Memutus Mata Rantai Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Selasa, Agustus 15, 2023

Di masa sekolah dulu tentunya kita sering belajar dan diberi pengetahuan bahwa hutan di Indonesia disebut sebagai paru-paru dunia, bahkan saking hijaunya warna kepulauannya, negeri ini juga dijuluki Zamrud Khatulistiwa.

Sebutan-sebutan tersebut memang benar adanya jika melihat di tahun 1970-1980an, hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan jumlah yang begitu luas sehingga negara-negara lain pun bergantung sirkulasi oksigennya pada negara ini.

Namun kini semuanya berubah, hutan tidak lagi menjadi paru-paru dunia, bahkan justru sebaliknya sering kali ia menjadi sumber emisi karbon karena bencana kebakaran yang sering melanda. Pentingnya menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya kebakaran hutan dan lahan ini jugalah yang menjadi salah satu dasar #EcoBloggerSquad menyelenggarakan Online Gathering pada 11 Agustus 2023 lalu dengan Tema ‘Bersama Bergerak Berdaya Indonesia Merdeka dari Kebakaran Hutan dan Lahan’.

Dalam kesempatan Online Gathering tersebut, hadir pula narasumber dari @pantaugambut, yaitu Kak Yola Abas atau yang akrab disapa Kak Ola.


Mengenal Lebih Dekat Lahan Gambut

Berdasarkan data dari BBSLDP Tahun 2011, Indonesia lahan gambut seluas 14,9 juta hektar, dengan 5,8 juta hektar lahan telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit, perkebunan untuk Industri, sawah, pemukiman, atau area komersil.

Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari timbunan material organik, seperti sisa pohon, dedaunan dan rerumputan yang tidak terdekomposisi dengan sempurna, yang mana kemudian menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal.

Lahan gambut memiliki seperti spons yang mampu menyerap serta menyimpan air dalam jumlah banyak sehingga tetap basah sepanjang tahun. Namun, seiring berjalannya waktu, ada lebih dari 9 juta hektar lahan gambut sudah terdegradasi akibat pengalihan fungsi lahan. Ada beberapa penyebab terjadinya alih fungsi lahan ini, yaitu:

-   - Penebangan skala besar yang bertujuan untuk mengosongkan lahan.

-   - Pembuatan kanal-kanal untuk mengeringkan lahan, hal ini mengakibatkan turunnya ketebalan lahan gambut dan fungsi lahan gambut sebagai spons penyerap air menjadi hilang. Dan karena lahan gambut yang menjadi kering, ia jadi mudah terbakar. 

Lahan gambut yang sudah kering akan kehilangan fungsinya untuk menyerap air, maka ia akan rentan terbakar dan susah untuk dipadamkan dan butuh waktu yang sangat lama untuk pulih dan kembali pada fungsi alaminya.

Alih fungsi lahan sekarang ini banyak atas nama pembangunan, sehingga banyak area hutan yang beralihfungsi menjadi perkebunan, industri, hingga jalan tol. Alih fungsi lahan memiliki beberapa akibat:

- Karhutla

- Peningkatan

- Emisi Karbon

- Global Warming

Peran Penting Lahan Gambut

Lahan gambut memiliki peran yang sangat penting bagi keberlangsungan ekosistem sekitar pada khususnya dan menunjang keseimbangan alam pada umumnya.

Mengurangi Dampak Bencana Banjir dan Kemarau

Lahan gambut memiliki daya serap yang tinggi sehingga memiliki fungsi layaknya tandon air. Gambut dapat menampung air sebesar 450-850 % dari bobot keringnya. Selain itu, gambut yang terdekomposisi juga mampu menahan air 2 hingga 6 kali lipat berat keringnya.

Menunjang Perekonomian Masyarakat Lokal

Berbagai tanaman dan hewan yang habitatnya di lahan gambut dapat menjadi sumber pangan dan pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut. 

