Menikah Tanpa Pesta Resepsi. Yes Or No?

Jumat, Mei 29, 2020


Beberapa hari yang lalu, saya tergelitik saat membaca salah satu tweet viral yang membahas New Normal. Tapi pembahasannya bukan tentang protokol kesehatan, melainkan tentang pernikahan. “Nikah tanpa resepsi jadi New Normal, Please.” Begitu kalimat tweet dari akun twitter @nadyacaka.

Di masa pandemi sekarang ini, pernikahan memang sebisa mungkin dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Seperti cukup di KUA dengan pendamping terbatas, dan ditiadakannya pesta. Tapi harapan dari tweet tersebut, menikah tanpa resepsi bukan hanya diterapkan di masa pandemi saja, tapi juga diterapkan seterusnya. 

menikah tanpa pesta
Menikah Tanpa Pesta
Pernikahan Tanpa Pesta

Saya jadi teringat tentang pernikahan saya di tahun 2016, jauh sebelum ada Corona. Di saat banyak orangtua lain di negeri ini ingin menggelar pesta besar untuk pernikahan anaknya, orangtua saya keukeuh nggak mau bikin pesta.

Padahal, awalnya saya dan calon suami (sekarang suami) sudah membayangkan akan ada pesta resepsi, kami juga sudah mengawang tentang konsep pesta seperti apa yang ingin kami adakan.

Namun, semuanya ambyar ketika di hari lamaran, Abah saya mengungkapkan tak ingin ada pesta. Cukup ijab qabul saja. Doeng!! Saya dan calon suami bingung. “Duh, gimana ini?”

Saat itu, hati saya rasanya masih belum terima jika saya menikah tanpa pesta, ada perang batin dalam diri saya. Ditambah lagi, para Om dan Tante saya terus membujuk agar diadakan pesta. Saya galau luar biasa. Tapi begitulah Abah, keputusan beliau tidak bisa diganggu gugat.

Kenapa Tanpa Pesta?

Abah saya memang tidak suka dengan keramaian pesta. Beliau juga sungkan kalau mau menerima ‘amplop sumbang manten’ dari para tamu yang datang.

Tak bisa dipungkiri, timbal balik sumbang manten memang sudah menjadi hal yang lumrah di Jawa Tengah. Bahkan tak sedikit orang yang punya hajat, mencatat siapa saja yang datang sumbang manten dan berapa besaran uang yang ia berikan. Untuk apa dicatat? Untuk dikembalikan dengan nominal yang sama atau lebih saat sumbang manten balik.

Jadi, Abah nggak mau orang lain yang pernah ia sumbang manten harus datang dan sumbang manten balik saat anak-anak Abah menikah. Abah nggak mau membudayakan hal tersebut.

Apalagi Abah dan Ummi tipe orang tua yang menimbang banyak hal sebelum melakukan sesuatu. Pesta resepsi tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, rasanya sayang jika uang sebanyak itu digunakan untuk gelaran sehari saja.

Abah dan Ummi juga tipe orang tua yang cuek dengan pendapat orang, dalam hal ini termasuk tentang nggak bikin pesta untuk pernikahan anaknya. Selama apa yang dilakukan bukan perbuatan dosa, ya, maju terus pantang mundur.

Hati saya yang awalnya nggak terima, kemudian bisa benar-benar ikhlas setelah calon suami saya mengirimkan tangkapan layar cuitan Om Prie GS di twitter: “Pesta Nikahmu Tak Perlu Mewah, Tapi Cintamu Harus Megah.”

quote tentang pernikahan
Nasihat dari Prie GS
Setelah membaca kalimat tersebut, hati saya terasa lapang dan akhirnya benar-benar bisa menerima pernikahan kami yang akan diadakan tanpa pesta.

Pelaminan Kecil

Meskipun nggak ada pesta, kami tetap mendirikan pelaminan kecil di halaman parkir depan rumah, hanya berukuran 3 meter saja. Untuk make up pun, saya nggak memesan MUA hits, sewa jasa ibunya teman sekolah yang kebetulan tukang rias sekaligus punya persewaan pelaminan.

Saya juga nggak fitting baju pernikahan khusus, sewa yang ada aja di tempat tukang rias. Apalagi calon suami juga baru datang di hari H, berdoa aja bajunya cukup di badan dia, dan ternyata agak kedodoran, hehehe. Untungnya, hasil make up nya bagus, cantik, dan katanya sih manglingi, jadi puas.

Oh ya, pelaminan ini sebenarnya juga nggak terlalu berguna banget sih, karena gak ada acara foto dengan kedua pasang orangtua mempelai, gak ada acara foto dengan tamu juga. Pokoknya buat pajangan aja pelaminannya. Hahaha.

