Pendidikan dan Arah Hidup Perempuan

Kamis, Juni 25, 2020


Pendidikan seringkali digaungkan memiliki peran besar dalam kemajuan bangsa. Mereka yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, maka akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memperbaiki taraf hidupnya.

Akan tetapi, tak semua orang bisa menikmati akses pendidikan yang layak. Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia belum bisa mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan. Bahkan, berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017, masih ada 2,07 persen atau sekitar 3,4 juta penduduk Indonesia belum mengenal huruf. Berdasarkan data BPS tahun 2018, terdapat  6.680 desa yang tidak memiliki sarana pendidikan, seperti PAUD, TK/RA, SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK, Akademi/Perguruan Tinggi,  Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, Seminari/sejenisnya. 


Bagi yang memiliki dukungan (entah itu dukungan biaya maupun dukungan berupa izin keluarga), mereka yang jauh dari akses pendidikan akan berusaha pergi ke desa atau kota lain yang memiliki akses pendidikan lebih baik. Namun, minimnya dukungan untuk mendapatkan akses pendidikan ini ternyata tidak hanya disebabkan karena materi, namun juga karena kesenjangan dan ketimpangan gender di Indonesia.  Mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menganut budaya patriarki membuat perempuan lebih sulit mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki, dalam hal ini termasuk sulitnya memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan.

Pernikahan Usia Dini Perempuan
Salah satu faktor lainnya yang menghambat perempuan mendapatkan pendidikan adalah masih maraknya praktik pernikahan usia dini. Saya sendiri pernah melakukan penelitian untuk Tesis saya tahun 2015 tentang pernikahan usia dini ini di Kabupaten Grobogan. Masih banyak anak perempuan yang akhirnya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena harus menikah.

Sebab dari maraknya pernikahan dini ini selain karena faktor budaya, geografi, juga faktor ekonomi. Para orangtua menganggap jika setelah anak perempuan mereka menikah, maka tanggung jawab ekonomi akan berpindah pada suami, sehingga akan meringankan tanggung jawab orangtua untuk membiayai anak perempuan tersebut.

Berdasarkan data BPS tahun 2018, ada 4,8% perempuan yang menikah di usia kurang dari 17 tahun. Atau ada satu dari sembilan anak berusia kurang dari 18 tahun menikah muda.

Melawan Stigma Masyarakat
Stigma yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat memang sulit untuk dihilangkan. Betapa stigma perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang) membuat banyak perempuan merasa tak berhak untuk memilih. Perempuan disitgmakan selalu berada di belakang laki-laki, dan harus selalu siap untuk mendukung kemajuan laki-laki/suaminya dari belakang.

Perempuan selalu ditempatkan pada posisi bahwa arah hidupnya ditentukan oleh pandangan masyarakat. Menjadi perempuan yang tidak memiliki pendidikan tinggi kerapkali dipandang sebagai hal yang wajar, pewajaran seperti inilah yang sebenarnya menjadi belati yang diam-diam memupus harapan yang sebenarnya ada dalam diri perempuan.

Perempuan berhak untuk memiliki mimpinya sendiri. Perempuan berhak menjadi nahkoda untuk cita-citanya sendiri. Perempuan berhak mendapatkan hak yang sama dengan yang didapatkan oleh laki-laki.

Tujuan Pendidikan Bukan Tentang Pekerjaan
Sebagai orang yang menempuh pendidikan hingga tingkat magister, saya pun tak lepas dari stigma. Saat masih menjalani perkuliahan S2, tak sedikit yang bertanya “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Paling ujung-ujungnya nanti jadi ibu rumah tangga.”

Kemudian ketika saya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, saya kembali mendapat pandangan sinis dari arah dan pilihan hidup saya. “Kuliah sampe S2 kok cuma jadi ibu rumah tangga?”

Begitulah, perempuan seringkali berdiam dalam bayangan stigma. Bagi yang kuat menghadapi stigma itu, mereka akan mencoba menunjukkan eksistensi lewat karya. Namun, tak semuanya, karena stigma masyarakat serupa peluru yang terus menghujam.