Habitat untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati

Beragam flora dan fauna dapat tumbuh dan tinggal di lahan gambut, bahkan banyak yang merupakan flora dan fauna endemik yang hanya ada di sekitar lahan gambut. Beberapa jenis flora juga sangat berguna bagi kebutuhan masyarakat sehingga perlu dibudidayakan. Sementara itu, fauna yang tinggal di lahan gambut berperan penting dalam menjaga keberlangsungan hidup dan ekosistem gambut lainnya.

Lahan Gambut Menjaga Perubahan Iklim

Gambut memiliki cadangan karbon yang besar karena memiliki kandungan dua kali lebih banyak karbon dari hutan  yang ada di seluruh dunia. Ketika lahan gambut terganggu, seperti  dikeringkan, dan kemudian mengalami alih fungsi, simpanan karbon di dalam gambut terlepas ke udara dan akhirnya menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca yang tentunya berefek besar pada perubahan iklim.

Ketika Lahan Gambut Terbakar

Lahan gambut yang kering sangat mudah terbakar, bahkan api kecil saja bisa memicu kebakaran di lahan gambut. Api ini dapat menyebar hingga kedalaman lahan gambut 4 meter. Meskipun api di permukaan lahan gambut sudah padam, bukan berarti api yang ada di dalam lahan sudah padam juga. Bahkan, api yang berada di kedalaman lahan gambut dapat bertahan hingga berbulan-bulan lalu menjalar ke tempat lain.

Lahan gambut memang tidak semestinya dikeringkan, karena lahan gambut sejatinya harus selalu basah karena dapat mencegah kebakaran hutan. Apalagi, usaha untuk mengeringkan satu hektar lahan gambut mengakibatkan pengeluaran rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahunnya, setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.

Kita harus ingat bahwa pernah terjadi Karhutla besar di Indonesia tahun 1997-1998 di mana mengakibatkan jutaan hektar hutan terbakar, jutaan orang terkena polusi udara hingga ke negara tetangga, juga pengeluaran emisi karbon hingga 2,7 gigaton setara CO2

Tahun 2015 juga kembali terjadi karhutla besar yang mana terjadi di 32 provinsi dengan 28 juta orang terdampak karena adanya kebakaran hutan dan lahan ini.  Karhutla besar ini mengakibatkan kerusakan area sekitar 2,6 juta hektar (33% di lahan gambut).

Mengenal Kesatuan Hidrologis Gambut

KHG atau Kesatuan Hidrologis Gambut adalah suatu ekosistem gambut yang letaknya di antara dua ekosistem air seperti sungai dan rawa. Lahan gambut sendiri bisa terbagi-bagi ke dalam beberapa wilayah hidrologis yang terpisah oleh batas-batas air tersebut.

Dalam satu ekosistem KHG, terdapat keanekaragaman hayati yang bersifat endemik sehingga hanya bisa ditemukan di atas lahan gambut saja. Beberapa tumbuhan endemik ini seperti Purun, Jelutong, dan Ramin. Tanaman-tanaman ini disebut juga Paludikultur yaitu tanaman yang dapat tumbuh di atas lahan gambut yang tidak butuh drainase atau pengeringan.

Selain flora, terdapat pula beberapa fauna khas lahan gambut seperti Bekantan, Orang Utan, Langur, Harimau Sumatra, Beruang Madu, atau Buaya Sinyulong. Ikan Gabus, Ikan Baung, bahkan ikan terkecil di dunia Ikan Paedocypris Progenetica 9mm.

Meski begitu, tak hanya flora dan fauna yang ada di sekitar lahan gambut, namun juga banyak terdapat pemukiman masyarakat adat yang mana mengandalkan lahan gambut untuk penghidupan sehari-hari sehingga keberadaan lahan gambut ini sangatlah penting.

Lahan Gambut yang Sehat

Lahan gambut yang sehat harus selalu basah, dan untuk mengukurnya bisa melihat keanekaragaman apa saja yang ada di atasnya, karena KHG merupakan satu kesatuan, maka perlu diingat bahwa lahan gambut yang terbasahi tidak hanya satu titik saja, tapi juga keseluruhan.

