Tamu Tak Diundang di Hari Lebaran

Kamis, Juni 24, 2021

Hari Lebaran tahun 2021 ini akan menjadi Lebaran yang tak akan keluarga kami lupakan seumur hidup. Hari di mana seharusnya penuh suka cita, namun akhirnya justru berisi drama karena tamu tak diundang bernama virus covid-19.


Keluhan Pertama

Cerita bermula ketika malam takbiran, suami mengeluh tenggorokannya sakit, saya positive thinking aja, oh, radang tenggorokan mungkin.  Sampai keesokan harinya, saat Hari Idul Fitri, setelah shalat Ied di mushalla dekat rumah (sejak musim covid, shalat Ied di tempat kami diselenggarakan di mushalla), suami mengeluh tenggorokannya makin sakit. 

Saya menyarankan minum larutan penyegar tenggorokan, karena biasanya sakit tenggorokan suami langsung kabur setelah minum itu. Suami mengiyakan. 

Hari beranjak siang, saya tanya ke suami, “Kapan nih mau ke tempat Simbah A, Pak Dhe B, Bulik C?”. Suami yang merasa makin nggak enak badan bilangnya nanti sore aja, dia mau istirahat dulu. 

Okey, akhirnya saya, suami, dan Ayya berdiam di rumah menunggu suami agak enakan badannya. Namun, tanpa diduga, bukan cuma suami yang nggak enak badan, ternyata saat siang hari tiba-tiba Ayya demam, saya cek menggunakan termometer suhunya sudah 38 derajat. Padahal pagi tadi, Ayya masih baik-baik saja, masih bergembira mengantongi beberapa amplop berisi uang lebaran dari simbah yang rumahnya dekat mushalla. 

Karena kondisi suami dan anak drop semua,  kami memutuskan hari pertama Lebaran di rumah saja, silaturahmi ke tempat saudara yang jauh dan agak jauh ditunda dulu sementara waktu. 

Hari Kedua dan Ketiga Lebaran

Hari kedua lebaran, kondisi suami masih belum fit, kali ini nggak cuma sakit tenggorokan, tapi ditambah demam. Kondisi Ayya juga masih demam hingga suhunya 40 derajat. Seperti biasanya, saya mengandalkan paracetamol yang memang selalu tersedia di rumah untuk diberikan ke anak dan suami. Paracetamol tablet untuk suami, paracetamol sirup untuk Ayya. 

Hingga malam hari, kondisi Ayya masih belum stabil, sedangkan suami katanya udah lumayan enakan, bahkan sudah kuat untuk ronda malam meskipun cuma muter ambil jimpitan (uang iuran yang diletakkan di pintu rumah).

Hari ketiga lebaran, Ayya masih juga demam hingga 40 derajat. Akhirnya pagi hari, saya dan suami mengantar Ayya ke dokter, kata dokter cuma demam biasa, apalagi Ayya masih kelihatan ceria. 

Saya lihat Ayya yang duduk di samping saya saat itu, memang iya, sih, Ayya masih ceria dan bukan tipe anak yang rewel kalau sakit, diminumin obat juga tinggal buka mulut dan nggak banyak drama, alhamdulillah. 

Setelah dari dokter dan minum obat, Ayya berangsur-angsur turun demamnya, meskipun kemudian gantinya dia jadi sering bolak balik ke kamar mandi untuk BAK dan BAB, ditambah lagi dia bilang, ‘Ma, pupnya mencair’. “Hmmm, gantian diare, nih,” batin saya.

Tapi nggak apa-apa, semuanya masih bisa terkendali, yang penting Ayya nggak rewel, cuma saya aja yang harus lebih strong bolak-balik antar dia ke kamar mandi, termasuk di tengah malam. 

Ma, Ayo ke IGD!

Hari minggu (16/05) atau hari keempat lebaran, sepanjang malam saya masih tidur-tidur ayam karena Ayya yang masih bolak balik ke kamar mandi. 

Tiba-tiba, jelang subuh, suami datang ke kamar saya dan Ayya (kami memang tidur terpisah, saya tidur bersama Ayya, dan suami tidur di kamar berbeda)

Suami mengeluh mengalami disorientasi waktu, halusinasi, dan insomnia, ditambah lagi ia mengeluh perutnya sangat sakit. “Ma, ayo ke IGD. Aku udah nggak kuat, perutku sakit banget. ”

Saya bingung, saya lihat jam di dinding, masih pukul 4 pagi. Saya lalu melihat Ayya yang masih tidur, gimana kalau dia bangun dan Abi-Umma nya nggak ada di rumah?

