TILIK: Bu Tejo dan Realita di Sekitar Kita

Sabtu, September 26, 2020

Sejak diunggah pertama kali di kanal Youtube Ravacana Films tanggal 17 Agustus 2020. Film pendek Tilik sudah ditonton 10 juta viewers di hari ketujuh penayangannya (24 Agustus 2020) dan terus menanjak hingga 23 juta viewers sebulan setelah penayangan (26 September 2020).

Tak hanya ditonton jutaan penonton, tapi film Tilik juga terus menjadi perbincangan tak berkesudahan, tak hanya di dunia maya namun juga di forum-forum diskusi publik dengan pembicara para akademisi.

Poster Film Tilik

Kearifan Lokal dalam Budaya Tilik

Film yang didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta ini mengambil setting di wilayah Bantul-Yogyakarta dan secara apik mengangkat kebiasaan Tilik (menjenguk) para masyarakat desa saat ada salah satu tetangga yang sedang sakit di rumah sakit. 

Kebiasaan Tilik ini memang sangat lekat di tengah-tengah masyarakat Jawa, tak hanya Yogyakarta, tapi juga di Jawa Tengah. 

Poster Film Tilik, Animasi Version

Para ibu di Jawa memang memiliki solidaritas tinggi terhadap tetangganya, seperti yang ditampilkan dalam film Tilik, dimana para tetangga berbondong-bondong Tilik (menjenguk) di rumah sakit ketika ada salah satu warga yang ditimpa kemalangan. 

Biasanya para ibu ini akan memilih kendaraan yang bisa memuat banyak warga untuk berangkat tilik. Bisa truk seperti milik Gotrek, atau mobil pickup, pokoknya asal muat banyak. 

Kebiasaan Tilik ini tak pandang kaya atau miskin, semuanya dilakukan bersama meskipun cuma naik truk. Coba lihat saja Bu Tejo yang menggunakan banyak perhiasan emas di tangan dan lehernya, alih-alih naik mobil sendiri, dia lebih memilih naik truk bersama warga lainnya.   

Yu Nah

Selain kebiasaan Tilik yang coba diangkat dalam film ini, kearifan lokal lain juga ditampilkan, misalnya Yu Nah yang menghirup wangi kulit jeruk untuk menghilangkan mual karena mabuk kendaraan, juga Yu Ning yang memberikan karet untuk mengikat jempol saat Bu Tejo kebelet buang air kecil.

Baca juga: Kepingan Rindu yang Berserakan dalam Film Natalan

Tilik dan Pro Kontra yang Mengiringi

Tak hanya pujian yang diterima oleh Film Tilik ini, namun juga kritikan mengalir deras untuk film ini, salah satunya terkait film Tilik yang menurut pengkritiknya mendiskriminasi kaum perempuan. 

Mereka menganggap dalam film ini menstigma perempuan sebagai sosok yang senang ghibah, cerewet dan mau menang sendiri. Namun, apakah benar seperti itu? 

Sebagai sebuah karya seni, setiap orang memang bebas  menginterpretasi film Tilik. Seperti juga saya yang sebagai orang awam tidak melihat Tilik mendiskriminasi sosok perempuan, namun film Tilik mencoba memotret realita kehidupan apa adanya. 

Twist yang Dipersoalkan 

Selain karena keterlibatan perempuan sebagai tukang ghibah di film ini, banyak penonton juga mempersoalkan twist dari film ini yang dianggap berpihak dan memenangkan tukang nyinyir.

Apakah benar begitu? Apakah yang dikatakan Bu Tejo itu benar? Jika melihat fakta cerita dalam film tersebut, twist di akhir film tidak membenarkan komentar-komentar Bu Tejo. 

Pada awal-awal film, Bu Tejo berkomentar tentang Dian yang punya banyak uang dengan pekerjaan yang tidak jelas, apalagi Bu Tejo juga menyebut gosip tentang Dian yang hamil hanya karena Bu Tejo melihatnya muntah-muntah.

Apakah itu terbukti di akhir film? Jawabannya adalah tidak. Dian menjalin hubungan serius dengan mantan suami Bu Lurah, dan di sini tentunya Dian bukan pelakor, karena di pertengahan film juga disebutkan bahwa Bu Lurah sudah berpisah dari suaminya. 

Hal yang lumrah pastinya seorang perempuan menjalin hubungan dengan lelaki, justru jika kita merasa bahwa apa yang dilakukan Dian yang berhubungan di akhir film tidak benar, justru kita termasuk penonton yang memiliki pikiran sempit. 

Masyarakat di Indonesia memang masih memiliki pandangan nyinyir apabila ada perempuan muda yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang usianya yang lebih tua. Tak ayal pasti ada omongan yang akan menyebut jika perempuan muda tersebut hanya mengincar harta. 

Padahal, jika menonton film ini secara seksama, alasan Dian memilih ayah Fikri sebagai kekasih bisa jadi berhubungan dengan kisah hidup Dian yang sejak kecil ditinggal ayahnya sehingga ia merindukan kasih sayang sosok laki-laki dewasa. 

Tak Ada Manusia yang Sempurna 

Selain persoalan akhir film yang menampilkan Dian dan ayah Fikri, persoalan akhir film yang menjadikan Yu Ning menjadi sosok yang dipersalahkan juga menimbulkan pro kontra. 

Banyak penonton yang menyesalkan ending bagi sosok Yu Ning yang dari awal dibangun sebagai sosok yang lurus dan selalu berusaha menangkal hoax, tapi justru terkena bumerang kekeliruan kabar yang ia terima dan akhirnya ia sebarkan. 

Yu Ning

Nasib yang menimpa Yu Ning ini banyak yang menganggap meruntuhkan pesan yang sudah dibangun sejak awal di film ini. Seolah meluluhlantakkan pesan yang coba disajikan karena justru memenangkan sosok nyinyir seperti Bu Tejo. 