Lahan gambut yang terbakar harus direstorasi secepatnya agar kondisi hidrologis dan strukturnya kembali pulih, bisa dilakukan dengan cara Pembasahan, Penanaman Kembali dan Revitalisasi Ekonomi bagi masyarakat sekitar KHG.

Degradasi lahan gambut bisa berupa amblesnya tanah atau terlepasnya karbon dalam jumlah besar ke udara yang bisa mempercepat kenaikan suhu global dan memperparah krisis iklim. Oleh karena itu restorasi lahan gambut harus berbasis KHG agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Pada Tahun 2023 ini, ada area KHG di 10 provinsi yang rentan terjadi Karhutla, yaitu:

  • Kalimantan Tengah
  • Papua Selatan
  • Kalimantan Barat
  • Riau
  • Sumatera Selatan
  • Kalimantan Timur
  • Kalimantan Utara
  • Jambi
  • Papua Barat
  • Kalimantan Barat - Kalimantan Tengah
Dari 33% area KHG yang dibebani oleh konsesi industri ekstraktif, didominasi sebanyak 50% oleh konsesi dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang didominasi Kelapa Sawit.

Pantau Gambut menemukan sebanyak 5.030 titik panas selama bulan Januari hingga Mei tahun 2023, selain itu juga ditemukan dugaan terjadinya Karhutla di area KHG pada 29 lokasi selama Januari hingga Mei 2023, yang mana 10 lokasi berada hanya pada bulan Mei. Ini menunjukkan bahwa kerentanan Karhutla di Indonesia semakin meningkat setelah memasuki musim kemarau dan fase El Nino.

Pada bulan Januari hingga Mei 2023 tersebut, Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis menjadi kota/kabupaten dengan sebaran karhutla terbanyak, serta KHG Sungai Itokan-Sungai Siak kecil juga menjadi KHG yang mempunyai sebaran titik panas terbanyak di Indonesia di periode yang sama.

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Ada banyak sekali dampak Karhutla, dari rusaknya ekosistem yang mana berpengaruh ke rusaknya rantai makanan dan hilangnya keanekaragaman hayati, kemudian terjadi kabut asap yang berpengaruh ke kesehatan, transportasi dan pendidikan, lalu hilangnya ruang hidup warga sekitar, selain itu juga mempercepat laju perubahan iklim, dan yang tidak kalah penting tentunya kerugian ekonomi negara.

Upaya Pengendalian Karhutla

Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mengendalikan Kebakaran Hutan dan Lahan, dari pencegahan, pemadaman, hingga penanganan pasca kebakaran.

Pencegahan

Upaya pencegahan Karhutla bisa dilakukan dengan sosialisasi terkait bahaya kebakaran hutan, merevisi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemberian perizinan di lahan gambut, juga melakukan pengamatan titik rawan kebakaran dengan lebih intensif.

Pemadaman

Proses pemadaman bisa dilakukan dengan beragam cara, yaitu:

-       -   Pembuatan Sekat Bakar

-       -   Pemadaman Manual

-       -   Water Bombing

-       -   Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)

Penanganan Pasca Kebakaran

Penanganan pasca kebakaran adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu area setelah terbakar. Penanganan pasca kebakaran dapat dilakukan dengan pembuatan kebijakan mengenai restorasi gambut, kemudian melakukan restorasi gambut (rewetting, revegetation, revitalitation) yang telah terdegradasi, kemudian melakukan monitoring.

Tantangan Pencegahan Karhutla

Semua pihak harus bekerja sama dalam hal mencegah terjadinya karhutla yang akan mengakibatkan kerugian ekonomi maupun lingkungan.

  • Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penggunaan api di lahan gambut.
  • Implementasi komitmen dan kebijakan restorasi gambut tak terkoordinasi dan berkelanjutan.
  • Tumpang tindih antar status kepemilikan lahan gambut dan izin penggunaannya kerap menjadi penghalang dalam pelaksanaan program restorasi gambut.
  • Evaluasi terhadap izin-izin yang sudah terbit tidak berjalan dengan baik. 
  • Pemberian izin yang terburu-buru tanpa kajian lingkungan.
  • Penegakan hukum yang tidak mempunyai efek jera.
  • Kebutuhan dana yang besar dan komitmen jangka panjang untuk merestorasi gambut. 
  • Belum ada peta gambut yang detail yang dapat membantu dalam penyusunan rencana restorasi gambut yang tepat sasaran. 
  • Diperlukan partisipasi masyarakat dalam menyumbang pengetahuan pengelolaan gambut tradisional yang berkelanjutan dan dalam memantau kelangsungan program restorasi gambut di lapangan. 

Kebakaran hutan dan lahan memang menjadi salah satu hal yang harus kita cegah sedini mungkin, agar hutan dan lahan di Indonesia nantinya tidak hanya menjadi cerita dan dongeng untuk anak cucu kita di masa depan atau hanya bisa dinikmati lewat foto dan gambar karena hutannya sudah tak ada.

Kita juga perlu untuk terus sebarkan awareness tentang pentingnya lahan gambut, konsisten menyuarakan isu perlindungan lahan gambut, serta mendorong komitmen pemerintah agar serius dalam pengelolaan dan perlindungan lahan gambut.

Maka ayo kita semua #BergerakBerdaya untuk melindungi hutan kita, salah satunya lewat gerakan yang diinisiasi oleh teamupforimpact.org. Let’s Team Up For Impact dengan ikut tantangan harian bersama tanam pohon di hutan tanpa ke hutan. Caranya dengan ikuti challenge pilihanmu setiap hari dan kumpulkan poinnya. Saat terkumpul 1.400 poin, akan ada 1 pohon yang ditanam atas namamu di hutan. Keren banget, kan? Yuk ikutan!(*)

 

7 komentar

  1. Setiap kali mendengar terjadi Karhutla di Lahan Gambut rasanya sedih sekali
    Membayangkan kehilangan pasokan oksigen, terganggunya habitat dan ekosistem di sana, terganggunya pernafasan makhluk hidup di sekitarnya. Duuuh....

    Semoga saja kemarau panjang tahun ini tak lagi ada karhutla dimanapun itu

    BalasHapus
  2. Aku juga mau ikutan, cara paling mudah dengan kumpulkan poin dulu ya kak?
    Aku mau ikutan juga sebagai salah satu upaya untuk menggantikan pohon yang telah dibakar

    BalasHapus
  3. Keren nih ide teamupforimpact. Aku baru ikut 2 hari, memang challenging banget. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri ya untuk turut menjaga keberadaan hutan dan memutus mata rantai karhutla...

    BalasHapus
  4. Hutan Indonesia memang rawan kebakaran. Terutama di lahan gambut yang di sana ada aktivitas perluasan lahan. Harusnya dikasih efek jera bagi pelaku kebakaran hutan.. Mudah-mudahan semakin berkurang

    BalasHapus
  5. Lahan gambut ternyata bisa menampung air hingga 450-850 % dari bobot keringnya, saya kok jadi bayangin sponge ya mbak. Dan kalau sampai ada kebakaran lahan gambut, efeknya nggak cuma saat itu tapi jangka panjang

    BalasHapus
  6. pengen ikutan challengenya, menarik nih. dengan ngumpulin poin bisa banget nanem 1 pohon yang ditanam atas namaku di hutan. setidaknya ini yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi karhutla ya

    BalasHapus
  7. Kayaknya kalau ngomongin karhutla ini gabakal ada kata berhenti ya kak. Tiap tahun informasi pencegahan dan perlindungan udah diberitakan tapi selalu aja masih ada oknum pembakar. Apalagi el nino pula tahun ini, hiks semoga semua kembali hijau

    BalasHapus