Saya whatsapp adik saya yang tinggal di rumah ortu dan tak jauh dari rumah kami, saya minta datang menemani Ayya, tapi nggak ada jawaban. Saya lalu beralih kirim whatsapp ke Om yang rumahnya juga masih satu RT dengan kami, saya bilang mau ke IGD antar suami, saya minta tolong untuk jagain Ayya.

Alhamdulillah Om merespon dan bilang akan datang setelah shalat subuh. Saya menatap suami yang wajahnya makin merana, saya minta dia tahan sebentar sampai selesai shubuh. 

Setelah saya selesai shalat, dan Om yang sudah datang, saya bergegas mengantar suami ke IGD RSUD dekat rumah. Untung saja jarak rumah kami dan RSUD hanya 100 meter saja, jadi bisa segera mendapat penanganan. 

Sesampainya di IGD, suami nggak bisa langsung masuk, tapi harus di ruang pemantauan atau apa ya namanya saya lupa, pokoknya ruangan di luar IGD untuk dicek antigen, sedangkan saya sendiri beranjak ke pendaftaran untuk mengurus administrasi. 

Sekembalinya saya ke ruang pemantauan itu, suami masih merintih kesakitan sambil memegangi perutnya, kata suami barusan dia diswab antigen. Saya menunggu di kursi luar hingga kemudian dokter mengatakan kalau suami positif covid dan paru-parunya sudah terinfeksi. 

Status whatsapp suami

Dokter yang memeriksa suami nggak cuma satu, tapi dua orang dokter, dan keduanya mengatakan kalau paru-parunya memang sudah kena. Saat itu yang ada di pikiran saya adalah menerima keadaan dengan tenang. Oke, suami beneran kena covid, karena selama ini suami bukan perokok dan nggak tahan kipas angin, nggak mungkin tiba-tiba paru-parunya kena pneumonia, kan?

Karena kondisi suami yang gejalanya sudah menyerang paru-paru, dan kata dokter, rasa sakit di perutnya juga akibat dari paru-parunya yang udah terinfeksi, jadi dia harus masuk isolasi, tapi ruang isolasi di RSUD dekat rumah ini ternyata penuh.  

Saat itu saya mengangguk mengerti, saya langsung berpikir cepat untuk cari ruang isolasi di RS lain. Hari sudah pagi, saya hubungi kakak sepupu buat bawa mobil ke RSUD, karena lihat kondisi suami, dia udah nggak mungkin naik motor.

Setelah mobil datang, kami bergegas ke RS lain yang jaraknya 4 km dari rumah, tak jauh memang. Tapi saat sampai di sana, ternyata ruang isolasi juga penuh. Saya berusaha minta obat untuk suami yang merintih karena perutnya kesakitan, tapi katanya nggak bisa, karena katanya obat-obatan untuk penderita covid berbeda. 

Kami diminta mencari ruang isolasi di RS lain. Akhirnya kami kembali ke mobil dengan tangan hampa. Di dalam mobil yang masih terparkir di halaman RS, kami coba cari jalan keluar, mau isolasi ke rumah sakit mana? 

Setelah berembug sebentar dengan suami, akhirnya diputuskan suami isolasi mandiri di rumah kosong milik adik yang letaknya di samping rumah kami.  

Menghadapi Hari-hari Isolasi Mandiri

Setelah meminta tetangga untuk membersihkan rumah adik yang akan digunakan untuk isolasi mandiri, akhirnya suami pun pindah ke rumah itu. 

Sebenarnya rumah untuk isoman ini masih berada satu pagar dengan rumah kami dan hanya dipisahkan dengan halaman paving blok saja, jadi saya masih bisa memantau keadaan suami dan menyuplai kebutuhan suami setiap hari. 

Rumah Isolasi Mandiri (cat putih)

Rumah adik saya ini sudah dua kali digunakan untuk isolasi mandiri, karena sebelumnya, di bulan november 2020, 16 anggota keluarga saya positif covid-19, 3 di antaranya isolasi mandiri di rumah adik, dan 16 anggota keluarga ini positif dalam waktu bersamaan (kapan-kapan saya cerita soal ini juga).

Jadi, kalau ditanya orang, kenapa saya bisa tenang dan nggak panik ketika menghadapi suami yang positif covid? Mungkin karena saya sudah pernah menghadapi hal serupa sebelumnya. Meskipun jika dibandingkan keadaan 16 anggota keluarga saya yang pernah positif covid, kondisi suami terbilang paling parah. 

Tapi, meskipun nggak panik dan tetap tenang, saya merasa sangat lelah dan yang salah satu hal yang saya rindukan ketika itu adalah tidur nyenyak. 

Halodoc, I Need Your Help!

