Belajar dari Kenangan dan Impian Anak Emak

Kamis, September 03, 2020

Judul           : Jurai (Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian)

Penulis        : Guntur Alam

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan       : Pertama, Maret 2013

Tebal           : 298 halaman

Harga          : Rp 58.000,-

ISBN            : 978-979-22-9338-8

 


Jurai merupakan novel pertama yang ditulis oleh Guntur Alam, penulis asal Sumatera Selatan. Kisah dalam novel ini dimulai dari tokoh Catuk yang ditimpa kemalangan karena Ebak (Ayah) nya meninggal dunia. Kehilangan yang amat menyakitkan dirasakannya, apalagi ia sebagai satu-satunya lelaki di Limasnya dipaksa menjadi dewasa lebih cepat saat usianya baru 10 tahun. Ia harus menjadi pemimpin dan pelita bagi Emak dan ketiga kakak perempuannya.

Kematian Ebaknya itu mengingatkan Catuk tentang Jurai, sejenis garis kehormatan dalam keluarga. Di kampungnya Tanah Abang, Muara Enim, Sumatra Selatan memang ada kepercayaan jika seorang anak lelaki mewarisi raut wajah Ebaknya, maka salah satu diantaranya akan berumur pendek. Tersebab mereka seperti bertarung berebut tempat dan salah satu di antaranya harus ada yang kalah (hal 8).

Belum tuntas kesedihannya karena kepergian Ebaknya, Catuk dan keluarganya harus didera kepedihan lain yang seakan datang bertubi-tubi. Dari rahasia kematian Ebaknya yang ternyata bukan disebabkan karena diseruduk babi hutan saat menyadap karet, melainkan karena ditabrak motor oleh anak juragan kebun karet hingga rahasia jika Ebaknya ternyata memiliki istri lain tanpa sepengetahuan Emak dan anak-anaknya (hal 115-132). Kenangan Catuk tentang Ebaknya menjadi cacat ketika didapatinya jika Ebaknya tak ‘sebersih’ yang dikiranya.

Pengkhianatan itu menyebabkan luka yang lebar dalam hati Emak Catuk. Emak limbung dalam keputusasaan, merasakan jika ia menjadi perempuan tak berguna, terlebih saat ia tahu jika suaminya mencari istri baru adalah untuk memiliki anak lelaki yang dianggap menjadi kebanggaan keluarga. Catuk sebagai anak lelaki bungsu menyalahkan dirinya kenapa ia tak lahir sebagai anak pertama hingga Ebaknya tak perlu menikah lagi.

Di tengah permasalahan yang tak ada habisnya, Catuk melihat Emak yang akhirnya kembali bangkit dan terus bekerja demi menyekolahkan semua anak-anaknya. Meski ditentang oleh orang tuanya yang mengatakan jika anak perempuan tak perlu sekolah tinggi, namun hal itu tak menyurutkan semangat Emak.    

Baca Juga: Happy Little Soul, Belajar Jadi Sahabat Anak

Serupa Tapi Tak Sama

Hampir serupa dengan novel inspiratif lain, novel ini bercerita tentang menggapai impian di tengah kesulitan. Novel Jurai ini mengisahkan perjuangan menggapai mimpi-mimpi di tengah kehidupan yang miskin, serba kesulitan dan banyak disepelekan oleh orang-orang.

Guntur Alam yang menggunakan sudut pandang tokoh Catuk, anak berumur 10 tahun, menjadi suatu hal yang berbeda dalam novel yang terbagi dalam 27 bab ini. Karena pemakaian sudut pandang Catuk ini pula, ada kekhasan kisah anak-anak yang hadir, seperti saat ia ingin memiliki sepatu baru dan keriangannya saat pertama kali mengunjungi kota kabupaten Muara Enim. Namun, ada bagian kisah Catuk dan teman-teman SD nya menjadi terlihat dipaksakan atau terlalu berlebihan ketika diceritakan tentang tokoh Catuk yang jatuh cinta pada siswa SD dari kampung lain. 

Namun, ada bagian kisah Catuk dan teman-teman SD nya menjadi terlihat dipaksakan atau terlalu berlebihan ketika diceritakan tentang tokoh Catuk yang jatuh cinta pada siswa SD dari kampung lain.  

Dalam novel yang bersetting di sebuah dusun kecil di Muara Enim Sumatera Selatan ini, sayangnya Guntur Alam tak terlalu mengeskplore budaya lokal masyarakat setempat. Guntur Alam hanya sedikit menuliskannya dalam cerita tentang ritual tahlilan empat puluh hari dan seratus hari kematian, yang mana hal itu sudah lumrah dilaksanakan oleh hampir semua masyarakat di Indonesia hingga tidak menjadi sesuatu yang istimewa.   