Tapi bukan sebuah kesalahan tentunya jika penulis naskah film Tejo ini memilih twist tersebut, karena sebuah film tak harus membawa pesan seperti yang penonton harapkan. 

Jika semua film harus membawa pesan baik, apa jadinya sebuah film yang ingin memotret realita nyata dalam masyarakat? 

Kenyataan itulah yang coba diwujudkan oleh Yu Ning dan Bu Tejo ini, bahwa tak ada manusia yang sempurna. Sebaik-baiknya Yu Ning menangkal hoax, ia justru terjebak pada kekeliruan kabar yang ia dapatkan. 

Begitu juga dengan Bu Tejo, meski dari awal ia terus saja nyinyir dan menjadi penyulut gosip, justru ia mampu meredam kekecewaan para ibu-ibu yang tidak jadi menjenguk Bu Lurah dan mengajak mereka untuk pergi belanja ke Pasar Beringharjo. 

Bu Tejo

Selain sikap Yu Ning yang anti hoax, sikap Bu Tejo yang mencoba mencari jalan keluar di tengah kekecewaan para ibu juga bisa kita contoh. Karena kita tidak pernah tahu kejadian sulit apa yang akan menimpa kita, sehingga mau tak mau kita harus ‘menjadi’ Bu Tejo yang solutif. (*) 


15 komentar

  1. Tapi, buatku pribadi. Ini emang bener sesuai sama dunia nyata. Karena, kenyataannya, orang kaya Bu Tedjo ini yang memang punya porsi menang lebih besar. Dalam artian, emang banyak yang pada akhirnya tetep mendukung dan menganggap bahwa bu Tedjo lebih baik dan lebih tau. Fakta banget ini mah. Memang, bagi penyuka film, banyak yang merasa bahwa film itu harus punya pesan moral. Walaupun pada kenyataannya, dalam kehidupan, pesan moral hanya akan dipahami oleh yang mengalami di waktu yang bisa jadi sudah lewat dari peristiwa tersebut. Jadi, buatku, film tilik ini yaa cuma memindahkan kenyataan ke layar lebar tanpa memaksa adanya pesan ini itu untuk diambil sama penonton.

    BalasHapus
  2. Cukup menghibur filmnya ya mbak... kalau tentang pesan moral saya memaknai seperti sebuah ungkapan, " Jangan gampang menilai dari sampul buku saja" Banyak manusia terlena dengan tampilan luar dan ujung2nya terkecoh akhirnya kecewa karena tidak sesuai dengan yang diharapkan. Begitulah manusia gampang menilai orang lain tapi lupa untuk menilai diri sendiri hehehe

    BalasHapus
  3. Seringkali di masyarakat, orang seperti Bu Tejo ini malah banyak pendukungnya ya kak. Dan orang kayak yu Ning malah sering dianggap sok suci karena gak percaya gosip

    BalasHapus
  4. Memang ya sosok pribadi bu Tejo dalam realita kehidupan ya bener adanya, seperti yuk Ning juga dari yang lurus kena juga hoax, tak ada manusia yang sempurna.

    BalasHapus
  5. Asli aku cuma sekali nonton kak, dan entah berapa puluh kali nama dian disebut sampai panas kupingku wkwkwk. Etapi emang iya, ibu-ibu di desa kalau nengokin orang sakit nggak kebanyakan mikir.di tempat ibuku ngawi kadang sampai pergi ke solo kalau jengukin tetangga yang di rawat dan bahkan sampai ke semarang. Bedanya naik minibus kak bukan truck hehehe

    BalasHapus
  6. Budaya tilik memang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat di desa, khususnya di Jawa. Datangnya biasanya memang rombongan. Kadang bikin gaduh di rumah sakit, sampai2 ditegur sama petugas rumah sakit karena menggangu pasien lain

    BalasHapus
  7. Yes, aku penasaran sampai nonton dua kali karena awalnya masih belum paham haha, duh seru dan simple tapi menggena ya

    BalasHapus
  8. virral banget emang ya film pendek ini masyaallah. tapi emang simple banget filmnya dan seru liat butedjo hihi.

    BalasHapus
  9. bagus memang film seperti ini yang banyak diminati sekarang ya, yang dekat dengan keseharian. Kita tidak bakal tahu jadi bu Tejo atau yang lainnya sebelum berhadapan langsung dengan masalah. Semoga aja tidak keduanya.

    BalasHapus
  10. so related ya sama masyarakat kita mbak icha, miris juga sebenernya. tapi jgn smp kita jg menyuburkan lahan2 bu tedjo di sekeliling kita ya hihi

    BalasHapus
  11. salah satu film yang sering saya tonton di youtube TILIK

    BalasHapus
  12. Bener juga ya mbak tak ada manusia yg sempurna. Pun dengan julidny Bu tejo mgkin ada sisi positifnya beliau.

    BalasHapus
  13. Aku nonton ini gak sampek kelar sih, jadi baru tau dari baca di sini ini kalo ending ya Dian pacaran sama mantan suami Bu Lurah. Kirain pacaran sama anaknya Bu Lurah.

    BalasHapus
  14. Saya udah nonton filmnya, menurutku emang gak semua wanita suka ghibah tapi pada kenyataannya emang ada kok wanita yg persis Bu Tejo suka ghibah dan bikin huru-hara, tetanggaku dulu soalnya ada yg kayak gitu 😁

    BalasHapus
  15. Tahun ini booming film bu tedjo.. 2 tahun setelah tayangnya.. saya sendiri memlmyaksikannya sambil tertawa2 sendiri.. ga jauh dengan realita yang ada

    BalasHapus