Selama suami isolasi mandiri, saya juga masih harus menjaga Ayya yang masih diare dan tubuhnya masih lemah. Mau nggak mau, saya juga harus kuat dan tegar karena harus menjadi perawat untuk dua orang yang saya sayang. 

Karena tidak mendapat obat dari dokter saat datang ke IGD, akhirnya saya menghubungi dokter online di Halodoc (ini bukan endorse, ya). Saya menghubungi dokter umum di Halodoc dan menjelaskan keadaan suami yang terkena covid-19 beserta keluhan yang dialami. 

Catatan dari Halodoc

Hari-hari pertama isolasi mandiri, keluhan suami bukannya berkurang tapi malah bertambah, dari yang awalnya hanya demam, sakit perut, disorientasi waktu, kemudian bertambah dengan pusing hebat, konstipasi/sembelit, batuk kering dan sesak napas. Bahkan suami sampai nggak kuat bicara karena setiap bicara, dadanya akan terasa semakin sesak.  Selain itu, suami juga jadi nggak kuat dingin, setelah wudhu saja katanya badannya langsung menggigil kedinginan. 

Apakah suami juga mengalami anosmia? Kata suami sih penciumannya tidak hilang sepenuhnya, namun bau yang dia cium katanya berubah. Bahkan minyak angin yang baru dibeli, kata suami minyak angin palsu karena aromanya berbeda, padahal aslinya ya sama aja sih aromanya.

Setelah menjelaskan kondisi suami, dokter umum di halodoc memberi resep obat batuk, obat antivirus, obat antibiotik, dan beberapa vitamin, seperti vitamin c dan zinc. Oh ya, dokter juga memberi resep untuk pembelian obat kumur juga. 

Saya kemudian menebus resep-resep ini di apotek, untungnya ada apotek 24 jam di dekat rumah yang tetap buka meski masih dalam suasana lebaran. 

Oh, ya, maaf, ya, saya nggak bisa menampilkan resepnya secara gamblang, karena masing-masing orang memiliki kondisi berbeda, baik itu gejala maupun alergi obat-obatan yang dimiliki pasien. Jadi, lebih baik untuk menghubungi dokter di halodoc langsung dan menjelaskan gejala yang dialami, ya. 

Selain menyuplai obat-obatan dan makan, saya juga menyuplai kebutuhan suami untuk vitamin C hisap, buah-buahan, madu, juga susu beruang (lagi-lagi bukan endorse, ya). 

Saturasi Oksigen 94%?

Selama beberapa hari, alhamdulillah suami sudah nggak demam lagi, tapi masih pusing, batuk dan sesak. 

Setiap hari saya selalu memantaunya dan memintanya untuk berjemur di halaman rumah. Selain itu saya juga memintanya memantau suhu tubuh menggunakan termometer dan memantau saturasi oksigen di tubuhnya menggunakan oximeter. 

Termometer dan Oximeter

Kebetulan untuk termometer dan oximeter memang kami sudah punya sejak lama karena untuk memantau kesehatan Abah saya juga yang menderita stroke. 

Termometer dan oximeter ini penting banget buat dimiliki, khususnya bagi yang memiliki gejala covid-19. Harganya pun terbilang terjangkau. Termometer digital ada yang harganya di bawah 30 ribu, sedangkan untuk oximeter kalau nggak salah ingat harganya di bawah 150 ribu. 

Keadaan suami memang berangsur pulih, namun batuk dan sesaknya yang masih tersisa seringkali membuatnya tersiksa, apalagi batuknya yang awalnya kering, berubah jadi batuk berdahak. 

Hingga suatu hari saat saya konsultasi lagi ke Halodoc, saya tanya obat untuk batuk dan sesaknya suami yang belum juga sembuh, saya ditanya berapa saturasi oksigen di tubuh suami, hari itu setelah dicek, ternyata saturasinya 94%, di bawah saturasi oksigen normal yang seharusnya di atas 98%.  Kondisi saturasi 94% kata dokternya harus segera ke rumah sakit untuk mendapat oksigen. 

Halodoc

Saya tanya ke suami dari jarak jauh, “Gimana? Mau aku cariin RS di Semarang buat isolasi? Katanya dokter, kamu udah butuh oksigen kalo saturasinya segitu.” Suami yang sedang berjemur di tengah halaman dengan wajah kusut, menggeleng nggak mau karena sudah nyaman isoman di (dekat) rumah. 

Saya langsung chat lagi sama dokter di halodoc, sebenarnya lumayan berdebat juga ini, karena dokter masih menyarankan ke RS, tapi kemudian katanya lagi, semua kembali ke pilihan keluarga. Akhirnya saya minta resep obat saja.