Saat duduk pertama kali di bangku kuliah magister, dosen saya bertanya pada semua mahasiswa. “Kenapa kalian kuliah S2?” Saat itu, saya menjawab karena masih ada kesempatan, tenaga, dan waktu untuk belajar lagi.  Kebetulan ketika itu saya kuliah magister karena memperoleh beasiswa, jadi kesempatan tersebut tentunya tidak saya sia-siakan. 


Sejak awal, saya kuliah magister memang bukan bertujuan untuk karir, saya hanya ingin belajar. Apa itu salah? Tentu saja tidak. Hal inilah yang kerap kali disalah-artikan masyarakat.

Pendidikan tinggi memang bisa membuka banyak kesempatan, dan kesempatan tersebut bukan hanya tentang karir di kantor, tapi juga karir di dalam rumah.

Ibu adalah Sekolah Pertama untuk Anak
Apa seorang ibu rumah tangga tidak berhak memiliki pendidikan tinggi? Tentu saja berhak, bahkan wajib. Saya bahkan bangga menjadi ibu rumah tangga yang bergelar magister.

Dengan ilmu yang saya miliki, buku dan artikel yang banyak saya baca, mampu menjadikan saya seorang ibu yang tak hanya mengasuh anak menggunakan hati, tapi juga mengasuh dengan ilmu yang saya miliki.    


Saya selalu ingat ucapan dari Dian Sastrowardoyo, seorang aktris Indonesia penuh prestasi. “Entah berkarir atau menjadi ibu rumah tangga. Seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.”

Menjadi Ibu dengan Ilmu
Menjadi ibu itu tidak ada sekolahnya, setiap hari seorang ibu dituntut untuk belajar hal-hal baru. Lalu, bagaimana jadinya jika seorang ibu enggan belajar? Maka yang menjadi korban adalah anak dan keluarganya. 


Di sinilah peran seorang ibu yang sadar akan pendidikan dibutuhkan. Tugas seorang ibu yang paling krusial di rumah bukan memasak, mencuci, atau mengepel. Namun mentransfer ilmu dan nilai-nilai kebaikan pada anak.

Bagaimana jadinya jika seorang ibu tidak memiliki bekal ilmu? Maka ia akan mendidik anak ala kadarnya, tanpa pedoman dan nilai-nilai yang jelas. Padahal seorang anak adalah amanah, dan untuk menjaga amanah tersebut, adanya ilmu sangatlah dibutuhkan.

Selain mengajarkan nilai-nilai kebaikan, peran seorang ibu yang memiliki ilmu juga penting untuk mendampingi tumbuh kembang anak. Ibu yang berilmu tahu bahwa ASI eksklusif sangatlah penting, ibu yang berilmu juga tahu bahwa MPASI baru boleh diberikan saat bayi usia 6 bulan.  Oleh sebab itu, pendidikan memiliki peran besar dalam arah hidup seorang perempuan, entah nantinya ia akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga.

Belajar dengan Bahagia
Pemberian pemahaman akan pentingnya pendidikan untuk masa depan haruslah diberikan sejak dini, baik itu pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal ini sangatlah penting karena selain menumbuhkan bakat serta minat, juga akan diketahui apa potensi yang dimiliki anak.

Pencarian bakat dan minat anak ini bisa dilakukan lewat pemilihan kursus yang tepat. Saat memilih kursus, jangan kedepankan ambisi orang tua, akan tetapi sesuaikan dengan keinginan dan minat anak.

Misalnya saja, orang tua dan anak bisa memilih beragam kursus yang tersedia di EduCenter. EduCenter sendiri merupakan sebuah Mall edukasi pertama di Indonesia dengan konsep pusat pendidikan pertama dan terbesar di Indonesia. EduCenter memiliki 20 (dua puluh) lembaga pendidikan/ tempat kursus serta 1 (satu) kelas pre school dalam satu tempat.

Kesatuan tempat kursus yang terletak di satu gedung beralamat Jl. Sekolah Foresta No.8, BSD City, Tangerang ini tentunya akan memberikan kemudahan bagi para orang tua dan anak dalam memilih jenis kursus yang akan diikuti oleh anak.

Ada puluhan jenis kursus yang bisa dipilih, terdiri tak hanya di bidang akademis saja seperti Matematika dan Fisika, namun juga kursus peningkatan kreatifitas seperti Art, Music, atau Ballet.