Konflik tentang Jurai dalam keluarga yang dianggap tokoh utama menjadi penyebab kematian Ebaknya hanya menjadi konflik batin tokoh utama saja, tidak dieskplore menjadi konflik yang lebih luas dan mengaitkan pandangan masyarakat setempat dan keluarga secara utuh pada sosok Catuk ini.

Penggunaan diksi yang kurang pas di beberapa bagian cerita menjadi kelemahan novel ini, seperti dalam kalimat berikut “Retina matanya terlihat berkaca-kaca tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum.” Penulis menggunakan retina untuk merujuk bagian mata yang bisa berkaca-kaca karena diselimuti cairan air mata, padahal hal itu kurang tepat, karena retina merupakan bagian dalam mata yang berfungsi membentuk bayangan benda dan meneruskannya ke syaraf mata. Retina letaknya di bagian dalam mata, tidaklah tampak dari luar dan tidak bisa dilukiskan bisa berkaca-kaca. Lebih tepat jika penulis menggunakan Iris, atau Kornea yang memang bagian mata yang ada di depan dan tampak.

Terlepas dari beberapa kekurangan novel ini. Novel Jurai tetaplah menjadi salah satu bacaan yang bergizi karena di dalamnya tak hanya mengajarkan pembaca untuk belajar pada kenangan dan impian, tetapi juga menyampaikan semangat emansipasi wanita. 

Hal ini bisa dilihat saat penulis memaparkan perjuangan tokoh Emak untuk menyekolahkan anak-anaknya di tengah pandangan orang-orang yang mencibirnya. Guntur Alam menuliskan pemikiran tokoh Emak dengan apik. Bagaimana ia menyampaikan pesan pada pembaca jika perempuan haruslah pandai agar tak dibohongi, termasuk oleh orang yang dicintainya.(*)

13 komentar

  1. Novel dengan kisah inspiratif seperti ini memang menyenangkan untuk dibaca ya, kak. Biar jadi pemicu semangat buat diri sendiri juga

    BalasHapus
  2. Membaca resensi ini semakin mengingatkan saya pada tanggapan seorang teman..

    Perempuan bila sudah tak bersuami (meninggal/cerai) akan berusaha bangkit demi anaknya.
    Tetapi laki-laki lebih sering mencari pengganti dahulu baru memikirkan anaknya..

    Begitulah sosok emak yang saya tangkap di novel Jurai.

    BalasHapus
  3. Guntur alam termasuk penulis fiksi produktif. cerpen-cerennya banyak tersebar di mana2. kalo bikin novel pastilah bagus. terlepas tetap ada kekurangan2nya. jadi pengen baca novelnya

    BalasHapus
  4. Bis dibayabgkan gimana hancurnya htai Emak. Di satu siai dia harus meneruakan perjuangan menghidupi dan biaya pendidikan anak-anak, di satu sisi dia harus mendapat pukulan tentang pernikahan kedua suaminya. Naudzubillahimindzaalik. Makasih uraiannya Kak.

    BalasHapus
  5. wah aku baru tau ada penulis guntur alam kak richa. btw br bahasa sumsel bapak itu ebak, sounds new

    BalasHapus
  6. baru baca resensi novelnya aja udah menarik jadi pengen baca novelnya langsung..btw cerita tokoh perempyan yg bisa survive ketika ada mslh rmh tangga jadi tema menarik ya mbak

    BalasHapus
  7. selalu kisah perjuangan dan bertahan hidup bisa dijadikan kisah yang menarik utk diceritakan... baruntau juga.. kalau wajah ayah dan anaknya serupa salah satunya akan cepat meninggal (hmmm...mitos sepertinya ya kak)

    BalasHapus
  8. Masyaallah, sepertinya ini buku bagus banget mbaa. jadi pengen beut baca. apalagi tentang perjuangan ibu menyekolahkan anak-anaknya. inspiratif banget. jadi kepo nih, hihi. makasih ulasannya mba.

    BalasHapus
  9. Novel yang keren banget nih kak, jadi pengen baca. Cerita yang tentang keteguhan hati Arrai kali ini benar-benar inpiratif banget ya kak

    BalasHapus
  10. Buku baru ya, dah lama tak beli buku... Terakhir tahun lalu beli buku satu koper waktu liburan ke Jakarta dan ada cuci gudang

    BalasHapus
  11. Duh jadi tersentuh saya membaca apa yg terjadi dalam keluarga dalam tokoh tersebut. Seolah-olah nyata ya mbak

    BalasHapus
  12. Biasanya perempuan tuh akan selalu survive demi anak2nya, walaupun hatinya tersakiti dan dibohongi. Apik sekali cerita di novel ini.

    BalasHapus
  13. Guntur Alam nama yang tidak asing ditelingga, kebetulan juga berteman di media sosial. Novelnya memang apik dan recomended untuk di baca. Mengingatkan aku juga harus punya novel ini kak.

    BalasHapus