Bahkan, saya memakai baju pengantin cuma 2 jam saja, habis itu ganti baju, hapus make up. Hareudang, euy! Jadi, saat teman-teman saya datang, saya udah nggak pakai baju pengantin, udah duduk lesehan aja di dalam rumah. Satu-satunya foto pernikahan yang saya unggah di media sosial aja saya ambil selfie menggunakan kamera HP. Wkwkwwk. 

selfie pernikahan dengan HP
Foto Selfie di Hari Pernikahan dengan HP
Gara-gara saya mengunggah foto ini di media sosial, melihat make up saya yang cantik dan background yang terkesan mewah, banyak yang protes karena mengira saya menggelar pesta, boro-boro pesta, bikin undangan aja enggak, hehehe.

Nggak ada janur melengkung di depan rumah, nggak ada pagar ayu dan pagar bagus yang menerima tamu. Nggak ada kotak amplop sumbang manten, nggak ada acara adat injak telur dan lempar sirih, nggak ada acara suap-suapan. Semuanya serba biasa aja. Teman yang saya undang aja bingung saat datang, “Ini beneran si Icha nikahan, kok sepi?” Takutnya Hoax, hahaha.

Oh ya, ada hal yang lucu juga, saat acara ijab qabul menggunakan meja kecil yang udah buluk banget pliturnya (ini meja dari jaman saya TK). Lupa dong nggak nyiapin taplak meja atau apalah gitu buat nutup mejanya.

Ijab qabul tertunda cuma buat nyari taplak meja, pas dicari gak ketemu juga, eh pas ketemu taplak meja, ternyata malah kusut. Akhirnya mejanya ditaplakin pakai sorban lama punya Abah yang nyelempit di lemari. Hahaha.

Undangan Terbatas

Siapa saja yang diundang ke pernikahan saya dan suami? Nggak banyak dan memang terbatas banget.

Yang pertama diundang tentu aja keluarga besar dari garis Simbah Buyut, saya mengantar Ummi keliling naik motor ke tempat para saudara untuk mengundang secara lisan.

Kemudian mengundang Bapak-bapak se-RT di sekitar rumah untuk acara tahlilan. Undangannya pake kertas lembaran yang difotokopi A4 dibagi dua, hehehe.

Selanjutnya saya juga mengundang teman-teman saya, nggak lebih dari 20 orang, saya undang teman yang kenal dekat dan memang masih sering berkomunikasi. Ngundangnya pakai apa? Lewat whatsapp aja, hahaha.

Jadi, dalam pernikahan saya memang nggak memesan undangan dengan desain cantik, bener-bener seadanya saja. Gara-gara mengundang sedikit orang ini, teman-teman saya yang rumahnya agak jauh banyak yang protes, hiks. Ya, mau gimana lagi, nggak bikin kartu undangan dan nggak bikin pesta juga, kan? Mohon dimaafkan dan mohon doanya aja, ya.

Kebersamaan Tanpa Sekat

Pernikahan tanpa pesta yang awalnya membuat hati saya ciut, ternyata setelah dijalani tetap membawa kebahagiaan. Ketakutan akan tetangga yang nyinyir Alhamdulillah tidak saya alami, tetangga saya semuanya baik-baik, dan itu anugerah.

Kemudian, karena hanya mengundang saudara dan beberapa teman saja, kebersamaan kami lebih terasa karena tak ada sekat. Bukan hanya bersalaman selewat di pelaminan, kami leluasa mengobrol lebih panjang, berpelukan lebih lama, dan tertawa lebih bahagia.

Selain hemat budget, kelebihan lain dari pernikahan tanpa pesta yang diinisiasi oleh Abah saya ini membawa hikmah yang lebih panjang, uang pesta dialihkan ke sesuatu yang lebih bermanfaat, yaitu membeli pasir dan bata untuk membangun rumah.

Mengadakan pesta ataupun tidak, pernikahan adalah kebahagiaan. Jikalaupun ingin mengadakan pesta, sesuaikan dengan budget yang ada. Tak perlu melirik pesta tetangga yang mungkin lebih megah dan indah, karena yang paling penting bukan pestanya, melainkan bagaimana cara kita menjalani kehidupan dan hari-hari selanjutnya bersama pasangan.  