Biarkan anak memilih minat yang ia suka, karena dengan begitu anak akan bisa belajar dengan lebih nyaman dan lebih bahagia. #educenterid

15 komentar

  1. Aku selalu salut klo perempuan memiliki pendidikan tinggi. Bener bgt kak, bahwa perempuan akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Semangaatttttt for all perempuan Indonesia hehe

    BalasHapus
  2. Benar sekali mba, budaya patriarki masih mendarah daging di masyarakat. Saya juga masih berada di lingkungan seperti itu. Semoga lebih banyak lagi kesempatan yang terbuka untuk menimba ilmu khususnya bagi perempuan" Indonesia

    BalasHapus
  3. Wah, aku baru tahu nih ada educenter. Ntar pengen buka2. Tapi aku setuju sih klo perempuan harus berpendidikan. Terlepas mo berkarier atau jd ibu rumah tangga

    BalasHapus
  4. Mau punya anak atau engga bukan halaman untuk seorang ibu punya pendidikan tinggi ya mbaa. Keren dehh. Perlu dibaca nih sama yg masih malesmalesan sekolah kayak aku hihi

    BalasHapus
  5. Pernah gak terpikir, meskipun selintas, bahwa setelah Magister, harus punya pasangan yang setara, minimal sama-sama Magister juga? Atau hal tersebut tidak mempengaruhi sama sekali yang penting cinta?

    BalasHapus
  6. Aku kurang setuju sih, kalau perempuan harus memilih ibu rumah tangga atau karier. Bisa kok ibu rumah tangga juga punya karier. Maksudku, jangan dipaksa untuk memilih, nanti jadi merasa bersalah deh. Setuju, jadi ibu memang harus pinter.

    BalasHapus
  7. Perempuan pintar harus juga pintar cari pasangan pintar. Bukan cuma pintar otak, tapi pintar karena punya pandangan hidup yg maju soal pendidikan untuk anak perempuan khususnya. Bukan cuma anak laki-laki yang harus sekolah tinggi. Insya Allah anak-anak Mba Icha nanti lebih pintar lagi dari ibunya yang sudah master.

    BalasHapus
  8. Jadi perempuan memang harus pinter karena apabila menjadi ibu maka akan jadi contoh figur buat anaknya, selain itu juga untuk proteksi diri sendiri juga.

    BalasHapus
  9. Setuju banget, ibu memang sekolah pertama bagi anak.Jadi walau pernah kuliah dan jadi IRT juga gak salah, karena ibu yang cerdas tentu akan menghasilkan anak yang cerdas. Apalagi pas school at home sejak beberapa bulan ini. Ibu yang jadi guru di rumah. Kalau ibunya enggak update ilmu ya anaknya yang bingung.

    BalasHapus
  10. Bener banget... kalau perempuan itu bisa mengenyam pendidikan tinggi maka anak-anaknya tidak perlu cemas karena memiliki ibu yang tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya dalam hal pendidikan. Semoga ke depannya EDUCENTER bisa ada di provinsi lain ya mba.

    BalasHapus
  11. Perempuan sering sekali didiskriminasi dalam hak memperoleh hak berpendidikan pdhl dia adalah sekolah pertama bagi anak2nyabya mbak richaa

    BalasHapus
  12. Menurut saya sih, seorang ibu harus cerdas dan pintar. Karena pada ibu lah anak mendapat pendidikan pertamanya. Anak menjadi stabil emosi nya karena ada ibu yg stabil

    BalasHapus
  13. Betul, stigma di masyarakat kita emang masih begitu, pendidikan itu identik dengan kesempatan memperoleh pekerjaan. Padahal banyak juga yang punya ijazah tapi kemampuan masih belum ada

    BalasHapus
  14. Aku setuju mbak soal ibu harus punya pendidikan tinggi. Gak cuma soal pendidikan, seorang ibu juga harus profesional mengelola emosi utk pertumbuhan psikologi anak juga.

    BalasHapus
  15. Betul sekali kak icha, sebagai seorang wanita calon ibu memang harus smart ya.anak-anak kita pasti pertama kali belajar dengan kita, apa jadinya kalau kita nggak pintar ya kan

    BalasHapus