di kamar mandi. Kepalanya terbentur lantai, tak ada orang yang tahu hingga beberapa jam kemudian ia baru ditemukan kakaknya. Kata dokter peredaran darah ke otaknya tak lancar hingga kemudian sarafnya pun sedikit terganggu.

Mbak Santi seringkali menceracau tak jelas saat malam. Kata Budhe Mayang yang tak lain adalah kakak kandung sekaligus yang merawat Mbak Santi, ia sedang berbicara dengan “teman” nya.

* * *
Malam yang sepi, hingga suara Mbak Santi pun terbawa angin hingga kamarku. Lamunanku terbawa ke mana-mana. Membayangkan apa yang sedang diobrolkan Mbak Santi bersama “teman”nya itu.

Mungkinkah Mbak Santi mengobrolkan film-film yang ada di televisi, aku membayangkan Mbak Santi ngobrol tentang Band-band baru, tentang lagu-lagu baru, juga tentang berita-berita korupsi atau gosip artis yang ada di televisi.

Jangan-jangan sekarang Mbak Santi juga sedang menyanyi lagu Band terbaru seperti teman-temanku. Aku pun jadi tertawa sendiri membayangkan hal itu.

“Kamu kok tertawa sendiri, Din?” terdengar suara Ibu yang ternyata sudah berdiri di pintu kamarku.

Ibu mendekatiku, dan aku pun tidur bermanja belaian Ibu di pangkuannya. Hanya Ibu milikku satu-satunya, karena Ayah dan adikku meninggal dalam kecelakaan motor ketika mengantar Dek Wildan berangkat sekolah.

“Enggak apa-apa Bu, sedang membayangkan sesuatu.”
“Membayangkan apa, Din?” tanya Ibu seraya membelai rambutku.
“Mbak Santi itu baik ya, Bu. Makanya orang-orang di kampung ini baik sama Mbak Santi, meskipun Mbak Santi itu berbeda tapi orang-orang nggak ada yang jahat sama MbakSanti,” ucapku tentang Mbak Santi.

“Ya itu memang harus Din, meskipun Mbak Santi itu berbeda, bisa jadi dia lebih mulia dan lebih disayang Allah, makanya kita sebagai orang yang beragama jangan pernah membedakan orang hanya dari fisiknya saja,” kata Ibu.

“Apa itu juga yang membuat Ibu memilih tinggal di kampung ini setelah Ayah dan Wildan tidak ada?”

“Begitulah nak, di kampung ini Ibu mendapatkan orang-orang yang sayang dan saling peduli terhadap sesama.”

Kami berdua pun terdiam sejenak ketika suara malam yang tadi berhenti kini muncul kembali. “Mbak Santi menemukan kebahagiaan dengan caranya sendiri, setiap orang berhak berbahagia asal tak bertentangan dengan agama, maka biarkan ia bahagia,” kata Ibu dengan bijak.

Aku pun menganggukkan kepalaku dan tersenyum tanda setuju dengan kata-kata Ibu.

* * *
Sudah dua hari ini Mbak Santi menghilang, suara malam pun tak terdengar dari bibirnya. Biasanya Mbak Santi memang sering menghilang, tapi tak pernah lama, hanya satu hingga tiga jam saja.

Budhe Mayang semakin keras tangisnya. Ia tak henti menyalahkan dirinya sendiri. Ia menceracau tak karuan. Suaminya di sampingnya pun menenangkannya seraya membimbing Budhe Mayang untuk terus beristighfar.

“Istighfar Bu. Istighfar,” ujar Pakdhe Hanam.

Budhe Mayang pun sedikit tenang dan mulai melafalkan kalimat istighfar.

“Astaghfirullahaladzim...Astaghfirullahaladzim...,” ucap Budhe Mayang dengan nada tersengal.

Hingga malam ini, dua hari sudah Mbak Santi menghilang. Entah kemana Mbak Santi perginya, bahkan ada suara yang mengatakan jika Mbak Santi diculik jin.

Tapi entahlah, kemana pun Mbak Santi pergi semoga ia baik-baik saja, harapku. Tiba-tiba dari arah jalanan depan rumah, aku mendengar tapak orang yang berlarian dengan tergesa.

Akupun segera meraih jilbab yang tergantung di belakang pintu dan berlari ke depan teras. Aku hampir saja bertabrakan dengan Ibu di ruang tamu.

Samar-samar aku mendengar jika Mbak Santi telah ditemukan.

“Tapi di mana?” pikirku.

Semua orang di kampung keluar dari rumah. Kampungku terasa ramai serupa ada hajatan besar. Kami semua berkeinginan untuk menjemput Mbak Santi di tempat ia ditemukan.

Jalanan yang gelap dan sedikit becek karena hujan tadi sore tak menyurutkan kami untuk menuju ke tempat itu.

Tempat yang biasanya gelap tiba-tiba berubah menjadi terang. Banyaknya orang-orang yang membawa senter dan lampu petromak membuat tempat ini menjadi tak lagi menyeramkan.

Semua mata terhenti pada satu titik pusara di tengah hamparan rumah masa depan di kampung ini.

Di atas pusara itu meringkuk tubuh seorang perempuan yang sangat kami kenal, perempuan dengan nyanyian khasnya, nyanyian kebahagiaan di setiap malamnya.

Mata itu terpejam, tubuhnya dingin, nafasnya menguap habis bersama angin malam, namun tangan itu memeluk hangat batu penanda tanah penuh kembang yang bertuliskan sebuah nama, SITI AMINAH, Ibunda Mbak Santi dan Budhe Mayang.

Aku kini baru sadar jika segala nyanyiannya tiap malam adalah nyanyian kerinduan, kerinduan penuh doa untuk Ibunda tercinta, juga kerinduan penuh doa kepada Yang Esa.


*(Richa Miskiyya
,. mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media dan antologi bersama penulis lain.

(Dimuat di Harian Serambi Indonesia. Minggu, 25 September 2011), copas dari link
http://aceh.tribunnews.com/2011/09/25/suara-malam

1 komentar