Jadi, menurut kamu, menikah tanpa resepsi, yes or no? Kalau saya sih, yes. (*)

14 komentar

  1. oh aku juga tanpa resepsi karena aku minta uangnya saja, ha,haa, buat modal awal nikah, tp dikabulkan. jd uang itu buat beli rumahhhh

    BalasHapus
  2. Sama, kak. Daku pun tanpa pesta pas nikahan. Dan yang mau justru Ipeh, agak kebalikan ya. Alasannya ya sama sih kaya abahnya kakak. Males rame-rame hehe. Kebayangnya waktu itu bakalan capek banget jadi udah males bawaannya.

    BalasHapus
  3. setuju bnget kata oom Prie.. yg penting Megah cintanya bukan mewah pestanya..keren kak..semoga samawa ya..

    BalasHapus
  4. MasyaAllah langka lho Mbak, ortu kayak Abah dan Ummi nya mbak, hikss terharu saya. Sebenarnya yg seperti inilah yg dituntunkan dalam Islam. jauh dari perilaku mubazir ya. Kadang suka mbatin liat org kok menjadikan pesta jd ajang bisnis menuntut balik modal. Yang namanya walimatu 'urusy itu pengumuman bahwa putra-putrinya sudah sah menikah, jd kl org2 liat anaknya boncengan sana-sini, jalan bareng dg laki2, itu suaminya. Gak ada prasangka yg aneh2 lg, sesederhana itu sebenarnya. to org2 malah salah kaprah. kakak ipar saya hampir habus 1/2 M bikin pesta anaknya, huhuuu

    BalasHapus
  5. Abah dan Ummi Mbak Icha sama kayak ortu saya nih, nikah gak mau rame rame bikin resepsi. Jadi nikahi anak 7 gak ada yang pake resepsi.

    BalasHapus
  6. setuju nih nikah mah enggak melulu mewah yak, yang penting mah halal, hehe. saya juga pas nikah di masjid aja dan resepsinya sederhana banget. enggak pakai adat yang ribet hehe. makasih mba sharingnya.

    BalasHapus
  7. Ngiriii abis nih kak icha, huhuhu demi apa sudah nikah 1 hari persiapannya 2 minggu sebelumnya. (Kalau di desa saya masih rewang masak-masak bikin kue dll)tapi ya sudahlah nanti kalau anak mau nikah bilangin aja yang sederhana. Toh sama aja tetep syah ya kak icha

    BalasHapus
  8. pas baca judulnya langsung bilang yes!
    haha
    sedari sebelum covid pun sudah berangan-angan kalau nikah enggak pengen rame-rame
    karna mikirin lelahnya dipajang itu ngeri hihihi
    semoga jadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah ya mba :D

    BalasHapus
  9. Gak di Jawa Tengah aja, Mbak. Di Sumbar pun biasanya amplop undangan dicatat nama dan besar isinya. Udah gitu, di kampung saya, ada tradisi baretong (berhitung) di mana pemuka setempat datang untuk membacakan nama-nama di amplop, besaran uangnya dan juga sumbangan kolektif dari keluarga.

    BalasHapus
  10. The first congratulations ya.. pesta pernikahan tanpa resepsi yes banget... Mending pesta sederhana tapi terkesan mewah untuk diri sendiri dan pastinya tidak melelahkan dan duit pesta bisa dijadikan modal untuk keperluan rumah tangga yang sedang dijalani

    BalasHapus
  11. Salut banget mbak, justru dari ortu mbak malah yang nggak mau bermewah-mewahan ya. Kalau ortu dan mertua saya dulu maunya kudu ada pesta. Walau jungkir balik gimana juga. Tapi sudahlah, sudah berlalu. Jadi pelajaran sekarang saya jadi ortu kelak anak harus bisa sesuai kemampuan dia aja. Kalau bisa cukup undang orang terdekat dan sedekah sama anak yatim. Lebih berkesan dan berkah.

    BalasHapus
  12. kalo kata ibuku nika itu tidak harus resepsi, karena yang terpenting itu kehidupan setelah nika mau bagai mana dan harus di rencanakan juga sebelum menikah. jika uang di abiskan untuk respsi nanti bakal bingung hari hari berikutnya

    BalasHapus
  13. No untuk pesta mewah glamour, tapi Yes untuk syukuran dengan keluarga besar dan sahabat terdekat. Saya melakukan itu juga di pernikahan kami. Selain keluarga, hanya teman2 dekat yang intens berkomunikasi setahun terakhir dan teman2 kantor yang akrab juga.

    BalasHapus
  14. Kalo aku sih yes kak. Saya tetap ada pesta, tapi tidak ada musik. Hanya makan-makan saja.

    Dan ayah saya anti banget sama kotak sumbangan. Dia gak mau ada kotak sumbangan di depan meja penerima tamu atau di depan rumah. Pokoknya dia mau mengundang orang murni hanya bersedekah.

    BalasHapus