Menyuarakan Harapan OYPMK di Hari Kemerdekaan

Sabtu, Agustus 27, 2022

Kemerdekaan Indonesia sudah berlangsung selama 77 tahun lamanya. Namun, hingga kini, kata ‘merdeka’ belum juga bisa diteriakkan secara lantang oleh semua orang, khususnya mereka yang terpinggirkan, termarjinalkan, dan terkurung dalam stigma-stigma negatif masyarakat. 

Mereka masih terus berjuang mencari arti kemerdekaan untuk dirinya, juga untuk orang-orang yang senasib dengannya. Benarkah kemerdekaan itu nyata? Atau hanya hak untuk orang-orang yang memiliki koneksi saja? 

Masih banyak rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati kemerdekaan; mereka masih dikucilkan, dipandang rendah, dan tak bisa menikmati fasilitas umum atau mendapatkan pekerjaan sebagaimana mestinya.

Diskusi Ruang Publik KBR

Kisah-kisah seperti ini bukanlah karangan belaka, namun kisah nyata yang benar-benar terjadi. Kisah-kisah tersebut dibagikan oleh Dr. Mimi Mariani Lusti (OYPMK/Direktur Mimi Institute) dan Marsinah Dhede (OYPMK/Aktifis Difabel Perempuan) dalam diskusi Ruang Publik KBR bersama NLR Indonesia pada Rabu 24 Agustus 2022 lalu dengan tajuk ‘Makna Kemerdekaan bagi OYPMK, Seperti Apa?’

Pengucilan OYPMK

Dr. Mimi dan Dhedhe sama-sama OYPMK atau Orang Yang Pernah Menderita Kusta. Mereka bercerita jika saat mengalami kusta, pengucilan itu ada dan terjadi. 

Dr. Mimi menderita kusta ketika ia berusia 17 tahun, pengucilan itu terjadi dari tetangga dan masyarakat. Menurutnya hal ini terjadi karena informasi dan pengetahuan yang diterima oleh masyarakat itu salah dan keliru.

Ejekan, hinaan, juga stigma yang banyak diterima oleh OYPMK inilah yang kemudian mengakibatkan gangguan kejiwaan. Apalagi tak sedikit yang menganggap bahwa penderita kusta sebagai aib keluarga. 

Sedangkan untuk Dhedhe, ia mengalami Kusta ketika usia 8 atau 9 tahunan dan saat itu ia masih duduk di bangku SD. Dhedhe yang juga seorang difabel awalnya merasa baik-baik saja dengan kusta yang dideritanya, ia menganggap bahwa hidupnya sebagai seorang difabel sudah cukup menguatkan baginya. Apalagi keluarga terutama orang tuanya juga selalu menjadi penguat baginya. 

Namun, kekuatan yang diterimanya dari keluarga ini ternyata tak berlaku ketika ia keluar dari rumah. Dhedhe banyak dikucilkan oleh teman-teman sebayanya tatkala ia menderita kusta dengan tampilan kulit yang menghitam dan bersisik. Pintu-pintu rumah teman-temannya tertutup, sehingga Dhedhe hanya bisa berbalik pulang dengan wajah sedih. 

Dan yang lebih miris lagi, karena penyakit kustanya juga, Dhedhe diusir oleh gurunya dan tidak boleh masuk sekolah. Hal ini memunculkan sakit hati orang tuanya yang kemudian mendatangi sekolah sambil membawa parang demi memperjuangkan hak dan keadilan untuk Dhedhe. 

Pelukan Hangat Keluarga

Sebagai OYPMK, Dr. Mimi dan Dhedhe menyadari bahwa stigma yang diterima dari masyarakat membuat rasa sedih dan kecewa terukir di hati mereka. Namun, mereka merasa masih beruntung karena ada kekuatan dan pelukan hangat keluarga yang mendekap mereka. 

Meski begitu, tentunya masih banyak OYPMK yang bahkan dikucilkan oleh keluarga mereka sendiri dan dianggap sebagai aib sehingga tak boleh bersosialisasi dengan orang luar. 

Menurut Dr. Mimi selain kekuatan dari keluarga, rasa percaya diri untuk bangkit dari keterpurukan selama menderita kusta adalah keberanian untuk mendekati. ‘Jika dijauhi, harus didekati.’ Itulah yang dilakukan Dr. Mimi sehingga ketika ia mencoba mendekat, ia bisa menjelaskan apa yang terjadi padanya, bahwa kusta itu bisa sembuh dan tidak menular dengan mudah layaknya flu. 

Kekuatan dari keluarga ini juga dirasakan oleh Marsinah Dhedhe. Dhedhe memiliki keluarga yang selalu support dan memotivasinya. Orang tuanya tak pernah menganggapnya berbeda, orang tuanya selalu menolak untuk memasukkannya ke panti dan ke SLB. 

Dhedhe akhirnya mulai berani untuk bicara, karena baginya apabia ia terus diam, maka ia akan terus menerus diejek.

Perlu Dukungan Pemerintah

Meski mendapat dukungan penuh dari keluarga, tentunya hal ini belumlah cukup. Apalagi kehidupan tak hanya berputar dalam keluarga saja, namun OYPMK juga harus bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat luas. Oleh sebab itu butuh dukungan dari pemerintah agar ia dan OYPMK lain bisa mendapatkan hak-haknya.  

Dr. Mimi mengatakan bahwa UU terkait pemenuhan hak difabel sebenarnya sudah ada, namun implementasi dan monitoringnya belum optimal dan masih harus dibenahi agar OYPMK bisa lebih merdeka dalam beraktifitas. 

Marsinah Dhedhe juga mengungkapkan perlu adanya ‘Afirmtive action’, dimana ada standar minimal untuk lowongan di BUMN dan BUMS bagi para OYPMK sehingga peluang untuk bekerja lebih besar. 

Penutup

Dari paparan di atas, selain peran serta pemerintah untuk membuka lowongan pekerjaan bagi OYPMK juga perlu menyosialisasikan tentang penyakit kusta lebih serius lagi, sebagaimana halnya ketika menyosialisasikan virus covid ke masyakarakat. Hal ini karena apabila ada informasi yang benar dan valid tentang penyakit kusta, maka pengucilan OYPMK di tengah masyarakat juga bisa dibendung, sehingga OYPMK bisa mendapatkan kemerdekaannya untuk bisa beraktifitas dengan lebih  leluasa di tengah masyarakat. (*)

 


Posting Komentar