Setelah 10 Hari Isolasi Mandiri

Setelah 10 hari isolasi mandiri, gejala lain sudah mereda, termasuk pusing. Namun, batuk dan sesak tetap belum pergi sepenuhnya. Hingga kemudian Om saya datang dan kasih air rebusan rempah-rempah (daun tapak liman, daun sirsak, lengkuas, bawang lanang, temulawak, kulit manggis, jahe, kunyit). 

Alhamdulillah setelah minum rebusan rempah itu beberapa kali, kata suami dadanya lebih enakan dan nggak sesak lagi. 

Kembali ke Rumah

Di hari isolasi ke-12 atau 14 hari sejak gejala pertama dirasakan, suami akhirnya kembali ke rumah karena semua gejala sudah hilang, dan kabar baiknya Ayya juga sudah nggak diare lagi. Alhamdulillah. Meski begitu saya masih meminta suami untuk jaga jarak dengan saya dan Ayya, karena takutnya masih ada virus yang nempel.  

Setelah beberapa hari di rumah dan masih menjaga jarak, akhirnya di hari ke-23 lebaran, kami baru bisa berfoto lebaran bersama.  Hihihi. 

Foto Lebaran di Hari ke-23

Semoga apa yang dialami keluarga kami bisa menjadi pelajaran untuk teman-teman semua untuk lebih taat protokol kesehatan dan nggak menyepelekan covid. Ingat, covid itu nyata. 

Jangan lupa juga selalu minum vitamin, olahraga dan makan makanan yang bergizi. Oh ya, jangan lupa untuk selalu bahagia dan berpikir positif agar imun tidak turun.(*)


10 komentar

  1. Adik iparku gejalanya persisssss sama mba. Diare lama mau udah diobat sekali pun. Akhirnya ke IGD dan ketahuan lah, Dwarrrrrrrr, positif Covid. Alhamdulillah sudah sembuh dan bisa beraktivitas kembali. Semoga sehat selalu sekeluarga mba.

    BalasHapus
  2. Makasih buat sharingnya mbak, Covid ini bener2 menghantui kita ya. Kangen rasanya bisa bergerak bebas tanpa takut ancaman virus ini

    BalasHapus
  3. Terima kasih banyak atas sharingnya Mba. Saya jadi tau kalo virus udah menginfeksi paru-paru, bisa berakibat separah itu. Tapi alhamudillah ya sudah sehat kembali. Berarti fisik si suami ini kuat juga loh, meski saturasinya kurang. Digempur dengan bahan rempah dan rajin berjemur. Beruntung ya RSUD dan apoteknya deket dari rumah semua, jadi lebih mudah dijangkau. tapi sayangnya ruang isolasi sangat sulit didapat. Akhirnya isoman di dekat ruamh deh....

    BalasHapus
  4. Wah sharingnya lengkap mbak
    Salut aku karena mbak dan keluarga bisa tetap tenang saat disamperin covid-19 ini
    Ibu dan adikku sekeluarga juga pernah kena covid, periode awal-awal covid merebak di Indonesia tahun lalu. Duh kami paniknya minta ampun

    Syukurlah sekarang suami udah sehat kembali dan bisa berkumpul bersama keluarga tercinta. Semoga kita semua sehat selalu ya mbak

    BalasHapus
  5. Semoga Mbak Icha dan keluarga sehat selalu, memang sekarang ini harus jaga-jaga diri ya. Entah kapan pandemi akan berakhir, semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah dan diberikan kesehatan

    BalasHapus
  6. Masya Allah. Saya bacanya kebawa tegang. Apalagi pas dokter udah vonis bahwa virusnya sudah menginfeksi paru-paru. Salut sama ketegarana Mba Icha menghadapi sumai yang kena Covid. Ramuan herbalnya bisa banget nih dipakai buat jaga kesehatan. Alhamdulillah suami dan anaknya sudah sehat. Semoga kita semua terlindung dari wabah ini.

    BalasHapus
  7. masya Allah. rasanya deg degan ser banget ya mbak. aku pun baru saja selesai isoman, masyaallah subhanallah rasaanya kapan2 pengen cerita juga di blog. semoga kita diberi perlindungan oleh Allah ta ala ya mbak icha.

    BalasHapus
  8. dengan kisah seperti ini, masih saja ada yg tidak percaya dg covid ini. semoga mbak dan keluarga sehat selalu, dan covid segera selesai dr Indonesia.

    BalasHapus
  9. Ya Allah ujian kesehatan di hari Raya ya Mba, salut Mba bisa tenang dan enggak panik menghadapinya. Syukurnya sekarang sudah pulih ya, semoga Mba dan keluarga selalu diberi kesehatan dan pandemi ini segera berakhir aamiin

    BalasHapus